Indonesia harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk dampak penularan varian Omicron. Sistem surveilans dan kapasitas fasilitas kesehatan harus kembali diperkuat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Antisipasi lonjakan kasus terhadap potensi gelombang ketiga penularan Covid-19 perlu disiapkan sejak dini. Sistem kesehatan yang sempat berjalan saat lonjakan kasus terjadi di Indonesia pada pertengahan tahun lalu harus kembali diaktifkan. Itu termasuk sistem surveilans di tingkat hulu di tengah masyarakat.
Epidemiolog, yang juga Direktur Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, Riris Andono Ahmad mengatakan, sifat penularan varian Omicron dengan manifestasi klinis yang ringan justru harus lebih diwaspadai di tengah transmisi lokal yang sudah ditemukan di masyarakat. Sifat tersebut dikhawatirkan membuat banyak kasus yang tidak terdeteksi.
”Kasus penularan varian Omicron yang ditemukan saat ini banyak yang tidak bergejala atau bergejala ringan. Itu berpotensi menimbulkan silent transmission atau penularan yang tersembunyi karena biasanya orang baru melakukan tes apabila ada gejala atau riwayat paparan,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Senin (10/1/2022).
Selain itu, dengan kondisi klinis tersebut juga membuat orang yang tertular tidak segera mencari perawatan. Hal ini membuat risiko penularan bisa semakin luas sehingga kasus berat bermunculan. Risiko ini semakin tinggi mengingat banyak masyarakat rentan tertular Covid-19, seperti kelompok masyarakat dengan komorbid, masyarakat lanjut usia, dan warga yang belum mendapat vaksin.
”Omicron ini memiliki tingkat penularan lima kali lebih cepat dari varian Delta. Jika proporsi kasus gejala sedang ke berat kecil, penularannya jauh lebih luas, akhirnya juga membuat orang yang butuh perawatan di rumah sakit bisa sama tinggi dengan lonjakan saat varian Delta,” katanya,
Karena itu, Riris mengatakan, upaya deteksi, termasuk upaya surveilans di masyarakat, harus lebih masif untuk mengantisipasi adanya potensi penularan tersembunyi dari varian Omicron. Jangan sampai kondisi penularan Covid-19 di Indonesia telanjur meningkat signifikan disertai dengan banyaknya kasus dengan gejala sedang-berat.
Ia menambahkan, Indonesia juga harus bersiap dengan kemungkinan terburuk dari meluasnya penularan varian Omicron. Sistem kesehatan dalam pengendalian Covid-19 yang sempat berjalan ketika lonjakan kasus varian Delta terjadi perlu diaktifkan. Koordinasi yang sudah pernah berjalan juga perlu dijalankan kembali. Itu termasuk pada kesiapan fasilitas kesehatan yang menangani pasien Covid-19.
Kasus penularan varian Omicron yang ditemukan saat ini banyak tidak bergejala atau bergejala ringan. Itu berpotensi menimbulkan silent transmission atau penularan yang tersembunyi.
Di lain sisi, masyarakat pun perlu disadarkan kembali akan ancaman penularan Covid-19. Saat ini masih banyak masyarakat yang merasa pandemi sudah terkendali dan tidak lagi mengancam. Hal tersebut membuat kepatuhan pada protokol kesehatan, terutama mencuci tangan, menggunakan masker, dan menjaga jarak, mulai mengendur.
”Mumpung kondisi saat ini masih terbilang terkendali, kita harus mulai mempersiapkan segala kebutuhan untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Jangan sampai kondisi sistem kesehatan kita kolaps dengan kelangkaan oksigen, kelangkaan obat-obatan, dan terbatasnya ruang intensif. Kita juga perlu memperbanyak shelter isolasi di komunitas untuk menangani kasus gejala ringan dan tanpa gejala,” ujar Riris.
Kementerian Kesehatan per 8 Januari 2022 mencatat, total kasus penularan varian Omicron di Indonesia kini mencapai 414 kasus. Dari jumlah itu, 50 kasus merupakan penularan dengan transmisi lokal dan lainnya berasal dari pelaku perjalanan luar negeri.
Secara rinci, dari 414 kasus yang dilaporkan hanya ada dua kasus yang memiliki gejala berat yang membutuhkan bantuan oksigen. Namun, saat ini dua kasus tersebut serta 112 kasus lainnya sudah terkonfirmasi sembuh.
Secara terpisah, Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Bambang Wibowo mengatakan, setiap rumah sakit pun telah melakukan berbagai persiapan untuk menghadapi lonjakan kasus akibat perluasan penularan varian Omicron. Ia pun memastikan rumah sakit kini jauh lebih siap dalam upaya pengendalian Covid-19, baik dari kebutuhan sarana dan prasarana, logistik kesehatan, maupun sumber daya manusia.
”Selama jumlah kasus yang perlu perawatan di rumah sakit tidak melampaui kapasitas dan kemampuan yang tersedia, rumah sakit pasti siap,” ujarnya.
Bambang menuturkan, sistem rujukan untuk penanganan pasien Covid-19 sudah berjalan dengan baik. Selain rujukan pasien, rumah sakit juga sudah mengantisipasi adanya peningkatan kasus melalui beberapa respons.
Penambahan tempat tidur akan dilakukan melalui konversi tempat tidur bagi pasien Covid-19. Itu termasuk pada penambahan sarana dan prasarana, alat kesehatan, dan SDM. Pembukaan rumah sakit darurat pun akan menjadi pilihan apabila terjadi peningkatan kasus yang melampaui kapasitas yang tersedia saat ini.
Kementerian Kesehatan mencatat, 1.011 rumah sakit rujukan Covid-19 dengan 83.609 tempat tidur untuk pasien Covid-19 sudah tersedia. Jumlah ini masih bisa ditingkatkan hingga 50 persen melalui konversi tempat tidur. Dari jumlah itu, tingkat keterisian tempat tidur (BOR) kini masih 2,69 persen.