Glasgow Jadi Dasar Tingkatkan Kerja Sama Atasi Perubahan Iklim
Pakta Iklim Glasgow dipandang dapat meningkatkan kerja sama yang lebih konkret untuk mengatasi perubahan iklim dalam bentuk dukungan pendanaan, investasi, dan operasionalisasi pasar karbon.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
Kompas
Ilustrasi saat kegiatan COP 26 Perubahan Iklim di Glasgow, Skotlandia. Seorang aktivis mengangkat sebuah plakat yang datang untuk "Proses Peziarah", sebuah upacara pembukaan untuk serangkaian aksi langsung tanpa kekerasan yang diselenggarakan oleh kelompok aksi aktivis iklim Extinction Rebellion di Glasgow Green dekat Scottish Event Center (SEC) di Glasgow, 30 Oktober 2021, tempat Konferensi Perubahan Iklim PBB COP 26 yang diadakan di kota mulai 31 Oktober 2021.
JAKARTA, KOMPAS — Konferensi Perubahan Iklim ke-26 atau COP 26 di Glasgow, Skotlandia, November 2021 lalu, menghasilkan sejumlah kesepakatan, salah satunya Pakta Iklim Glasgow. Adanya pakta ini membuka berbagai peluang untuk meningkatkan penanganan perubahan iklim, seperti kerja sama yang lebih konkret dan penerapan pasar karbon.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi mengemukakan, isu krusial yang telah didiskusikan dalam COP 26 antara lain tentang kerangka waktu pelaporan dokumen kontribusi nasional (NDC), upaya adaptasi, hingga pendanaan perubahan iklim. COP 26 juga menghasilkan Pakta Iklim Glasgow (Glasgow Climate Pact) yang menekankan pentingnya upaya bersama dalam membatasi kenaikan suhu 1,5 derajat celsius.
Menurut Laksmi, secara garis besar Pakta Iklim Glasgow berisi urgensi tentang peningkatan ambisi dan aksi mitigasi, adaptasi, serta pendanaan perubahan iklim. Hal ini dibutuhkan untuk mengatasi kesenjangan dalam implementasi dan tujuan Kesepakatan Paris (Paris Agreement) 2015.
Pakta Iklim Glasgow untuk pertama kali turut mengakui bahwa bahan bakar fosil merupakan salah satu penyebab perubahan iklim dan setiap negara harus mengurangi penggunaannya.
”Bagi Indonesia, kita meletakkan pilar adaptasi sama pentingnya dengan mitigasi. Masuknya aspek adaptasi dalam Pakta Iklim Glasgow akan sangat bermanfaat dan mendorong kita mencapai agenda perubahan iklim di Indonesia,” ujarnya dalam diskusi daring tentang Pakta Iklim Glasgow dan implikasinya untuk mencapai NDC, Kamis (13/1/2022).
Pakta Iklim Glasgow menekankan pentingnya mengintegrasikan aspek adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di berbagai tingkatan perencanaan, mulai dari lokal, sub-nasional, nasional, hingga regional. Selain itu, peningkatan mobilisasi sumber daya pendanaan dan transfer teknologi juga ditekankan dalam Pakta Iklim Glasgow.
AFP/ALAIN JOCARD
Seorang partisipan berjalan melewati poster COP 26 di hari pertama konferensi perubahan iklim itu digelar di Glasgow, Skotlandia, Minggu (31/10/2021).
Pakta Iklim Glasgow juga menunjukkan adanya desakan kepada negara-negara maju untuk bisa memenuhi komitmen pendanaan dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Pakta Iklim Glasgow telah meningkatkan kepercayaan komunitas global terhadap upaya multilateral dalam membatasi peningkatan suhu rata-rata Bumi tidak melebihi 1,5 derajat celsius.
Direktur Pembangunan, Ekonomi, dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri Hari Prabowo mengatakan, Pakta Iklim Glasgow telah menjadi konsensus baru tentang penanganan perubahan iklim yang lebih kuat dibandingkan dengan Kesepakatan Paris. Sebab, Pakta Iklim Glasgow untuk pertama kali turut mengakui bahwa bahan bakar fosil merupakan salah satu penyebab perubahan iklim dan setiap negara harus mengurangi penggunaannya.
Hari menilai, Pakta Iklim Glasgow telah membuka peluang bagi banyak negara untuk meningkatkan penanganan perubahan iklim, termasuk Indonesia. Peluang pertama yang bisa diperoleh Indonesia dari Pakta Iklim Glasgow ialah peningkatan kerja sama yang lebih konkret dalam bentuk dukungan pendanaan, investasi, dan kolaborasi lainnya.
”Pakta Iklim Glasgow mendorong negara-negara maju untuk melipatgandakan pendanaan iklim dibandingkan tahun 2019 dengan target pencapaian pada 2025. Indonesia telah memiliki berbagai skema bilateral, seperti satuan tugas iklim Indonesia-AS,” ujarnya.
Pasar karbon
Selain itu, Indonesia juga berpeluang mengoperasikan pasar karbon global menyusul tercapainya kesepakatan artikel 6 tentang kerja sama pasar karbon dalam COP 26. Saat ini, Indonesia juga telah mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Tutupan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser di Kabupaten Gayo Lues, Aceh. Leuser merupakan penyangga bagi dunia penghasil karbon, penyedia air, dan habitat satwa.
Menurut Hari, penerapan pasar karbon global membuka peluang pelibatan aktor non-pemerintah, termasuk kelompok bisnis, untuk menjadi elemen penting penanganan perubahan iklim melalui insentif nilai ekonomi karbon. Guna memaksimalkan hasil pasar karbon global, diperlukan juga sinergi dengan inisiatif di forum dan kesepakatan internasional, termasuk presidensi G-20.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Roma, Italia, Oktober 2021, telah menetapkan 61 paragraf deklarasi para pemimpin dunia. Dari total paragraf deklarasi tersebut, 9 paragraf merupakan isu mengenai perubahan iklim, 4 paragraf terkait lingkungan, dan 2 paragraf tentang transisi energi.
Sejumlah isu utama tentang perubahan iklim yang berkembang dalam deklarasi tersebut, antara lain, akselerasi pengurangan emisi, penetapan kerangka waktu menuju nol emisi, serta ketersediaan teknologi dan pendanaan. Selain itu, isu utama lingkungan ialah pelestarian keanekaragaman hayati dan penanganan degradasi tanah.