Masyarakat Adat di Kawasan IKN Khawatirkan Perampasan Lahan
Masyarakat adat di kawasan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur meminta jaminan ruang hidup di atas lahan yang diwariskan turun-temurun. Mereka khawatir lahan adat dirampas demi pembangunan megaproyek IKN.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jauh sebelum wacana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur digaungkan, komunitas masyarakat adat telah tinggal di kawasan itu secara turun-temurun. Kini, mereka khawatir lahan yang menjadi ruang hidup warga itu dirampas atas nama pembangunan ibu kota negara.
Yati Dahlia, warga adat suku Balik di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kaltim, mengatakan, plang-plang penanda ibu kota negara (IKN) di permukiman warga membuat mereka khawatir. Apalagi, pemasangan plang itu tidak didahului sosialisasi memadai. Warga menuntut jaminan atas ruang hidup di masa depan.
”Jika IKN tidak bisa dicegah pindah ke sini, kami minta kejelasan atas lahan-lahan kami dan masyarakat adat yang menempatinya. Pemasangan plang itu seperti pengambilan lahan secara sepihak,” ujarnya dalam konferensi pers daring, Selasa (15/3/2022).
Menurut Dahlia, sebelumnya mereka mendapatkan informasi bahwa pembangunan IKN hanya di lahan konsesi. Namun, mereka kecewa setelah bulan lalu plang-plang IKN itu dipasang di sekitar permukiman warga.
”Kami seperti tidak dianggap. Tidak ada koordinasi dengan tokoh masyarakat kami. Teriakan kami selama ini tidak didengarkan,” katanya.
Menurut Dahlia, pemindahan IKN terkesan dipaksakan. Ia berharap, masyarakat adat di sana tidak disingkirkan demi pembangunan infrastruktur dan kepentingan lainnya.
Deputi Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi mengatakan, lahan di kawasan IKN bukanlah tanah tak bertuan. Sedikitnya terdapat 21 komunitas masyarakat adat yang hidup di sana.
IKN akan menjadi magnet besar yang menarik banyak kepentingan. Hal itu terkoneksi dengan kepentingan bisnis, tak hanya di dua kabupaten itu, tetapi wilayah Kaltim lainnya.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Zainal Arifin menyebutkan, sebelum pemindahan IKN, Kaltim sudah dibebani dampak eksploitasi pertambangan. Menurut dia, megaproyek pembangunan IKN akan mendatangkan beban lainnya.
”IKN memiliki potensi penyingkiran masyarakat, baik secara sosial maupun geografis. Sedikit demi sedikit tanah masyarakat adat bisa dirampas,” ucapnya.
Akan tetapi, Gubernur Kaltim Isran Noor mengatakan tidak ada tumpang tindih lahan di kawasan inti IKN. Sebab, kawasan inti merupakan lahan negara yang saat ini dikelola swasta (Kompas, 13/4/2021).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, IKN Nusantara terdiri dari wilayah daratan seluas 256.142 hektar dan perairan laut seluas 68.189 hektar di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Wilayah daratan meliputi kawasan inti seluas 56.180 hektar dan kawasan pengembangan seluas 199.962 hektar.
Gimik berkemah
Setelah melakukan penyatuan tanah dan air dari semua provinsi di titik nol kilometer IKN Nusantara di Penajam Paser Utara, Senin (14/3/2022), Presiden Joko Widodo serta sejumlah menteri dan pejabat berkemah di lokasi itu pada malam harinya. Presiden bersama pimpinan daerah juga menanam pohon di kawasan tersebut.
Presiden mengapresiasi para pemimpin daerah yang membawa tanah dan air dari wilayah mereka. ”Ini bentuk kebinekaan kita dan persatuan yang kuat di antara kita dalam membangun Ibu Kota Nusantara,” kata Presiden (Kompas, 15/3/2022).
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Pradarma Rupang mengatakan, kemah elite politik itu tidak peka terhadap berbagai krisis yang dihadapi masyarakat. Menurut dia, saat ini masih banyak warga yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
”Ternyata, pemerintah acap kali melakukan gimik yang justru tidak melihat bagaimana penderitaan rakyat,” ujarnya.
Menurut Pradarma, terdapat 162 konsesi pertambangan, kehutanan, dan perkebunan sawit di kawasan IKN. Hal itu mewariskan banyak bekas lubang tambang dan titik api akibat pembukaan hutan dan lahan secara masif tanpa memperhatikan proses pemulihannya.