Sertifikasi Sawit Berkelanjutan Bermanfaat bagi Petani
Sertifikasi sawit berkelanjutan memberikan manfaat bagi petani dan organisasi. Manfaat itu di antaranya meminimalisasi biaya pengelolaan kebun dan meningkatkan jumlah produksi.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai salah satu produsen utama minyak sawit dunia, seluruh pelaku kegiatan sawit di Indonesia baik perusahaan maupun petani dituntut untuk memproduksi sawit secara berkelanjutan dan ramah lingkungan. Bagi petani dan organisasi, sertifikasi sawit berkelanjutan diakui memberi manfaat mulai dari meminimalisasi biaya pengelolaan kebun hingga memiliki rencana peremajaan sawit.
Ketua Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Forstabi) Narno mengemukakan, pada awalnya petani sawit swadaya merupakan petani yang tidak terikat oleh perusahaan dan instansi terkait. Petani juga melakukan kegiatan berkebun hanya mementingkan hasil panen dan merawat kebun sembarangan tanpa pemupukan yang terjadwal.
”Kami kemudian memperkuat organisasi kelembagaan agar dapat menuju sawit berkelanjutan. Kami membentuk kelompok tani dan menggabungkannya melalui koperasi atau organisasi lain serta menjalin kemitraan,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Inovasi Sebagai Kunci Tata Kelola Sawit Inklusif dan Ramah Lingkungan”, di Jakarta, Kamis (31/3/2022).
Setelah membentuk kelompok tani dan organisasi, para petani mendapat informasi terkait pengelolaan kebun sawit yang berkelanjutan. Petani juga mendapat pelatihan peduli lingkungan, pemupukan, dan penjualan tandon buah segar terkontrol.
Dari pelatihan hingga mendapatkan sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan (ISPO), Narno menyatakan bahwa petani telah mendapat sejumlah manfaat. Sertifikasi diakui dapat meminimalisasi biaya pengelolaan kebun, hasil produksi cenderung meningkat, ada penambahan hasil dari kredit untuk jangka waktu tertentu, dan memiliki rencana peremajaan sawit.
”Secara otomatis produksi setiap tahun akan meningkat karena adanya perawatan kebun yang baik dan pemupukan sesuai dengan hasil analisis daun. Sebelumnya, kami tidak mengetahui bagaimana upaya untuk pemupukan yang baik,” tuturnya.
Memperkuat kemitraan
Selain petani, organisasi juga diakui mendapat manfaat sertifikasi ini. Manfaat tersebut di antaranya membuat hubungan kemitraan semakin kuat, menjadi inspirasi bagi petani di daerah lain, dan berkontribusi meringankan dampak pandemi Covid-19 pada anggota.
Sejumlah manfaat yang dinikmati petani itu membuat keanggotaan Forstabi terus meningkat. Hingga Februari 2022, Forstabi terdiri diri 41 kelembagaan yang beranggotakan 10.120 petani dengan luas areal 22.123 hektar.
Koordinator Tim Sekretariat Komisi ISPO Herdrajat Natawidjaja menyatakan, saat ini kegiatan sertifikasi ISPO sepenuhnya dilakukan lembaga sertifikasi independen. Selain menteri, peran pemerintah daerah baik gubernur maupun bupati/wali kota dilibatkan untuk membina dan mengawasi implementasi ISPO.
Sesuai Peraturan Menteri Pertanian No 38/2020 tentang Penyelenggaraan ISPO, menteri dapat mengenakan sanksi administratif kepada perusahaan perkebunan yang tidak memiliki sertifikat ISPO. Sanksi itu berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pencabutan izin usaha. Menteri juga bisa mengenakan sanksi kepada lembaga sertifikasi ISPO yang tidak menyampaikan laporan secara berkala setiap tiga bulan.
Herdrajat mencatat, sampai saat ini 714 sertifikat ISPO yang diterbitkan. Dari jumlah tersebut, 27 sertifikat di antaranya diperuntukan bagi kelembagaan pekebun. Adapun total luas lahan perkebunan yang telah disertifikasi mencapai 3,39 juta hektar dan 17.297 hektar untuk lahan petani atau sawit rakyat.
Minyak sawit menjadi isu nasional. Kita dituntut tidak hanya memproduksi sawit secara berkelanjutan dan ramah lingkungan, tetapi juga kebijakan terkait harus transparan serta perlu membangun kolaborasi yang kuat.
Ia pun menegaskan, inovasi teknologi sangat diperlukan dalam kegiatan pengelolaan sawit yang berkelanjutan, termasuk sertifikasi ISPO. Pengembangan teknologi diperlukan agar segala informasi terkait ISPO dapat diakses dan diikuti dengan mudah oleh pelaku usaha, petani, dan pihak lainnya.
Upaya akselerasi
Deputi Bidang Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdalifah Machmud mengutarakan, dengan tutupan kelapa sawit mencapai 16,38 juta hektar, Indonesia menjadi salah satu produsen utama minyak sawit dunia dan menguasai pangsa pasar lebih dari 58 persen. Komoditas ini berkontribusi signifikan pada produk domestik bruto (PDB) nasional.
”Minyak sawit menjadi isu nasional. Kita dituntut tidak hanya memproduksi sawit secara berkelanjutan dan ramah lingkungan, tetapi juga kebijakan terkait harus transparan serta perlu membangun kolaborasi yang kuat di antara semua pemangku kepentingan,” katanya.
Untuk mengakselerasi pembangunan kelapa sawit berkelanjutan dan ramah lingkungan, pemerintah telah menerbitkan beberapa regulasi pendukung, salah satunya Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang ISPO. Peraturan ini mengamanatkan agar semua tipe usaha kelapa sawit baik perkebunan swasta, negara, maupun rakyat harus dikelola secara berkelanjutan dan memiliki sertifikasi ISPO.
Selain itu, pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSP). Di sisi lain, untuk meningkatkan produksi perkebunan sawit rakyat yang masih rendah, dilakukan program peremajaan sawit melalui penanaman kembali dengan bibit unggul.
”Dengan memenuhi unsur keberlanjutan tersebut, diharapkan sawit Indonesia tidak hanya dikenal sebagai penyebab deforestasi. Sebaliknya, diharapkan kita mampu berkontribusi untuk menjaga lingkungan melalui inovasi seperti penggunaan biodiesel,” ujarnya.