Kemandirian Warga Papua Wujudkan Ketahanan Ekonomi dan Pangan
Tanpa kemandirian masyarakat, perekonomian di Papua akan terus bergantung kepada sawit ataupun pihak luar. Melalui kemandirian, masyarakat adat bisa menikmati sumber daya alam yang dimiliki untuk berbagai kebutuhan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perekonomian dan pangan di wilayah Papua dipandang masih sangat bergantung kepada pihak luar sehingga menjadi celah bagi korporasi untuk mengeruk alam. Kemandirian masyarakat lokal Papua merupakan salah satu kunci untuk terlepas dari ketergantungan ini sekaligus mewujudkan kemandirian ekonomi dan pangan.
CEO Yayasan Ekosistem Nusantara Berkelanjutan (Econusa) Bustar Maitar mengemukakan, tanpa kemandirian masyarakat lokal, perekonomian di Papua akan terus bergantung kepada sawit ataupun pihak luar. Melalui kemandirian, masyarakat adat bisa menikmati sumber dan potensi alam yang dimiliki untuk berbagai kebutuhan.
”Tahun ini Econusa akan mencoba melihat apakah kelapa yang ada di Sorong bisa langsung diolah menjadi minyak goreng agar tidak terus didatangkan dari pulau lain. Kemudian tanaman keladi juga bisa diolah menjadi tepung sehingga dapat menjadi makanan pokok pengganti beras,” ujarnya dalam acara Econusa Outlook 2022 di Jakarta, Kamis (10/2/2022).
Hanya orang-orang beradat yang bisa menjaga hutan. Artinya, orang yang sembarang menebang hutan dan merusak adalah orang yang tidak memiliki atau tidak tahu adat.
Menurut Bustar, seluruh komoditas dan potensi yang ada di Papua harus dikelola dengan baik agar memiliki nilai jual yang tinggi. Melalui upaya ini, masyarakat pun tidak akan berpikir untuk memberikan tanahnya kepada perusahaan sawit yang datang dengan membawa uang ataupun fasilitas lainnya.
Selain meningkatkan pengelolaan komoditas lokal, Econusa bersama sejumlah pihak juga tengah menjajaki untuk membangkitkan kembali sekolah adat di Sorong, Papua Barat. Sekolah adat juga menjadi salah satu program yang dijalankan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk membangkitkan kembali nilai-nilai budaya yang telah menjadi transformasi sosial.
”Hanya orang-orang beradat yang bisa menjaga hutan. Artinya, orang yang sembarang menebang hutan dan merusak adalah orang yang tidak memiliki atau tidak tahu adat. Indonesia sebagai negara yang berbudaya dan beradat sudah seharusnya memegang nilai budaya dan adat untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan,” ucapnya.
Bustar menekankan bahwa sebesar apa pun investasi yang masuk ke Indonesia akan sia-sia apabila tidak memperhatikan aspek keberlanjutan atau penanganan krisis iklim. Sebab, hasil studi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indonesia berpotensi mengalami kerugian hingga Rp 544 triliun akibat dampak perubahan iklim.
Upaya mengelola sumber daya alam yang lebih berkelanjutan ini telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Sorong dengan mencabut izin konsesi perusahaan sawit seluas lebih dari 200.000 hektar tahun lalu. Lahan yang telah dicabut izinnya tersebut kemudian akan dikembalikan kepada masyarakat adat untuk dikelola dengan lebih lestari.
Menurut Bustar, langkah berani Pemkab Sorong mencabut izin perusahaan sawit merupakan salah satu inisiatif yang paling menjanjikan untuk penyelamatan iklim di dunia. Bahkan, upaya ini telah menjadi inspirasi bagi pemerintah pusat untuk mencabut perusahaan sawit lainnya yang bermasalah.
”Masyarakat adat di timur Indonesia terus memperkuat pengelolaan sumber daya alam secara mandiri untuk keberlangsungan hidup dan ekosistem dalam menopang iklim kita. Inisiatif pencabutan izin perusahaan sawit dari Bupati Sorong juga dilihat oleh Presiden sebagai langkah yang nyata dan konkret untuk menyelamatkan sumber daya alam serta memperkuat hak-hak masyarakat adat,” tuturnya.
Pemetaan wilayah
Bupati Sorong Johny Kamuru yang turut hadir dalam acara tersebut mengatakan, saat ini Pemkab Sorong dibantu berbagai pihak tengah melakukan proses pemetaan wilayah adat dari setiap marga. Hasil pemetaan wilayah adat ini sebagai dasar saat proses pengembalian lahan pencabutan izin perusahaan sawit ke masyarakat.
”Kami sudah memerintahkan kepala dinas pertanian untuk mengembangkan kegiatan di bidang pertanian yang sekiranya bisa bermanfaat bagi masyarakat,” katanya.
Johny memahami bahwa setiap perusahaan perkebunan ataupun di bidang lainnya tidak ingin mengalami kerugian. Namun, kesenjangan antara perusahaan dan masyarakat tidak boleh terlalu besar. Masyarakat jangan sampai terlalu dikorbankan akibat kegiatan perusahaan karena mereka sangat bergantung kepada hutan dan sumber daya alam.
”Kegiatan yang pro terhadap masyarakat seperti pertanian atau kegiatan lainnya tetap diperlukan agar mereka bisa memperoleh pendapatan. Meski lingkup kegiatannya kecil, namun tetap berkelanjutan dan hutan serta kehidupan masyarakat akan tetap terjaga,” tambahnya.
Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat AdatKemendikbudristek Samsul Hadi mengatakan, Kemendikbudristek bekerja sama dengan organisasi nonpemerintah lokal terus mendorong pemberdayaan masyarakat yang berbasis kerakyatan, termasuk berdirinya sekolah adat di setiap wilayah. Penguatan kearifan lokal di masyarakat adat nantinya bisa masuk ke dunia pendidikan menjadi materi muatan lokal.
”Direktorat Jenderal Kebudayaan sedang mendorong percepatan penyusunan standar kompetensi khusus untuk fasilitator sekolah adat. Nantinya pemerintah daerah bisa memberikan stimulus kepada para fasilitator sekolah adat yang didirikan lembaga adat,” ungkapnya.