Pemindahan IKN Dinilai Problematis, Presiden Jokowi Diminta Berdialog dengan Masyarakat Adat
Pemindahan ibu kota negara (IKN) ke Kalimantan Timur yang tergesa-gesa dinilai sarat masalah. Negara perlu memastikan ruang dan kualitas hidup masyarakat adat di sana yang khawatir tergusur akibat gempuran pembangunan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komite Nasional Pembaruan Agraria atau KNPA menilai pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur terlalu tergesa-gesa dan sarat masalah. Presiden Joko Widodo diminta berdialog langsung dengan komunitas masyarakat adat di sana untuk memastikan ruang dan kualitas hidup mereka di masa depan.
Deputi Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi mengatakan, lahan di kawasan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara bukanlah tanah tak bertuan. Sedikitnya terdapat 21 komunitas masyarakat adat yang hidup di sana.
Erasmus berharap Presiden Jokowi yang berkemah di IKN di Penajam Paser Utara, Kaltim, Senin (14/3/2022), berdialog dengan masyarakat adat di lokasi tersebut. ”Jangan sampai dialog yang dilakukan hanya terjadi antara pemerintah dan elite masyarakat yang muncul di publik karena pandangannya tidak sungguh-sungguh memperhatikan masyarakat adat,” ujarnya dalam konferensi pers daring ”Pemindahan IKN Sarat Masalah, Tidak Menjawab Persoalan Struktural” yang digelar KNPA, Senin.
Kita semua tidak berharap masyarakat adat menjadi ”fosil ”. Yang muncul cuma pakaiannya dan tariannya, tetapi tidak bernyawa. (Erasmus Cahyadi)
AMAN merupakan satu di antara belasan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam KNPA. Dialog dinilai penting agar Presiden mengetahui kekhawatiran masyarakat yang terancam tergusur dari ruang hidupnya.
Erasmus menuturkan, IKN di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara akan menjadi magnet besar yang menarik banyak kepentingan. Hal itu terkoneksi dengan kepentingan bisnis, bukan hanya di dua kabupaten itu, melainkan juga wilayah Kaltim lainnya.
Kondisi itu memunculkan kekhawatiran tentang sejumlah hal, mulai dari kondisi perekonomian, lahan adat, hingga identitas masyarakat di tengah gempuran pembangunan. ”Kita semua tidak berharap masyarakat adat menjadi ’fosil’’ Yang muncul cuma pakaiannya dan tariannya, tetapi tidak bernyawa,” katanya.
Erasmus menyebutkan, IKN berada di kawasan yang sebelumnya menjadi lokasi konsesi izin perusahaan. Namun, kawasan tersebut merupakan ruang hidup masyarakat adat secara turun-temurun.
”Kalau terjadi negosiasi untuk kepentingan IKN, siapa yang bernegosiasi? Apakah perusahaan yang memiliki izin itu atau masyarakat adat sebagai pemilik tanah?” katanya.
Kepala Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Roni Septian mengatakan, persoalan pemindahan IKN bukan sekadar pengadaan tanah atau pembangunan infrastruktur di atasnya, melainkan juga mencakup masalah kompleks, termasuk ekonomi, sosial, kesehatan, dan budaya.
Salah satu masalah fundamental di IKN adalah ketimpangan penguasaan lahan. Menurut Roni, berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2018, terdapat lebih dari 90.000 kepala keluarga petani di Kaltim dengan penguasaan tanah kurang dari 1 hektar. Namun, luas konsesi tambang mencapai 5,2 juta hektar dan perkebunan 1,2 juta hektar.
”Ketika pemerintah tidak menyelesaikan konflik; pengakuan hak masyarakat adat, petani, dan warga perdesaan; tidak meredistribusi tanah; dan tidak mengembalikan fungsi lingkungan hidup, pembangunan IKN akan sia-sia,” katanya.
Persoalan lainnya adalah tumpang-tindih klaim izin konsesi. Hal ini sering menyebabkan konflik agraria di tengah masyarakat.
”Beradsarkan catatan KPA dalam lima tahun terakhir, muncul sekitar 30 konflik agraria dengan lahan seluas 64.000 hektar di Kaltim,” ucapnya.
Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Uli Arta Siagian mengatakan, banyak wilayah konsesi tambang dan kehutanan di IKN. Masifnya eksploitasi lingkungan di sana memicu krisis ekologis di Kaltim.
”Eksploitasi ini menyebabkan bencana, seperti banjir dan longsor. Lagi-lagi yang menanggung bencana ini adalah rakyat,” ujarnya.
Eksploitasi lingkungan atas nama pembangunan infrastruktur juga berpotensi mengakibatkan krisis ekonomi warga. Uli menganggap, pemindahan IKN tidak hanya akan berdampak di Kaltim, tetapi juga wilayah lain, bahkan di luar Kalimantan, terutama dalam menyuplai material pembangunan ke kawasan itu.
”Ada kemungkinan juga terjadi tukar guling lahan atau konsesi. Logikanya, tidak mungkin ratusan konsesi yang dipegang perusahaan diberikan begitu saja. Pasti ada logika bisnis dalam memutar kapital,” ujarnya.