Peluang Indonesia dengan Menjaga Hutan untuk Menyerap Karbon
Laporan IPCC terbaru menegaskan mengenai ancaman krisis iklim yang kian nyata. Upaya untuk mengatasi perubahan ikim menuntut perubahan gaya hidup, teknologi baru, selain menjaga ekosistem alami, terutama kawasan hutan.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengurangan emisi gas rumah kaca secara secara radikal dikombinasikan dengan menghilangkan karbon di atmosfer menjadi satu-satunya harapan untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat celsius. Hal ini menuntut perubahan gaya hidup, teknologi baru, selain menjaga ekosistem alami, terutama kawasan hutan.
Pesan penting ini disampaikan para ilmuwan dalam laporan terbaru Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC).Ringkasan laporan ini disetujui 195 pemerintah anggota IPCC pada Senin (4/4/2022). Laporan yang terdiri atas 10.000 halaman ini berfokus pada aspek meteorologi dan klimatologi, dampak dan kebutuhan untuk beradaptasi, serta akhirnya cara memangkas polusi karbon.
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres dalam pernyataan video mengatakan, serangkaian janji iklim yang dilanggar telah menempatkan Bumi pada jalur menjadi tidak layak huni. ”Kita berada di jalur cepat menuju bencana iklim,” katanya.
Kita harus ambil aksi bahwa dengan menjaga ekosistem, baik di hutan maupun laut, bisa memitigasi emisi karbon. (Edvin Aldrian)
Laporan IPCC menegaskan, waktu sudah hampir habis. Dalam proyeksi para ilmuwan, suhu permukaan bumi rata-rata bakal meningkat 1,5 derajat celsius atau 1,6 derajat celsius pada tahun 2030, satu dekade lebih awal dari perkiraan sebelumnya.
Dengan kebijakan dan laju emisi saat ini, Bumi akan memanas hingga 3,2 derajat celsius pada tahun 2100. Jika itu terjadi, konsekuensinya bisa sangat besar karena hampir separuh populasi dunia, antara 3,3 dan 3,6 miliar, saat ini sangat rentan terhadap dampak mematikan pemanasan global.
Solusi memangkas karbon
Laporan IPCC ini tidak memberikan rekomendasi langsung, tetapi memberi informasi latar belakang dan pilihan kebijakan sehingga pengambil keputusan dapat membuat pilihan yang tepat untuk memastikan masa depan yang layak huni bagi planet ini.
Semua jalan untuk mencegah bencana ini melibatkan pengurangan emisi gas rumah kaca yang cepat di semua sektor, meliputi industri, transportasi, pertanian, energi, dan kota. IPCC menyebutkan, penggunaan bahan bakar fosil harus dikurangi secara signifikan, untuk batubara 90 persen, gas 25 persen, dan minyak 40 persen pada tahun 2050.
Oleh karena itu, ekspansi batubara, minyak, dan gas yang tak kunjung reda harus dihentikan. ”Instalasi infrastruktur bahan bakar fosil yang berkelanjutan akan ‘mengunci’ emisi gas rumah kaca,” disebutkan dalam laporan itu. Apabila itu terjadi, akan lebih sulit mencapai tujuan iklim global.
Peluang untuk beralih ke energi terbarukan, seperti tenaga surya dan tenaga angin, saat ini semakin besar karena biayanya yang turun secara signifikan sejak 2010. Namun, transfer teknologi ke negara berkembang dan miskin masih terbatas.
Di sisi lain. upaya penurunan emisi ini saja tidak cukup. Negara-negara yang sudah mencapai target nol emisi juga perlu menyerap karbon dioksida dari atmosfer. Ini diharapkan bisa mengimbangi sisa emisi gas rumah kaca dari sektor-sektor yang lebih sulit dibersihkan, seperti industri atau penerbangan.
Selain menangkap emisi karbon (carbon capture) dari sumber industri atau langsung dari atmosfer melalui teknologi baru, upaya untuk menyerap karbon ini juga dapat dilakukan dengan memperluas hutan dan meningkatkan praktik pertanian ramah lingkungan.
Sedangkan untuk mengurangi emisi, laporan IPCC in juga menekankan pentingnya mengurangi permintaan energi dengan mengubah gaya hidup. Bagi pembuat kebijakan, itu berarti menemukan cara baru untuk menyediakan layanan dasar seperti transportasi, rumah, dan pekerjaan kepada warga yang lebih ramah lingkungan.
Misalnya, investasi dalam transportasi umum, perubahan harga dan perencanaan tata ruang yang menyediakan layanan yang lebih dekat dengan rumah penduduk. Ini dapat mengurangi permintaan perjalanan di negara maju dan memperlambat pertumbuhan di negara berkembang.
Perubahan perilaku dan gaya hidup dapat mengurangi emisi global dari sektor pengguna akhir setidaknya 5 persen secara cepat dengan dukungan kebijakan dan memungkinkan pengurangan yang lebih dalam jika didukung oleh desain infrastruktur yang lebih baik, terutama di negara-negara kaya. Ini termasuk beralih ke pola makan sehat berbasis tanaman, mengurangi limbah makanan dan konsumsi berlebihan, mendukung produk yang tahan lama dan dapat diperbaiki, mematikan pemanas ruangan, bekerja jarak jauh, dan berbagi mobil.
Peluang Indonesia
Wakil Ketua Kelompok Kerja I IPCC Edvin Adrian di Jakarta, Selasa (5/4/2022), mengatakan, dalam laporan IPCC terbaru ini, dimasukkan ekosistem alami dan menjaga keberagaman hayati sebagai bagian solusi dalam mengatasi perubahan iklim, seharusnya bisa dimanfaatkan Indonesia.
”Kita harus ambil aksi bahwa dengan menjaga ekosistem, baik di hutan maupun di laut, bisa memitigasi emisi karbon. Namun ini harus bisa dihitung, kalau jaga hutan berapa karbon yang bisa diserap dan mangrove berapa untuk kemudian bisa diajukan pendanannya. Peluang pendanaan untuk sektor ini akan semakin besar,” katanya.
Menurut Edvin, hal ini juga memberi peluang pada pembangunan yang lebih ramah lingkungan. Apalagi, laporan IPCC yang dirilis pada Februari 2022 juga mengingatkan pentingnya mencegah terjadinya maladaptasi atau kesalahan adaptasi, dengan lebih mengedapankan pada solusi yang ramah lingkungan.
”Banyak kegiatan yang disarankan IPCC bisa dilakukan Indonesia saat ini, terutama bagian menjaga lingkungan dan perubahan gaya hidup, asalkan ada dukungan kebijakan yang tegas. Sedangkan kekurangan kita, seperti dialami banyak negara berkembang lain, adalah ketergantungan pada energi fosil selain keterbatasan teknologi, termasuk misalnya teknologi carbon capture,” katanya.
Hingga saat ini, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon dalam skala besar masih menghadapi hambatan teknologi, ketidakpastian, dan besarnya biaya. Oleh karena itu, reboisasi dan meningkatkan pengelolaan hutan bisa menjadi opsi yang memungkinkan.
Namun, karbon yang disimpan dengan cara itu rentan lepas kembali oleh campur tangan manusia, seperti melalui penebangan pohon dan gangguan alam seperti kebakaran, yang dapat diperburuk oleh perubahan iklim. Jika dikelola secara berkelanjutan, selain pengurangan emisi skala besar, hutan juga dapat memberikan manfaat bagi keanekaragaman hayati, ketahanan pangan dan air, serta mata pencarian.
Para ilmuwan dalam IPCC menyebutkan, agar konsisten dengan upaya membatasi pemanasan global tidak lebih dari 2 derajat celsius, mitigasi terkait hutan membutuhkan investasi tahunan sebesar 400 dollar AS miliar per tahun pada tahun 2050.