Penyakit GERD cenderung meningkat di masyarakat. Tata laksana yang tepat perlu dilakukan sejak dini untuk menghilangkan gejala dan mencegah komplikasi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyakit saluran cerna yang diakibatkan naiknya isi lambung ke kerongkongan atau GERD perlu mendapatkan penanganan yang tepat untuk mencegah kekambuhan serta komplikasi yang lebih berat. Selain mendapatkan terapi yang tepat, modifikasi gaya hidup juga perlu dilakukan.
Ketua Umum Perhimpunan Endoskopi Gastrointestinal Indonesia Ari Fahrial Syam di Jakarta, Kamis (10/2/2022), mengatakan, tren kasus GERD meningkat seiring dengan perubahan gaya hidup yang dapat memicu terjadinya penyakit saluran cerna tersebut. Adapun faktor risiko GERD, antara lain, obesitas, merokok, konsumsi kafein berlebihan, makan di waktu yang terlalu larut, konsumsi makan berlemak dan digoreng, konsumsi alkohol, serta stres.
”Selama masa pandemi, faktor risiko yang menyebabkan GERD meningkat di masyarakat. Tidak sedikit orang yang menjadi kurang bergerak sehingga menyebabkan obesitas. Selain itu juga tingkat stres juga meningkat. Karena itu, kewaspadaan harus ditingkatkan,” katanya.
Berdasarkan survei yang dilakukan secara daring melalui aplikasi GerdQ yang dilakukan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo, dari 2.045 responden ditemukan 57,6 persen di antaranya mengalami GERD. Survei tersebut juga menunjukkan, kasus GERD banyak ditemui pada laki-laki, orang dengan obesitas, serta perokok.
Ari menyampaikan, GERD perlu dideteksi sejak dini. Penanganan yang tepat perlu diberikan untuk mencegah terjadinya kekambuhan dan komplikasi yang lebih buruk. Umumnya, GERD menimbulkan gejala, seperti rasa panas pada dada. Biasanya, mulut akan terasa pahit dan terasa seperti ada sesuatu yang berbalik arah dari kerongkongan dan dirasakan di rongga mulut.
Selama masa pandemi, faktor risiko yang menyebabkan GERD meningkat di masyarakat. Tidak sedikit orang yang menjadi kurang bergerak sehingga menyebabkan obesitas. Selain itu juga tingkat stres juga meningkat.
Gejala tersebut harus segera ditangani. Jika diabaikan dan terjadi terus-menerus dapat menyebabkan iritasi dan peradangan pada dinding dalam kerongkongan. Kondisi itu bisa menyebabkan gangguan yang lebih serius, seperti luka kronis, penyempitan pada kerongkongan bawah, dan kanker esofagus.
Kewaspadaan akan GERD perlu lebih ditingkatkan apabila gejala muncul pada usia lebih dari 40 tahun, berat badan menurun tanpa sebab, pucat tanpa sebab, serta muntah darah dan buang air besar (BAB) menghitam. Selain itu, perhatikan pula jika merasa kesulitan untuk menelan, sakit saat menelan, serta ada riwayat keluarga dengan kanker esofagus (lambung).
Ari menyampaikan, sejumlah pemeriksaan dapat dilakukan untuk mengetahui adanya GERD. Pemeriksaan awal yang bisa dilakukan adalah dengan tes penghambat pompa proton (PPI). Tes ini dilakukan untuk melihat respons pemberian penghambat pompa proton yang digunakan untuk mengatasi gangguan asam lambung. Jika gejala yang terjadi membaik, pasien akan didiagnosis mengalami GERD.
Selain tes PPI, pemeriksaan lain yang bisa dilakukan, seperti endoskopi, esofagogram, monitoring pH 24 jam, dan manometri esofagus. Tata laksana yang tepat harus segera dilakukan agar gejala bisa segera diatasi serta komplikasi bisa dicegah.
”Modifikasi gaya hidup dapat dilakukan. Utamanya dengan berhenti merokok, tidak mengonsumsi alkohol, menurunkan berat badan, diet rendah lemak, serta menghindari makanan yang dapat memicu asam lambung. Makanan yang dihindari seperti cokelat, keju, kopi, ataupun minuman bersoda,” ujar Ari.
Infeksi
Ari menuturkan, infeksi bakteri Helicobacter pylori (H. pylori) juga bisa menyebabkan terjadinya luka atau tukak pada lambung. Infeksi bakteri ini perlu menjadi perhatian karena dapat menjadi faktor penyebab kanker lambung. Dalam pedoman pengobatan global, eradikasi infeksi bakteri H. pylori dapat dicapai dengan menggunakan regimen yang mencapai eradikasi lebih dari 90 persen.
Namun, keterbatasan PPI yang tersedia di tengah masyarakat dan adanya resistensi antibiotik menyebabkan kegagalan dalam mencapai angka eradikasi infeksi bakteri tersebut. Eradikasi bakteri H. pylori perlu menjadi perhatian untuk mengurangi risiko kanker lambung seumur hidup.
”Vonoprazan, sesuai hasil studi, ternyata mampu memberikan hasil klinis yang lebih baik dibandingkan dengan golongan obat yang sebelumnya sudah ada, yaitu PPI. Adanya terapi terbaru dalam penyakit terkait asam seperti GERD dan infeksi H. pylori ini diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan terapi, mencegah kekambuhan, dan juga komplikasi lainnya, termasuk kanker lambung,” kata Ari.
Country Head PT Wellesta CPI Yohannes Sinaga menambahkan, sebagai produsen vonoprazan, obat ini diharapkan bisa memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Obat ini juga diharapkan dapat menjadi terapi lini pertama bagi pasien GERD dan eradikasi bakteri H. pylori sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.