Perpres tentang Nilai Ekonomi Karbon membuka peluang semua pihak, termasuk pelaku usaha dan kelompok masyarakat, melakukan perdagangan karbon. Namun, perdagangan karbon ini harus sesuai dengan mekanisme.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peluang perdagangan karbon dan pembayaran berbasis kinerja semakin luas setelah keluarnya Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon. Di sisi lain, capaian penurunan emisi ini harus difokuskan untuk pemenuhan target kontribusi nasional sesuai dengan Kesepakatan Paris 2015 terkait perubahan iklim.
Peneliti Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya, dan Kehutanan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), I Wayan Susi Dharmawan, mengemukakan, semua kegiatan terkait dengan pengelolaan hutan ataupun lingkungan secara berkelanjutan perlu diatur dalam kebijakan yang bisa diterima semua pihak. Kebijakan ini akan memberikan insentif terhadap pihak-pihak yang berkontribusi pada perbaikan lingkungan.
”Kebijakan nasional tentang perubahan iklim di Indonesia memiliki dinamika dan proses yang sangat panjang sampai keluarnya Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, sedangkan pada 2020 terdapat realisasi dari pembayaran berbasis kinerja yang diperoleh dari nilai ekonomi karbon,” tuturnya dalam diskusi daring tentang nilai ekonomi dan pendugaan karbon hutan, Rabu (16/3/2022).
Minimal proyek itu harus 30 tahun. Jadi, apabila kita ingin mengembangkan proyek karbon, harus memenuhi prinsip-prinsip terlebih dahulu.
Dalam Perpres No 98/2021, pelaku kegiatan tentang nilai ekonomi karbon (NEK) terdiri dari kementerian/lembaga, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan kelompok masyarakat. Namun, semua kegiatan terkait penyelenggaraan NEK harus melalui mekanisme yang ada.
Wayan mencontohkan, pelaku usaha yang ingin mengajukan kegiatan perdagangan karbon harus dilakukan pencatatan. Pencatatan ini berlaku untuk semua program mitigasi dan adaptasi, rencana capaian, jumlah emisi karbon yang akan diturunkan, hingga dukungan terhadap target dokumen kontribusi nasional (NDC) sesuai dengan Kesepakatan Paris 2015.
Setelah melalui pencatatan, program kegiatan tersebut juga harus dilaporkan ke dalam sistem registrasi nasional yang dikelola Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Setelah disetujui, pelaku usaha baru diperbolehkan melakukan kegiatan tahap berikutnya, yakni penyelenggaraan.
Dalam aspek penyelenggaraan inilah semua pihak yang telah tercatat dalam Perpres NEK baru dapat melakukan perdagangan karbon dengan peluang yang luas. Beberapa penyelenggaran itu antara lain perdagangan emisi dan offset emisi, pembayaran berbasis kinerja, pungutan atas karbon, serta mekanisme lainnya sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurut Wayan, saat ini pelaku usaha yang mengimplementasikan kebijakan NEK banyak mendapat dukungan dari pemerintah ataupun lembaga keuangan. Salah satu dukungan itu dari Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyebut bahwa pelaku usaha yang berkomitmen terhadap ekonomi hijau akan mendapatkan insentif fiskal.
Selain itu, dalam mendukung ekonomi hijau, OJK juga meluncurkan Taksonomi Hijau Indonesia sebagai pedoman untuk mengklasifikasikan aktivitas ekonomi guna mendukung upaya perlindungan lingkungan serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Dengan peluncuran ini, Indonesia juga menjadi salah satu negara di dunia yang telah memiliki standar nasional sektor ekonomi hijau.
Ahli karbon PT Gaia Eko Daya Buana, Joseph Hutabarat, menyatakan, setiap pengembang proyek memiliki cara tersendiri untuk menghasilkan sertifikat karbon sebagai syarat sebelum mengimplementasikan NEK. Khusus PT Gaia, tahapan yang dilakukan adalah prastudi kelayakan, studi kelayakan, penyusunan dokumen proyek, validasi, verifikasi reduksi emisi, dan terakhir registrasi serta penerbitan sertifikat.
”Salah satu prinsip dalam proyek karbon ini adalah permanen. Kita tidak bisa lima atau 10 tahun. Minimal proyek itu harus 30 tahun. Jadi, apabila kita ingin mengembangkan proyek karbon, harus memenuhi prinsip-prinsip terlebih dahulu,” tuturnya.
Rencana operasional FOLU
Guna memperkuat kebijakan pengendalian perubahan iklim dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (FOLU), KLHK juga telah merilis rencana operasional FOLU Netsink 2030. Rencana ini tertuang dalam Keputusan Menteri (Kepmen) LHK Nomor 168 tentang FOLU Netsink 2030 yang ditandatangi pada 24 Februari 2022.
Melalui kepmen ini, operasional pelaksanaan FOLU Netsink 2030 akan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan melalui pengelolaan hutan lestari, serta tata kelola lingkungan dan karbon. Sebelumnya, sektor FOLU ditargetkan dapat menurunkan hampir 60 persen dari total target penurunan emisi nasional.
Menteri LHK Siti Nurbaya dalam keterangannya menyatakan, target utama sektor FOLU tetap fokus pada upaya mengurangi deforestasi dan degradasi hutan. Ia memastikan akan terus meletakkan fondasi pembangunan lingkungan yang berkelanjutan meski tantangannya tidak mudah.
”Konsep netral karbon atau net-zero emission sudah dimulai oleh Indonesia dengan berperan aktif melalui leading by example untuk pengendalian perubahan iklim. Hal ini ditunjukkan dengan langkah-langkah korektif selama 5-7 tahun ini. Berbagai upaya telah membuahkan hasil dan ini memerlukan sistematika untuk lebih baik lagi,” ucapnya.