Peroleh Izin Edar dari Kemenkes, RT-LAMP Inovasi BRIN Menambah Alternatif Deteksi Covid-19
Alat deteksi Covid-19 RT-LAMP hasil riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) diharapkan memperluas jangkauan tes. Motode berbasis molekuler itu dapat mengetahui hasil tes kurang dari satu jam.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
Pelajar SMKN 35 menjalani tes usap di RW 002 Kelurahan Krukut, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat, Selasa (11/1/2022). Penguncian lokal, penyemprotan disinfektan, serta pelacakan tes antigen dan PCR dilakukan di kawasan padat penduduk tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Setelah mendapat izin edar dari Kementerian Kesehatan, RT-LAMP ataureverse transcription loop mediated isothermal amplificationhasil riset Badan Riset dan Inovasi Nasional menambah alternatif deteksi Covid-19. Metode yang dikembangkan sejak Maret 2020 tersebut dapat mengetahui hasil tes kurang dari satu jam.
Peneliti Pusat Riset Kimia BRIN, Tjandrawati Mozef, mengatakan, akurasi pemeriksaan RT-LAMP setara dengan metode RT-PCR atau reaksi rantai polimerase. Alat itu juga dapat mendeteksi Covid-19 varian Omicron yang saat ini sedang merebak.
”Reaksi amplifikasi gen target dengan metode RT-LAMP berlangsung kurang dari satu jam sehingga diagnosis hasilnya bisa diperoleh lebih cepat,” ujarnya dalam Sapa Media BRIN secara daring di Jakarta, Senin (17/1/2022).
Tjandrawati menuturkan, proses deteksi RT-LAMP dengan menggunakan sistem isotermalrelatif lebih sederhana. Sampel ekstrak RNA (asam ribonukleat) hasil usap hidung dipindahkan ke tabung dan direaksikan dengan reagen.
NINO CITRA ANUGRAHANTO
Irma Handayani, pelari elite Borobudur Marathon 2021, mengikuti tes Covid-19 dengan metode PCR di Puri Asri, Magelang, Jawa Tengah, Kamis (25/11/2021). Tes itu untuk memastikan pelari yang akan berlomba nanti tidak terpapar Covid-19. Para pelari menjalani karantina di hotel tersebut setelah dites.
”Kemudian dideteksi adanya kekeruhan atau tidak. Hasilnya positif jika terjadi kekeruhan dan negatif apabila bening,” katanya.
Deteksi kekeruhan tersebut bisa diperoleh secara real time. Pada menit ke-20 proses reaksi, mulai terlihat amplifikasi material genetik virus. ”Peningkatan amplitudo berbanding lurus dengan presipitasi. Jika positif, secara visual terjadi endapan,”ucapnya.
Keunggulan RT-LAMP adalah tidak membutuhkan peralatan yang mahal. Hanya diperlukan wadah untuk inkubasi dan mengatur suhu secara konstan selama reaksi berlangsung dalam 60-65 menit.
”Jadi, diharapkan bisa digunakan di fasilitas kesehatan yang tidak mempunyai alat PCR. Dengan begitu, deteksi Covid-19 akan lebih masif,”ujarnya.
Tjandrawati menambahkan, pada awal pandemi Covid-19, Maret 2020, tim peneliti berupaya mengembangkan sistem alternatif untuk penapisan dan deteksi RNA virus SARS-CoV-2. Ketika itu, kebutuhan mendeteksi virus masih bergantung pada penggunaan PCR.
”Sementara alat PCR di Indonesia sangat terbatas dan hanya terdapat di laboratorium besar. Selain itu, reagen yang digunakan juga impor,”katanya.
Akan tetapi, Tjandrawati belum dapat memastikan harga alat tes RT-LAMP tersebut. Riset ini dikembangkan bersama PT Biosains Medika Indonesia yang akan mengomersialkan produk tersebut.
”Diperkirakan (harga tes RT-LAMP) di atas swab antigen dan bisa jadi lebih murah dari RT-PCR,”ujar Kepala Pusat Riset Kimia BRIN Yenny Meliana.
Yenny mengatakan, inovasi riset tersebut diharapkan menambah kesiapan dalam mendeteksi penyebaran Covid-19. RT-LAMP akan menjadi alternatif tes berbasis molekuler dengan harga lebih terjangkau, tetapi tetap akurat.
Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Teknik BRIN Agus Haryono berharap, detektor Covid-19 itu dapat dimanfaatkan seluas-luasnya di fasilitas layanan kesehatan. Dengan begitu, penanganan pandemi berjalan lebih optimal.”Skrining dan pengujian menjadi kunci penting dalam pencegahan penyebaran Covid-19, termasuk menghadapi varian Omicron,”ucapnya.
TATANG MULYANA SINAGA
Suasana keramaian pengunjung pasar tumpah di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, Kota Bandung, Minggu (19/12/2021). Masih banyak warga tidak memakai masker dan abai menerapkan jaga jarak dalam kerumunan tersebut sehingga berpotensi meningkatkan penularan Covid-19.
Agus mengapresiasi kerja keras tim peneliti yang melakukan riset sejak awal 2020. Sejumlah kendala, seperti mobilitas yang terbatas, menjadi tantangan dalam riset tersebut.