Hujan Intan Itu Nyata
Planet Uranus dan Neptunus memiliki fenomena spektakuler yang tak terjadi di planet lain, yaitu hujan intan. Proses terbentuknya intan di kedua planet ini bisa disimulasikan di laboratorium.
Uranus dan Neptunus adalah dua planet terluar di Tata Surya yang jarang terperhatikan. Keberadaan kedua planet ”raksasa es” ini kalah populer dengan tetangga mereka, Yupiter dan Saturnus, yang megah. Namun, Uranus dan Neptunus memiliki fenomena spektakuler yang tak terjadi di planet lain, yaitu hujan intan, bahan baku berlian.
Secara berurutan, Uranus dan Neptunus adalah planet ketujuh dan kedelapan dari Matahari. Jarak masing-masing dari Matahari adalah 2,9 miliar kilometer dan 4,5 miliar kilometer. Diameter kedua planet ini sekitar 4 kali diameter Bumi, artinya jika Bumi seukuran buah apel, maka planet-planet ini sebesar bola basket.
Sama seperti planet-planet raksasa lainnya, lapisan terluar planet ini terdiri atas gas hidrogen dan helium. Di Neptunus, tebal lapisan hidrogen-helium itu mencapai 3.000 kilometer. Atmsofer kedua planet ini berwarna hijau kebiruan sebagai akibat jejak metana yang ada di lapisan bawahnya.
Di bawah lapisan gas itu, terdapat lapisan es setebal 17.500 kilometer. Ini adalah lapisan tengah atau mantel. Meski dinamai lapisan es, jangan dibayangkan seperti es batu yang ada dalam minuman atau kulkas rumah kita. Dalam astronomi, es digunakan untuk menyebut senyawa yang mengandung hidrogen. Lapisan es Uranus dan Neptunus ini tersusun atas senyawa air (H2O), amonia (NH3), dan metana (CH4).
Tarikan gravitasi yang besar membuat lapisan es ini memiliki kepadatan tinggi. Sementara panas dari bagian inti batuan planet membuat suhu lapisan es tengah itu mencapai ribuan derajat celsius.
Paul M Sutter, astrofisikawan dari Universitas Negeri New York (SUNY) Stony Brook, Amerika Serikat, dalam tulisannya di Space, Senin (10/1/2022), menyebut bagian terbawah lapisan es ini mencapai 6.727 derajat celsius dan tekanannya 6 juta kali tekanan atmosfer Bumi. Sementara di bagian atas mantel, suhunya 1.727 derajat celsius dan tekanannya 200.000 kali tekanan atmosfer Bumi.
Suhu yang tinggi dan tekanan yang besar membuat amonia dan metana menjadi reaktif. Tekanan yang kuat dapat memecah molekul metana hingga melepaskan karbon. Unsur-unsur karbon yang lepas itu akan membentuk rantai panjang dan menyatu dengan yang lain hingga membentuk pola-pola kristal seperti intan.
Baca juga: Bau Planet Uranus seperti Telur Busuk
Intan padat yang terbentuk itu lebih berat dari metana, amonia, dan air yang ada di lapisan es. Akibatnya, intan jatuh ke mantel bagian bawah atau mendekati inti planet.
Kumpulan intan itu, seperti ditulis Dominik Kraus di majalah American Scientist, September-Oktober 2018, akan membentuk lapisan baru dengan ketebalan beberapa meter. Suhu yang tinggi membuat lapisan karbon itu dapat berbentuk padat, cair, atau gabungan padat dan cair.
Jika lapisan karbon itu berbentuk padat dan cair, maka karbon padat akan memiliki kerapatan lebih rendah dari cairan hingga intan akan mengapung di atas lautan karbon cair. Suhu yang panas juga membuat sebagian intan itu tak hanya mengapung, tetapi juga menguap. Naiknya intan ke lapisan mantel bagian atas ini membuat siklus pembentukan intan akan terulang kembali hingga disebut hujan intan.
Hipotesis hujan intan di Uranus dan Neptunus itu pertama kali disampaikan Marvin Ross dari Laboratorium Nasional Lawrence Livermore California, AS, dalam tulisannya di majalah Nature tahun 1981. Namun, hingga empat dekade kemudian, hujan intan di planet raksasa es itu belum bisa dibuktikan langsung.
Cara terbaik membuktikan hujan intan itu adalah dengan mengirim wahana luar angkasa untuk mengeksplorasi lapisan es kedua planet tersebut. Namun, selama ini, eksplorasi Uranus dan Neptunus jauh tertinggal dibandingkan dengan tetangga dekat mereka, Yupiter dan Saturnus.
Satu-satunya wahana buatan manusia yang pernah melintasi kedua planet itu adalah Voyager 2, yaitu pada Januari 1986 untuk Uranus dan Agustus 1989 untuk Neptunus. Voyager 2 diluncurkan dari Bumi pada Agustus 1977 dan kini berada di ruang antarbintang pada jarak 19,4 miliar kilometer dari Bumi.
Mengirim wahana ke planet raksasa es itu sepertinya tidak akan mungkin dilakukan dalam waktu dekat ini. Meski demikian, sejumlah badan antariksa, termasuk Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA), Badan Antariksa Eropa (ESA), dan Badan Antariksa China (CNSA), sedang menyiapkannya.
Namun, pengiriman wahana tersebut harus menunggu konfigurasi planet-planet di Tata Surya yang tepat hingga perjalanannya menjadi efisien. Kraus memprediksi posisi planet-planet itu akan berada pada kondisi terbaik untuk pengiriman misi ke Uranus dan Neptunus pada 2030 dengan harapan wahana sampai di sana pada tahun 2040-an.
Karena mengirimkan wahana langsung rumit, maka validasi potensi hujan intan itu bisa dilakukan melalui eksperimen di laboratorium. Dalam jurnal Nature Astronomy, 21 Agustus 2017, tim Laboratorium Akselerator Nasional SLAC di Menlo Park, California, AS, yang dipimpin Kraus menyimulasikan proses yang terjadi di bagian dalam planet raksasa es itu dengan menciptakan gelombang kejut menggunakan sinar laser yang intens pada polistirena.
Polistirena adalah sejenis plastik yang dibuat dari metana, salah satu senyawa es di mantel Uranus dan Neptunus. Gelombang kejut sinar laser itu diatur sedemikian rupa hingga saling tumpang tindih. Hasilnya, intan terbentuk pada suhu 4.725 derajat celsius dan tekanan 1,48 juta kali tekanan atmosfer Bumi, kondisi suhu dan tekanan yang mirip pada kedalaman 10.000 km dari permukaan Uranus dan Neptunus.
Intan itu terbentuk dalam waktu 50 femtodetik atau 0,00000000000005 detik dan di awal masa percobaan. Pembentukan intan ini jauh lebih mudah dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya. Namun, intan yang terbentuk memang dalam ukuran nanometer atau seper sejuta meter. Jika proses itu terjadi di Uranus dan Neptunus dalam waktu jutaan tahun, intan yang terbentuk dapat berkadar jutaan karat atau dalam dimensi meter karena satu karat setara 0,2 gram.
Namun, Kraus yang merupakan fisikawan plasma laser eksperimental di laboratorium Helmholtz-Zentrum Dresden-Rossendorf, Jerman, mengingatkan untuk tidak berharap intan yang dihasilkan dari hujan intan ini seindah berlian untuk perhiasan yang sudah dipotong dan dipoles. Intan yang dihasilkan masih berbentuk bulat dan mengandung banyak kotoran. Intan adalah bahan baku berlian yang belum diproses.
Tekanan yang kuat dapat memecah molekul metana hingga melepaskan karbon. Unsur-unsur karbon yang lepas itu akan membentuk rantai panjang dan menyatu dengan yang lain hingga membentuk pola-pola kristal seperti intan.
Dengan memahami proses pembentukan hujan intan di Uranus dan Neptunus, ilmuwan dapat menjelaskan fenomena lain di kedua planet raksasa es tersebut.
Proses presipitasi intan akan melepaskan energi gravitasi dan diubah menjadi panas saat intan tersebut turun atau menjadi hujan dan bergesekan dengan material sekitarnya. Kondisi ini menjelaskan mengapa lebih banyak energi yang dipancarkan Neptunus daripada energi yang diterima dari Matahari.
Selain itu, pembentukan intan juga menjelaskan mengapa medan magnet Uranus dan Neptunus sangat eksotis. Tidak seperti medan magnet Bumi, medan magnet planet raksasa es ini tidak simetris dan tidak terentang di antara kedua kutub planet. Medan magnet kedua planet ini kemungkinan bukan berasal dari inti planet, tetapi lapisan tipis bahan konduktor seperti hidrogen logam, sebagai produk sampingan hujan intan.
Walau uji laboratorium membuktikan bahwa hujan intan itu bisa terjadi, tetapi pengiriman wahana antariksa untuk mengamati langsung proses tersebut di Uranus dan Neptunus tetap penting. Informasi yang diperoleh wahana itu akan melengkapi hasil pengamatan landas Bumi yang selama ini dilakukan hingga pemahaman manusia tentang kedua planet raksasa es tersebut beserta proses pembentukannya di awal terbentuknya Tata Surya makin baik.