Kemandirian Vaksin, antara Kuba dan Indonesia
Pandemi Covid-19 memperlihatkan bahwa dunia senasib, tapi tidak sepenanggungan dalam akses vaksin. Nasib sejumlah negara miskin berada di genggaman segelintir negara kaya dan raksasa farmasi. Kemandirian perlu dibangun.
Dua tahun lebih dunia menghadapi nasib yang sama, yaitu berjibaku menghadapi pandemi Covid-19. Akan tetapi, arah setiap negara sungguh jauh berbeda. Akibat ketimpangan yang kian menganga, nasib sejumlah negara justru berada di tangan segelintir negara lain dan raksasa farmasi dunia.
Negara-negara kaya memulai vaksinasi Covid-19 rata-rata dua bulan lebih awal dari negara-negara berkembang dan miskin. Hingga kini, cakupan vaksinasi Covid-19, terutama di negara miskin, pun masih rendah.
Per 23 Februari 2021, Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) mencatat, dua dari tiga orang atau 68,63 persen penduduk di negara-negara kaya sudah mendapat setidaknya satu dosis vaksin Covid-19. Sementara di negara-negara miskin, baru satu dari delapan atau 13,33 persen penduduknya yang mendapat satu dosis vaksin Covid-19.
Selain ketersediaannya terbatas, melakukan vaksinasi pada minimal 70 persen populasi juga tidak murah. Dalam konteks ini lagi-lagi jurangnya teramat lebar. Negara kaya hanya perlu meningkatkan 0,8 persen anggaran kesehatannya untuk memvaksin 70 persen penduduknya. Adapun negara miskin harus menaikkan 56,6 persen anggaran kesehatannya jika mau 70 persen penduduknya divaksin.
Meski semua pemimpin negara paham bahwa kerja sama, solidaritas, dan kolaborasi akan memperkuat respons global terhadap pandemi, tindakan nyata ke arah sana tidak cukup untuk mewujudkan kesetaraan akan vaksin. Vaksin tetap mengalir berdasarkan kekuatan kapital dan preferensi geopolitik.
Di tengah jurang ketimpangan akses yang kian kentara, Kuba adalah pengecualian.
Kuba
Alih-alih memesan vaksin Covid-19 dari negara lain, negara komunis yang berjarak ”sepelemparan batu” dari Amerika Serikat itu mengambil keputusan berani: mengembangkan sendiri vaksin Covid-19. Mengingat pengembangan vaksin umumnya butuh waktu tahunan, bahkan hingga puluhan tahun dengan risiko kegagalan yang besar, wajar jika ini terlihat seperti ”pertaruhan” berani untuk tidak menyebutnya nekat.
Ketika negara-negara miskin menggantungkan harap pada fasilitas Covax, sebuah platform pengadaan dan distribusi vaksin yang didukung oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), untuk mendapatkan vaksin Covid-19, Kuba tidak ikut serta dalam Covax.
Baca Juga: Upaya Vaksin Mandiri Iran dan Kuba di Tengah Pandemi Serta Impitan Sanksi
Bagi virolog Kuba, Amilcar Perez Riverol, kata yang tepat terkait strategi negaranya menghadapi pandemi bukanlah ”bertaruh”. ”Saya lebih suka kata ’berisiko’,” ujarnya seperti dikutip NPR, 1 Februari 2022.
Keyakinan Kuba itu terbukti. Bukan satu atau dua, Kuba mengembangkan lima vaksin Covid-19 sekaligus.
Kelima vaksin yang dalam berbagai tahap pengembangan itu adalah Soberana 1, Soberana 2, dan Soberana Plus dikembangkan oleh Instituto Finlay de Vacunas di Havana serta Abdala dan Mambisa dikembangkan Centro de Ingenieria Genetica y Biotecnologia atau Pusat Rekayasa Genetik dan Bioteknologi Kuba.
Citra yang terbentuk di AS adalah tidak ada yang berjalan lancar di Kuba. Kenyataannya, ada beberapa sektor yang berjalan sangat baik dan bioteknologi adalah salah satunya.
The New York Times mencatat, Soberana 2, Soberana Plus, dan Abdala telah mendapat izin penggunaan darurat dari otoritas kesehatan Kuba dan diekspor. Iran dan Nikaragua telah memakai Soberana 2 dengan Soberana Plus sebagai dosis penguat. Kombinasi ini menghasilkan efikasi 92,4 persen.
Abdala dengan efikasi 92,28 persen dipakai di Meksiko, Nikaragua, Venezuela, dan St Vincent dan Grenadine di Karibia. Sementara dua lainnya, Soberana 1 dan Mambisa, masih dalam uji klinis.
Belum satu pun dari lima vaksin itu masuk dalam daftar penggunaan darurat (WHO) ataupun otoritas kesehatan negara maju lain.
Walau begitu, keberadaan vaksin-vaksin itu memungkinkan Kuba memvaksin lebih dari 85 persen penduduknya, lebih tinggi dari cakupan vaksinasi Covid-19 Amerika Serikat. Cakupan ini bahkan melampaui capaian negara-negara Eropa kecuali Portugal. Bahkan, anak usia 2 tahun di Kuba sudah divaksin Covid-19.
Baca Juga: Kuba Negara Pertama di Dunia yang Vaksinasi Covid-19 pada Anak Balita
Ada beberapa alasan mengapa Kuba bisa melakukan itu. Pertama, selama ini negara berpenduduk 11 juta ini telah memproduksi sendiri mayoritas vaksin untuk keperluan program imunisasi dasarnya. Infrastrukturnya sudah terbangun selama lebih dari 30 tahun.
Kedua, mereka tidak memulainya dari nol. Mereka mengambil vaksin untuk penyakit lain dan memodifikasinya dengan menambahkan komponen virus SARS-CoV-2. Semua vaksin Covid-19 buatan Kuba dibangun dengan platform subunit protein konjugat (protein subunit conjugate vaccines).
Kemampuan Kuba mengembangkan vaksin dalam kecepatan yang hampir sama dengan raksasa farmasi dunia tampak mengejutkan. Negara ini telah berada dalam kekacauan sosial dan ekonomi. Penduduknya menghadapi kekurangan makanan, bahan bakar, juga nilai mata uang yang anjlok yang memicu protes besar tahun lalu.
Baca Juga: Ingin Mandiri Vaksin Covid-19, Vietnam Kerja Sama dengan Kuba
Menurut Riverol, pengembangan vaksin menjadi proyek semua orang di Kuba. ”Itu menjadi prioritas utama seluruh negeri, bukan hanya komunitas ilmiah atau otoritas kesehatan, melainkan juga dari sisi politik ini harus jadi. Sebab, inilah satu-satunya peluang agar warga mendapat vaksin,” paparnya.
Guru Besar Pemerintahan di American University di Washington DC William LeoGrande mengatakan, orang AS kerap memandang sebelah mata industri bioteknologi Kuba. ”Citra yang terbentuk di AS adalah tidak ada yang berjalan lancar di Kuba. Kenyataannya, ada beberapa sektor yang berjalan sangat baik dan bioteknologi adalah salah satunya,” katanya.
Indonesia
Jika Kuba, negara kecil yang menghadapi ketidakstabilan ekonomi akibat sanksi AS, saja mampu mengembangkan vaksin Covid-19 sendiri, Indonesia memiliki lebih dari cukup sumber daya yang dibutuhkan untuk menjadi simpul vaksin Covid-19 di kawasan. Apalagi, WHO baru saja memilih Indonesia sebagai penerima alih teknologi mRNA.
Banyak periset yang berkompeten di kampus-kampus dan lembaga penelitian. Indonesia juga memiliki PT Bio Farma yang telah memproduksi 14 jenis vaksin untuk 150 negara di dunia. Badan usaha milik negara ini juga memiliki kapasitas produksi lebih 3,2 miliar dosis vaksin setahun.
Proyek riset vaksin Merah Putih yang telah berjalan hampir dua tahun mengerucut pada tiga tim, salah satunya Universitas Airlangga yang bekerja sama dengan PT Biotis Pharmaceuticals.
Calon vaksin Covid-19 dari Unair dan PT Biotis dikembangkan dengan platform inaktivasi dan diuji klinis fase I di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Soetomo 9 Februari-8 Maret 2022. Sementara fase II pada 11 Maret-11 April 2022 dengan 405 partisipan dan fase III dijadwalkan pada 5.000 partisipan setelah fase II selesai.
Saat seremoni secara virtual uji klinis vaksin Merah Putih di Surabaya, Rabu (9/2/2022), Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan, masih ada kekosongan vaksinasi bagi warga usia 3-6 tahun. Baru Sinovac dan Pfizer yang mengembangkan vaksin untuk kelompok umur ini. Kekosongan itulah yang harapannya dapat diisi vaksin Merah Putih. Vaksin ini juga akan menjadi donasi bagi negara lain.
Teknologi mRNA merupakan teknologi termutakhir untuk mengembangkan vaksin dalam waktu paling singkat yang tidak mudah dikuasai. Sebagai penerima alih teknologi, Indonesia akan mendapatkan pelatihan teknis untuk skala industri, tata cara pengembangan vaksin dalam skala laboratorium/klinis, teknik pengawasan kualitas, serta lisensi yang terkait.
Baca Juga: Indonesia Terpilih Menerima Alih Teknologi Vaksin mRNA
Dalam siaran persnya, Rabu (23/2), Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, alih teknologi mRNA ini tak hanya berguna untuk meningkatkan akses terhadap vaksin Covid-19, tetapi juga penyakit lain, seperti malaria, tuberkulosis, dan kanker. Karena itu, kemampuan Indonesia dalam pengembangan teknologi mRNA diharapkan membantu kebutuhan domestik ataupun kawasan atas vaksin berbasis mRNA serta pengembangan dan pembuatan obat terapi.
”Alih teknologi ini akan berkontribusi dalam memastikan akses setara terhadap obat-obatan agar kita dapat pulih bersama dan pulih menjadi lebih kuat. Kita benar-benar berharap kerja sama ini akan dapat mempersempit kesenjangan, termasuk kesenjangan vaksin,” tuturnya.
Kemampuan riset vaksin, menjadi penerima alih teknologi mRNA, dan konsistensi menyuarakan akses atas kesetaraan vaksin akan memperkuat posisi Indonesia sebagai Ketua G-20. Indonesia tak hanya bisa menentukan arah nasib sendiri dalam vaksinasi Covid-19, tetapi juga bisa berperan menata ulang arsitektur kesehatan global dan menutup jurang ketimpangan akses vaksin global.