Merawat ”Firdaus Mini” di Tanah Mimika
Pesona keanekaragaman hayati yang terdapat di Indonesia bagian timur tak kalah memukau. Di sana tersimpan sejumlah ’misteri’ terkait ragam jenis fauna dan flora yang belum terpecahkan.
Pesona keanekaragaman hayati yang terdapat di Indonesia bagian timur tak kalah memukau. Di sana tersimpan sejumlah ’misteri’ terkait ragam jenis fauna dan flora yang belum terpecahkan. Beberapa peneliti berpendapat, butuh waktu berpuluh hingga ratusan tahun untuk bisa mengungkapkan semua kekayaan yang ada.
Perjumpaan J Bosco Amawo (47), warga suku Kamoro, suku asli pesisir selatan di Kabupaten Mimika, Papua, dengan kepiting atau karaka di sekitar hutan bakau Muara Ajkwa selalu menyenangkan. Matanya berbinar setiap kali berbicara tentang kepiting. Selama ini, dia mencari kepiting pada waktu tertentu, tidak setiap saat dilakukannya.
”Kalau dia (pohon) punya daun menguning, karaka sedang musim bertelur. Karaka sembunyi di dalam lubang dekat akar-akar. Kalau sudah begitu, saya biasanya tidak ambil. Tunggu sampai besar dulu,” ucapnya semringah, Jumat (18/3/2022).
Pohon yang dimaksud adalah bakau Xylocarpus moluccensis setinggi lebih dari 4 meter di hutan bakau Muara Ajkwa, yang masuk dalam wilayah kerja PT Freeport Indonesia (PT FI), Kabupaten Mimika, Papua. Membaca tanda alam menjadi kunci agar kelestarian kepiting tetap terjaga. Ilmu titen atau kepekaan dalam membaca sekitar ini merupakan hasil interaksi keseharian yang diturunkan secara turun-temurun dari leluhurnya.
Selama meniti daratan Muara Ajkwa, perjumpaan dengan kepiting terasa lumrah. Pada beberapa sudut terdapat jejak atau bekas kaki kepiting yang timbul di permukaan. Mereka berkelebatan ke sana-kemari seolah bermain petak umpet. Saat air laut tidak pasang, atraksi kepiting memakan ikan busuk di atas potongan kayu bisa ditemui.
Ada yang berukuran ibu jari atau jempol, telapak tangan anak, hingga yang besarnya dua kali telapak tangan orang dewasa. Masyarakat biasa mengambil kepiting besar untuk dikonsumsi dan kepiting kecil diperuntukkan sebagai umpan kail ikan.
Di muara tersebut ditemukan pula beberapa spesies kepiting oleh sejumlah peneliti, satu di antaranya adalah Prof Dwi Listyo Rahayu, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Sejak 1999, dia meneliti ragam jenis kepiting atau Brachyura di lokasi tersebut.
Baca juga: Peneliti Temukan Tumbuhan Endemik Papua di Area Kerja Freeport
Penelitiannya telah dipublikasikan dalam jurnal internasional, antara lain Clistocoeloma amamaparense pada tahun 2000, Neodorippe simplex (2002), Parasesarma cricotum (2002), Clibanarius harisi (2003), Neorhyncoplax elongata (2004), Parasesarma charis (2005), Neosarmatium papuense (2006), Macrophthalmus fusculatus (2012), dan Parasesarma gracilipes (2018).
Semua kepiting itu berukuran kecil dan memiliki keunikan masing-masing. Bahkan beberapa hanya ditemukan di wilayah Papua. Dari penelitian teranyar pada tahun 2020, ia telah mengidentifikasi Typhlocarcinops robustus dan Typhlocarcinops raoli. Keduanya didapat saat tengah melakukan pemantauan rutin bersama PT FI, yakni di Muara Akjwa, Kamora, sungai-sungai sekitarnya, dan area lepas pantai.
Muara itu merupakan bagian dari daerah pengendapan Ajkwa yang dimodifikasi (ModADA) oleh PT FI. Sisa tambang berupa butiran pasir halus (tailing) yang dialirkan sepanjang Sungai Otomona dan persimpangan Sungai Ajkwa ini membentuk sedimentasi di muara.
Reklamasi dengan penanaman bakau di daratan itu dilakukan secara bertahap. Seperti diketahui, hutan bakau adalah habitat kepiting bakau dan sejumlah hewan lainnya. Dengan menjaga kelestariannya, keberlangsungan mereka turut terjaga.
”Tailing tidak memengaruhi keberadaan kepiting. Dia (kepiting) cenderung mobile dan stocky, populasinya hanya bergeser ke tempat lain,” ujar penerima penghargaan Satyalancana Wira Karya itu.
Keberadaan tiap makhluk hidup di suatu lokasi pasti memiliki manfaat bagi sekitarnya. Mereka ada di sana bukan kebetulan, begitu juga dengan kepiting! Anggota kelompok krustasea ini membantu penguraian daun-daun yang jatuh menjadi serasah dan menambah oksigen pada akar-akar bakau dengan pembuatan lubang-lubang di dasarnya. Ini akan membantu proses penyuburan tumbuhan mangrove di sekitarnya.
Tidak mudah untuk melakukan penelitian di daerah tersebut. Tim harus memperhatikan periode pasang-surut air laut agar tidak terjebak di hutan bakau. Lalu spesimen yang telah dikumpulkan akan dicocokkan dengan jenis lainnya.
”Di sana banyak spesies kepiting yang belum dideskripsikan dan belum pernah ditemukan di tempat lain. Kalau dieksplor lebih jauh lagi, potensi jenis baru masih mungkin ditemukan,” ucapnya.
Selain kepiting, ditemukan juga kadal yang diduga jenis baru di sekitar Muara Ajkwa. Pada Februari 2020, Amir Hamidy, peneliti herpetologi dari BRIN, melakukan penelitan tersebut.
Ia memasang puluhan perangkap (glue trap) di beberapa lokasi dan mengeceknya setiap dua jam sekali. Eksplorasi dan pengumpulan spesimen berlangsung selama dua hari. Selanjutnya, spesimen yang didapat dibandingkan dengan jenis lain dengan identifikasi morfologi. Penelitian tersebut baru akan memasuki tahapan identifikasi molekuler DNA.
”Jenis-jenis yang ada di sana itu belum tentu semua punya nama, status jenisnya masih terbuka untuk dievaluasi. Kemungkinan masih banyak jenis baru di sana,” ucapnya.
Menurut Amir, kondisi hutan bakau di lokasi itu masih bagus sehingga menjadi habitat yang baik untuk kadal. Tak heran jika ditemukan ragam jenis kadal dengan keunikan tersendiri di sana. Dalam catatannya, lebih dari 700 jenis reptil terdapat di Indonesia, seperti ular, kadal, buaya, dan kura-kura. Lima puluh persennya adalah kadal, yang mayoritas ditemukan di Indonesia bagian timur.
Dalam keseimbangan ekosistem rantai makanan, kadal berperan sebagai pengontrol populasi serangga. Hewan ini aktif berburu ragam serangga (predator) di tanah, rumput, atau lumpur. Jika kadal tidak ada, populasi serangga akan meledak.
Sementara burung dan ular sebagai predator kadal akan kesulitan mendapatkan pakan. Spesies kadal baru yang pernah ditemukan di wilayah kerja PT FI adalah Carlia caesius pada tahun 2006.
Dukungan
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Papua Barat Prof Charlie D Heatubun mengatakan, belakangan ini, aktivitas riset keanekaragaman hayati di Tanah Papua mengalami penurunan karena berbagai hal, seperti konflik antarsuku dan kondisi pandemi Covid-19. Di sisi lain, adanya perubahan iklim, pembangunan, dan peralihan lahan bisa mengancam keberadaan keanekaragaman hayati.
”Kalau keanekaragaman hayati flora dan fauna yang dikenal baik oleh masyarakat adat ini punah, identitas dan budaya yang dimiliki masyarakat itu akan hilang juga,” ucap Charlie.
Menurut dia, salah satu upaya untuk melestarikan keanekaragaman hayati bisa dilakukan melalui penelitian. Tercatat ada 13.634 spesies tumbuhan berpembuluh di Papua yang sudah didata. Apabila eksplorasi dan penelitian lapangan kian ditingkatkan, potensi ditemukannya spesies baru diprediksi mencapai 15.000 spesies.
Untuk mendukung penelitian keanekaragaman hayati, Charlie menilai, peranan korporasi sangat dibutuhkan. ”Sebaiknya penelitian tak hanya dilakukan di wilayah kerja korporasi, tetapi juga untuk mendukung pengembangan Pulau Papua,” ucapnya.
General Superintendent Reclamation Biodervisity and Education Departemen Lingkungan PT FI, Roberth Sarwom, mengatakan, Freeport telah berkomitmen untuk merawat keanekaragaman hayati dan melestarikan lingkungan dengan berbagai upaya.
Salah satunya dengan membangun pusat penelitian keanekaragaman hayati dan melakukan riset terkait keanekaragaman fauna-flora bersama BRIN serta universitas di dalam negeri dan mancanegara.
Pemantauan rutin dilakukan untuk mendata jenis keanekaragaman hayati yang ada di wilayah kerja sehingga dapat dilakukan tindakan perawatan untuk menjaga habitatnya.
Spesies-spesies baru yang ditemukan di wilayah kerja PT FI adalah 21 spesies kepiting, kadal (Litoria caesius, 2006), katak (Litoria lubisi, 2021), pandan/freycinetia (7 spesies, 2013), perdu/shrub (Dyplicosia puradyatmikai, 2020), dan dua spesies baru ikan. Selain itu, masih ada belasan spesies flora dan fauna yang belum diidentifikasi.
Baca juga: Potret Satwa Langka di Lahan Konservasi PT Freeport Indonesia
Koordinator Fauna Monitoring Departemen Lingkungan PT FI Kukuh Indra Kusuma menambahkan, penelitian tersebut bukan hanya untuk mengidentifikasi spesies baru, tetapi juga menjadi landasan untuk mengelola lingkungan lebih baik lagi. ”Potensi besar yang ada di wilayah ini kian memotivasi kami untuk merawat lingkungan sebaik mungkin,” ujarnya.
Tanah Papua seperti tak ada habisnya memberikan kejutan akan keanekaragaman hayatinya yang memukau. Seiring berjalannya waktu, ’misteri’ yang belum terpecahkan akan segera menemukan titik terang. Dan, harapan untuk merawat taman firdaus ini masih terus berlanjut....