Mengatasi Kesenjangan Mutu Pelayanan dalam Program JKN
Seluruh penduduk Indonesia berhak mendapatkan akses layanan kesehatan yang sama. Mutu layanan di fasilitas kesehatan pun perlu terus ditingkatkan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
Kesenjangan pelayanan rumah sakit di Indonesia masih menjadi tantangan di era program Jaminan Kesehatan Nasional. Hal ini, setidaknya, terlihat dari ketersediaan rumah sakit yang ada di wilayah Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur.
Data Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) menunjukkan, ada 2.943 rumah sakit di Indonesia. Dalam dua tahun terakhir, terdapat penambahan 181 rumah sakit.
Meski begitu, sebaran rumah sakit tersebut tidak merata. Dari total rumah sakit yang ada, sebanyak 2.270 rumah sakit atau 77 persen berada di Indonesia bagian barat dan hanya 673 rumah sakit di Indonesia bagian timur.
Kesenjangan tersebut semakin tampak jika dilihat dari ketersediaan rumah sakit berdasarkan fasilitas pelayanannya. Jumlah rumah sakit tipe A yang merupakan rumah sakit rujukan tertinggi di Indonesia di wilayah Barat tercatat 54 rumah sakit, sedangkan di Indonesia bagian timur hanya 6 rumah sakit.
”Kalau kita lihat memang sangat lebar kesenjangan di wilayah barat dan timur terkait dengan pelayanan medis maupun nonmedisnya. Dengan biaya premi yang sama yang harus dibayarkan dalam pelayanan JKN, apakah ini adil?” ujar Ketua Umum Persi Bambang Wibowo di Jakarta, Minggu (6/2/2022) malam.
Karena itu, ia menilai, pemetaan distribusi dan peningkatan mutu pelayanan rumah sakit amat diperlukan untuk mengatasi kesenjangan pelayanan di masyarakat.
Bambang mengatakan, upaya penguatan yang harus dilakukan di rumah sakit untuk menjadi center of excellence tidaklah mudah. Rumah sakit membutuhkan kemampuan sumber daya yang lengkap, sarana dan prasarana yang baik, serta adanya komitmen dan kepemimpinan yang baik.
Regulasi dan indikator pencapaian juga menentukan tata kelola rumah sakit. Tanpa adanya standar yang jelas, tata kelola yang dijalankan rumah sakit akan bervariasi. Oleh sebab itu, akreditasi rumah sakit perlu dijalankan, terutama bagi rumah sakit yang melayani peserta program JKN-KIS. Akreditasi ini dapat memastikan bahwa pasien mendapatkan perawatan dengan standar yang baik.
Kalau kita lihat memang sangat lebar kesenjangan di wilayah barat dan timur terkait dengan pelayanan medis maupun nonmedisnya. Dengan biaya premi yang sama yang harus dibayarkan dalam pelayanan JKN, apakah ini adil?
Pada 2020, sebanyak 83 persen rumah sakit sudah mendapatkan akreditasi. Sebanyak 44 rumah sakit bahkan sudah mendapatkan akreditasi internasional. Diharapkan dengan adanya akreditasi ini, rumah sakit pun bisa lebih terpacu untuk meningkatkan mutu pelayanan yang diberikan.
Bambang mengatakan, rumah sakit dan organisasi profesi memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan mutu dan daya saing rumah sakit. Meski begitu, masih banyak hambatan dan kendala yang dijumpai.
Hambatan tersebut, antara lain, proses penyesuaian terhadap perubahan regulasi perumahsakitan yang terlambat, belum adanya regulasi turunan yang terkait, serta proses akreditasi yang sementara ini dihentikan. Selain itu, pertumbuhan rumah sakit yang cepat di masa pandemi tidak diimbangi dengan pertumbuhan sumber daya manusia (SDM) dan kualitas pelayanan.
”Perbaikan regulasi dan pembuatan regulasi turunan dari PP No 47/2021 (Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan) diharapkan dapat segera diterbitkan sehingga akan ada daya ungkit perbaikan akses dan mutu layanan rumah sakit. Sistem rujukan juga perlu diperbaiki agar akses masyarakat pada layanan kesehatan bisa lebih mudah,” ucapnya.
Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Lily Kresnowati menyampaikan, peserta JKN diharapkan bisa mendapatkan kepastian akses, baik akses layanan maupun akses informasi dari fasilitas kesehatan. Akses layanan tersebut, misalnya, kemudahan akses ke fasilitas kesehatan, tidak adanya diskriminasi antara peserta JKN dan non-JKN, ketersediaan ruang rawat inap dan ICU yang sesuai, serta ketersediaan obat dan alat kesehatan.
Sementara, akses terkait informasi yang dimaksud, antara lain, akses terhadap informasi kebijakan dan prosedur rujukan, jadwal dan giliran pemeriksaan, informasi tagihan iuran, dan informasi ketersediaan ruang rawat inap. Seluruh faktor tersebut telah masuk dalam indikator mutu kepatuhan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKTRL) dalam kontrak perjanjian dengan BPJS Kesehatan.
Setidaknya ada tujuh indikator yang ditentukan, yakni pembaruan tampilan ketersediaan tempat tidur, tampilan tindakan operasi yang terhubung dengan Mobile JKN, sistem antrean yang terhubung dengan Mobile JKN, survei pemahaman regulasi JKN, dan tingkat kepuasan peserta di FKRTL.
”Indikator ini juga menjadi sumber penilaian dalam pemberian uang muka pelayanan kesehatan dari BPJS Kesehatan. Fasilitas kesehatan bisa mendapatkan uang muka pelayanan sampai dengan 50 persen sebelum verifikasi dilakukan. Ini diharapkan bisa mendorong rumah sakit untuk menjaga kepatuhan dalam kontrak perjanjian dalam peningkatan mutu pelayanan,” tutur Lily.