Simalakama Peneliti di Indonesia
Peleburan berbagai lembaga penelitian ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional menyisakan banyak persoalan, terutama kalangan peneliti dari lembaga dan kementerian.
Hana Krismawati (37) tahun terpaksa harus menanggalkan jabatan fungsionalnya sebagai peneliti muda di Balai Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Biomedis Papua, Kementerian Kesehatan. Setelah peleburan Litbang Kementerian Kesehatan ke Dalam Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), tidak ada status peneliti di lembaga pemerintah lainnya.
"Kalau mau bertahan di Kementerian Kesehatan, jabatan fungsional peneliti harus dilepas. Artinya tunjangan saya sebagai peneliti hilang juga," kata Hana, yang fokus pada penelitian kusta.
Hana telah bekerja sebagai peneliti di Balitbang Biomedis Papua sejak tahun 2012. "Saya waktu itu sengaja melamar kerja di Papua, karena ingin mengabdi dan meneliti neglected diseases (penyakit yang terabaikan) di daerah ini yang jarang diteliti," tuturnya.
Sebagai peneliti honorer, kontrak awalnya adalah sebagai tenaga supir di Balitbang Biomedis Papua, padahal dia saat itu sudah menyelesaikan kuliah S2 di Biologi Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Aturan kepegawaian saat itu, gaji honorer peneliti lebih rendah dari gaji supir. "Agar bisa dibayar sedikit lebih layak, maka status kepegawaian saya sebagai supir. Demi penelitian di Papua, saya rela," kata dia.
Setelah dua tahun menjadi honorer, pada 2014 dia diangkat menjadi ASN (aparatur sipil negara) dan sejak itu makin bersemangat meneliti tentang berbagai penyakit yang diabaikan, khususnya kusta. Sejauh ini Hana telah menerbitkan tujuh paper di jurnal internasional terindeks Sqopus Q1--di jurnal yang berpengaruh besar di dunia saintifik.
Baca juga: Feksibilitas dan Independensi Peneliti BRIN Perlu Dijamin
"Persoalan kusta di Papua dan Papua Barat sangat penting untuk dikaji, karena saat ini menjadi kantung kusta nomor satu dan dua di Indonesia. Di sisi lain, ada komplikasi penanganan kusta di Papua, terutama reaksi dan alergi obat kusta. Soal lain ada karakteristik budaya yang membutuhkan inovasi dan intervensi program," kata Hana.
Ketika kemudian Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbang) Kemkes dilebur ke dalam BRIN, panggilan jiwa Hana membuatnya ingin bergabung ke lembaga ini guna mempertahankan statusnya sebagai peneliti. Walaupun di sisi lain, keberadaannya di bawah Kementerian Kesehatan selama ini mempermudah implementasi hasil kajian dalam program.
"Sebenarnya gamang, satu sisi saya memang peneliti, namun sisi lain berharap hasil kajian bisa diterapkan dan itu akan lebih baik jika tetap di bawah Kementerian Kesehatan," kata dia.
Namun, dia tidak mendapat kejelasan tentang nasib grant atau dana hibah riset dari luar negeri yang tengah dijalaninya jika bergabung dengan BRIN. "Saya sudah bertanya ke sana kemari soal apakah masih bisa menjalankan grant riset saya, namun tidak ada kepastian. Sementara pihak pemberi dana ingin agar riset saya tetap terhubung dengan kementerian sehingga bisa diterapkan," kata dia.
Sebenarnya gamang, satu sisi saya memang peneliti, namun sisi lain berharap hasil kajian bisa diterapkan dan itu akan lebih baik jika tetap di bawah Kementerian Kesehatan.
Di tengah kegamangan ini, Hana mendapat tawaran untuk tetap bergabung di Kementerian Kesehatan dengan jaminan masih tetap bisa meneliti di Papua. Namun, dia harus menanggalkan status fungsionalnya sebagai peneliti karena tidak boleh lagi ada peneliti di kementerian. Dampaknya, tunjangannya sebagai peneliti muda sekitar Rp 1,7 juta bakal hilang.
Mendukung lembaga
Dilema yang dialami Hana juga dialami peneliti iklim dari Badan Meterologi dan Klimatologi (BMKG) Siswanto (42). Peneliti yang tengah menyelesaikan pendidikan doktornya di Universitas Vrije Amsterdam ini juga dihadapkan pada pilihan sulit.
Jika masih mau meneruskan karir sebagai peneliti, dia harus meninggalkan BMKG, yang telah menjadi kantornya sejak lulus di Akademi Meteorologi dan Geofisika pada 2001. Dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan S1 dari BMKG dan kemudian melanjutkan S2 di Swiss. "Sebelumnya saya pernah di struktural, tapi panggilan saya sebagai peneliti. Sejak 2012 menjadi peneliti," kata dia.
Sebagai peneliti, Siswanto juga aktif menulis di jurnal. Dia telah menerbitkan empat artikel ilmiah sebagai penulis pertama di jurnal internasional Q1 dan dua artikel sebagi penulis kedua juga di jurnal Q1, serta di berbagai jurnal dalam negeri dan chapter buku.
Namun, di sisi lain, BMKG menginginkannya tetap di sana karena kemampuannya dibutuhkan untuk memperkuat layanan lembaga. Peneliti di BMKG, menurut Siswanto, tidak hanya meneliti untuk menulis untuk publikasi ilmiah. "Kami juga selama ini melakukan kajian dan perekayasaan untuk membantu meningkatkan akurasi cuaca dan iklim sebagai produk layanan BMKG ke masyarakat," ujarnya.
Kalau semua peneliti di BMKG pindah ke BRIN, hal ini dikhawatirkan akan mengganggu kualitas layanan di BMKG, bidang meterologi, klimatologi, termasuk kegempaan. "Apalagi layanan sekolah lapang iklim dan produk terkait perubahan iklim, itu sangat membutuhkan dukungan para peneliti di BMKG," kata Siswanto.
Sepanjang pengetahuannya, semua lembaga cuaca dan iklim di dunia didukung oleh lembaga-lembaga riset otonom. Misalnya, National Weather Service di Amerika Serikat (AS) didukung oleh pusat riset mumpuni The National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Demikian juga Japan Meteorological Agency yang didukung oleh Meteorological Research Institute (MRI).
"Bahkan di China juga sama saja. Semua lembaga pelayanan seperti BMKG pasti ada pusat risetnya. Hal ini karena pengembangan dan prediksi cuaca serta iklim sangat butuh dukungan penelitian," kata dia.
Perekayasa
Agustan (47), mantan Kepala Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Wilayah (TPSA)-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengatakan, peleburan seluruh lembaga riset ke dalam Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) menimbulkan kegamangan bagi banyak orang. Hal ini karena masing-masing lembaga yang dilebur memiliki karakteristik dan sejarah yang berbeda.
"Tidak bisa kalau ukurannya disamakan menjadi peneliti yang keluarannya paper ilmiah. Saya sendiri tidak masalah untuk menulis paper, sejauh ini cukup banyak paper Q1 saya," kata Agustan, yang sekarang menjadi Pelaksana tugas Kepala Pusat TPSA-BRIN.
Namun, menurut Agustan, di pusatnya yang beranggotan 60 orang, ada 90 persen di antaranya adalah perekayasa dengan tugas sehari-hari merekayasa, bukan menulis paper ilmiah. Dia mencontohkan, di salah satu kepusatan mendapat proyek strategis dari pemerintah untuk membuat drone tempur. Penanggung jawab lalu membagi beberapa grup kecil dengan tugas berbeda, ada yang meneliti dan merekayasa tubuh pesawat, cat, roda, hingga mesin.
" Setiap hari anggota tim akan membuat catatan harian (log book) sebagai laporan pembelajaran untuk kerekayasaan. Seminggu sekali, setiap grup akan membuat laporan teknis, bukan paper. Demikian seterusnya sampai produknya selesai. Orientasi kerja di BPPT tidak semuanya menulis artikel, sehingga akan jadi tantangan berat ke depan bagi banyak orang," kata dia.
Agustan mengaku, orang-orang di BPPT tidak punya pilihan lain selain bergabung dengan BRIN atau keluar, karena lembaga mereka sudah tiada. Sekalipun skalanya berbeda, situasi ini mirip dengan yang terjadi dengan Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman yang dilebur ke BRIN, sehingga banyak penelitinya dipaksa keluar.
Sementara Hana dan Siswanto masih bisa memilih untuk bertahan di lembaga asal, sekalipun harus kehilangan status sebagai peneliti dan tunjangan fungsional. Banyak orang mengalami nasib serupa Hana dan Siswanto, namun memilih anonim.
Terkait kebingungan periset, menurut Kepala BRIN Laksana Tri Handoko, hal itu terjadi karena mereka belum memahami struktur baru yang tengah dibangun saat ini. Sebab, BRIN masih dalam proses pemetaan sumber daya manusia atau SDM sambil menunggu persetujuan struktur pusat riset akhir dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika Lapan-BRIN yang juga Kepala Lapan 2014-2021 Thomas Djamaluddin menyebutkan, kebingungan yang dihadapi peneliti dan perekayasa adalah hal yang wajar. Terlebih, saat awal ketika empat lembaga penelitian nonkementerian diintegrasikan.
Periset yang sebelumnya Kepala Pusat Rekayasa Fasilitas Nuklir Batan Kristedjo Kurnianto berharap, peleburan entitas riset ke dalam BRIN mengedepankan kolaborasi. Hasil riset dan inovasi pun bisa lebih baik. ”Organisasi riset dan pusat riset saat ini masih dinamis. Tentu butuh waktu dan koordinasi yang lebih baik mengingat cakupan BRIN sangat luas,” ucapnya. (Kompas, Kamis, 6 Januari 2022)
Bagaimana pun hal ini adalah problem nyata di akar rumput yang mesti dicarikan jalan keluar terbaiknya. Jika tidak, akan lebih banyak lagi peneliti-peneliti yang patah hati yang dipaksa meninggalkan karir sebagai peneliti. Di sisi lain, Indonesia juga akan kehilangan talenta terbaik yang memiliki keahlian spesifik...