Terjebak Sedimentasi Teluk Kendari, Lumba-lumba Hidung Botol Mati Saat Dievakuasi
Satu individu lumba-lumba hidung botol mati setelah terjebak di kawasan yang tersedimentasi di Teluk Kendari. Tidak hanya berbahaya bagi hewan, sedimentasi rentan merugikan kehidupan manusia di sekitarnya.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Setelah terjebak di lumpur Sungai Wanggu, Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara, seekor lumba-lumba hidung botol mati saat dievakuasi. Hewan dilindungi ini lemas akibat kelelahan setelah terjebak di sana hingga belasan jam. Kondisi teluk yang semakin kritis membuat hewan laut yang terjebak kerap sulit diselamatkan.
Lumba-lumba hidung botol ( Tursiops truncatus), ditemukan terjebak di Sungai Wanggu, Kendari, sejak Kamis (3/2/2022) malam. Hewan ini terjepit di antara akar bakau di kondisi tepian sungai yang surut dan tidak ada air.
Fahruddin (22), warga Bende, Kadia, Kendari, menuturkan, ia mengetahui lumba-lumba terjebak di Sungai Wanggu pada Jumat (4/2/2022) sekitar pukul 08.00 Wita. Saat itu, seorang tetangga melaporkan ada lumba-lumba terjebak di antara bakau di tepian sungai.
”Saya ke sana, lumba-lumba ini terjepit di antara bakau. Ekor dan kepalanya tidak bisa goyang. Kondisinya air surut, jadi hewan ini semakin susah bergerak. Dari informasi warga, hewan ini berada di sungai sejak Kamis malam,” kata Fahruddin, Jumat siang.
Bersama sejumlah warga lainnya, ia berusaha mendorong dan menyelamatkan hewan yang dilindungi ke sisi sungai yang lebih dalam. Warga lainnya juga menghubungi petugas Pemadam Kebakaran (Damkar) Kendari untuk membantu evakuasi.
Sekitar pukul 08.30, tim Damkar Kendari datang dan segera melakukan penyelamatan. Lumba-lumba ini didorong dari sungai yang mendangkal dan berlumpur. Setelah setengah jam, tim berhasil membawa hewan ini ke muara sungai. Menggunakan perahu motor, hewan ini lantas diletakkan di sebuah sarung.
Hewan ini rencananya akan dibawa ke muara Teluk Kendari untuk dilepasliarkan. Namun, setelah lebih dari dua jam evakuasi, hewan ini tidak terselamatkan.
Kepala Damkar Kota Kendari Junaidin Umar menambahkan, pihaknya sudah berupaya maksimal menyelamatkan hewan ini. Penyelamatan menggunakan peralatan dan perlengkapan seadanya agar lumba-lumba ini bisa mencapai teluk.
Namun, sungai yang dangkal dan jarak yang jauh membuat proses evakuasi tidak bisa cepat. Akibatnya, hewan yang telah berjam-jam terjebak ini semakin lemah dan lemas. Di tengah perjalanan menuju muara teluk, lumba-lumba ini mati.
”Berdasarkan koordinasi, kami akan kubur di halaman belakang pos kami. Nantinya, akan dikoordinasikan dengan instansi terkait apakah rangkanya akan diambil atau seperti apa. Yang penting dikubur dulu agar tidak mengganggu,” ujarnya.
Berdasarkan identifikasi awal, lumba-lumba hidung botol ini berjenis kelamin betina dengan panjang 2,45 meter. Beberapa luka ditemukan di tubuh hewan ini, termasuk satu luka menganga di sekitar perut.
Jufri, Penanggung Jawab Satuan Kerja Kendari Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar, menyampaikan, hewan dilindungi ini masuk ke dalam Teluk Kendari diduga akibat sistem sonar yang terganggu. Sistem sonar digunakan untuk berkomunikasi hingga mengirim bahaya ke rekannya. Sistem ini sering terganggu dengan sistem sonar kapal laut. Di sekitar perairan Kendari, ramai alur pelintasan kapal.
Setelah di kawasan teluk, sambung Jufri, lumba-lumba ini masuk jauh ke dalam Sungai Wanggu, salah satu sungai yang bermuara ke teluk, saat air pasang. Namun, setelah air surut, hewan ini terjebak dan sulit keluar.
”Saat terjebak, diduga pasir sungai juga masuk sampai ke lubang pernapasan sehingga hewan ini sulit untuk bernapas. Dalam proses evakuasi yang membutuhkan waktu tidak sedikit, hewan ini tidak bertahan dan mati,” katanya.
Menurut Jufri, bukan kali ini saja hewan dilindungi terjebak di sekitar Teluk Kendari. Pada tahun 2016, lima lumba-lumba lainnya juga terjebak di sekitar kawasan teluk meski mampu diselamatkan. Tidak hanya itu, pada awal Januari 2021, satu individu hiu paus ( Rhincodon typhus) juga terjebak belasan jam di Sungai Wanggu.
Evakuasi hewan dengan panjang lebih dari tiga meter itu membutuhkan waktu lebih dari enam jam. Petugas harus mendorong hiu paus ini melewati sungai yang dangkal dan berlumpur hingga ke muara sungai. Hewan ini baru bisa berenang bebas setelah mencapai Teluk Kendari.
Wilayah Teluk Kendari kini mengalami sedimentasi parah seiring pesatnya pembangunan. Hasil penelitian Balai Penelitian Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Sampara menyebutkan, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, terjadi pendangkalan seluas 101,8 hektar di Teluk Kendari. Luasan wilayah teluk ini menyusut dari semula 1.186,2 hektar menjadi 1.084,4 hektar pada tahun 2000.
Padahal, Teluk Kendari merupakan salah satu aset penting, yang merupakan muara dari sekitar 13 sungai di Kota Kendari. Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Wanggu dan Sungai Kambu adalah dua terbesar yang bermuara di Teluk Kendari.
Sungai Wanggu, yang memiliki DAS seluas 339,73 kilometer persegi, merupakan penyumbang sedimentasi terbesar yang mencapai 143.147 meter kubik per tahun. Hal itu sesuai riset dari Catrin Sudardjat, M Syahril BK, dan Hadi Kardhana pada 2011, seperti dilansir dari laman LPPM Institut Teknologi Bandung.
Seiring waktu, laju pendangkalan terus bertambah setiap tahun. Tutupan mangrove di kawasan teluk ini juga berkurang drastis. Selama 1997 hingga 2019, tutupan mangrove berkurang 116,71 hektar.
Irfan Ido, peneliti mangrove dari Universitas Halu Oleo, menambahkan, skala pembangunan besar-besaran membuat tutupan mangrove di kawasan semakin hilang. Sebuah jalan yang membentang di tepian teluk hanya menyisakan sedikit alur air dari dan menuju sungai.
”Berkurangnya mangrove seiring juga dengan laju sedimentasi karena tidak ada lagi yang menahan dan menjadi pengumpul partikel tanah yang hanyut bersama air. Akibatnya, tumpukan lumpur di sungai semakin tinggi dan mangrove semakin kurang. Masalah ini harus ditangani oleh pemerintah agar wilayah Teluk Kendari tetap terjaga dan hewan yang terdampar tidak mengalami kesulitan di kemudian hari,” ujarnya.