Konvensi Minamata di Bali Tetap Berlangsung Sesuai Jadwal
Konferensi Para Pihak Konvensi Minamata ke-4 atau COP-4 di Bali tetap dilaksanakan sesuai jadwal, 21-25 Maret 2022 secara tatap muka. Sebagai tuan rumah, Indonesia akan mengusulkan inisiatif Deklarasi Bali.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski kasus Covid-19 di Indonesia masih tinggi, penyelenggaraan Konferensi Para Pihak Konvensi Minamata Ke-4 atau COP-4 masih sesuai jadwal yang ditetapkan sebelumnya, yakni 21-25 Maret 2022. Pertemuan sesi kedua ini akan lebih membahas aspek substansial, termasuk usulan Deklarasi Bali.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)Sayed Muhadar menyampaikan, penyelenggaraan COP-4 Konvensi Minamata tetap dilaksanakan pada 21-25 Maret secara tatap muka di Bali. Keputusan ini sudah didiskusikan dan disetujui oleh Sekretariat Konvensi Minamata.
”Kami juga sudah berkoordinasi dengan Satuan Tugas Covid-19 pusat, provinsi, dan Kementerian Kesehatan. Sampai saat ini, lebih dari 90 negara sudah mengonfirmasi akan hadir. Namun, dengan alasan tertentu, ada beberapa negara seperti Jepang yang tidak bisa hadir dan memilih mengikuti secara daring,” ujarnya di Jakarta, Jumat (4/3/2022).
Sayed menjelaskan, guna mencegah penyebaran Covid-19, pertemuan akan dilaksanakan dengan sistem gelembung atau bubble sehingga semua peserta atau delegasi dikumpulkan dalam satu tempat. Mereka kemudian akan dipantau secara ketat sejak tiba di Indonesia hingga ke tempat gelembung tersebut.
Sampai saat ini, lebih dari 90 negara sudah mengonfirmasi akan hadir. Namun, dengan alasan tertentu, ada beberapa negara seperti Jepang yang tidak bisa hadir dan memilih mengikuti secara daring
Sebagai proses penapisan, setiap peserta setiap hari juga akan menjalani tes Covid-19 dengan sistem satu hari tes antigen dan hari berikutnya tes PCR. Selain itu, peserta yang hadir juga harus sudah mendapat vaksin Covid-19 dosis lengkap. Peserta juga harus melampirkan surat keterangan dari otoritas yang berlaku bila seandainya tidak diperbolehkan menjalani vaksin Covid-19.
Menurut Sayed, sesi kedua COP-4 di Bali ini akan fokus membahas aspek substansial yang belum disepakati pada sesi pertama. Beberapa fokus pembahasan itu adalahevaluasi aneks A dan B. Evaluasi memuat usulan penambahan pengaturan lampiran A tentang produk merkuri yang dilarang, usulan proposal perubahan bagian II lampiran A tentang penggunaan dental amalgam, dan usulan dalam lampiran B tentang proses yang menggunakan merkuri.
Sebagai tuan rumah, Indonesia juga akan terus mengusulkan inisiatif Deklarasi Bali tentang perdagangan merkuri. Deklarasi Bali diusulkan karena selama ini belum ada kesepakatan internasional yang mengatur perdagangan merkuri ilegal.Adanya deklarasi ini akan mendorong pembentukan kebijakan dan kolaborasi setiap negara untuk pendanaan ataupun dukungan teknis lainnya.
Selain itu, sejak berlangsungnya sesi pertama COP-4 pada November lalu, Indonesia dan sejumlah delegasi lainnya juga terus melakukan serangkaian kegiatan diskusi secara daring. Diskusi fokus terhadap aspek substansial yang akan dibahas saat sesi tatap muka sehingga kegiatan bisa berjalan lebih efektif tanpa perlu menjelaskan latar belakang isu.
”Dengan adanya diskusi ini, setiap negara sudah memiliki lembar posisinya. Jadi, sebelum tanggal 21 Maret sudah ada working group (tim kerja) untuk menyamakan persepsi tentang substansi yang akan dibahas pada sidang pleno nanti,” kata Sayed.
Mengingat kondisi pandemi, COP-4 Konvensi Minamata diselenggarakan dua sesi, yakni secara daring dan tatap muka. Pertemuan pertama telah dilaksanakan pada 1-5 November 2021 dengan agenda pembahasan hal-hal administratif, seperti anggaran tahun 2022-2023dan mekanisme pendanaan.Mempertimbangkan berbagai keterbatasan, pertemuan pertama tidak menghasilkan kesepakatan yang bersifat substansial.
Aktivitas PESK
Penyelenggaraan COP-4 sangat penting bagi Indonesia untuk mempertegas komitmen dan keseriusannya dalam mengurangi serta menangani penggunaan merkuri di berbagai sektor, termasuk penambangan emas skala kecil (PESK). KLHK mencatat, saat ini Indonesia telah menurunkan penggunaan merkuri dari aktivitas PESK hingga 12,4 ton.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Direktur Teknik dan LingkunganMinerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Muhammad Wafid menyatakan, mayoritas permasalahan merkuri dan tata kelola yang buruk terjadi pada kegiatan penambangan emas tanpa izin (PETI). Namun, kegiatan ini tidak masuk dalam kategori penambangan rakyat.
Oleh karena, kata Wafid, perizinan dalam proses penambangan merupakan salah satu faktor penting untuk mengatasi persoalan merkuri. Sebab, pemerintah akan semakin mudah mengawasi kegiatan yang berizin sehingga penambangan bisa menerapkan tata kelola yang lebih baik, termasuk menjaga lingkungan.
”Tidak adanya izin membuat proses penambangan akan mengarah ke kegiatan yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan. Izin pertambangan rakyat berkewajiban mengelola lingkungan dan keselamatan. Karakteristik ini tidak dimiliki oleh PETI,” ucapnya.
Wafid menambahkan, pemerintah saat ini telah memberikan lahan yang lebih bagi izin pertambangan rakyat sesuai aturan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba. Upaya ini diharapkan dapat menarik para pelaku PETI untuk beralih ke kegiatan penambangan yang berizin dan mengedepankan aspek lingkungan.