Orde Suram Sains Indonesia
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang mendunia telah tiada dan penelitinya tercerai-berai. Tragedi Eijkman menjadi puncak gunung es dari huru-hara di balik sentralisasi lembaga riset di Indonesia.
Akhir Desember 2021 menjadi hari terakhir para peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Sejak awal tahun 2022, lembaga yang didirikan pada Juli 1992 ini dilikuidasi dan dilebur ke dalam Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman di bawah Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN.
Peleburan Lembaga Eijkman ini merupakan bagian dari pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 tentang BRIN, di mana pemerintah melakukan sentralisasi lembaga riset beserta seluruh asetnya. Aturan merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Selain Eijkman, lembaga-lembaga riset milik pemerintah lain, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), dan Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (Lapan), juga dilebur ke dalam BRIN.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko, dalam berbagai kesempatan mengatakan, peleburan ini merupakan upaya memperkuat LBM Eijkman. Misalnya, pada Kamis (6/1/2021), ia mengatakan, ”Proses integrasi ini saya jadikan momentum melembagakan LBM Eijkman, yang tadinya hanya unit ad hoc di Kemenristek, sekarang resmi menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman.”
Sekarang peneliti harus merawat hewan dan membersihkan kandang sendiri kalau membutuhkan hewan percobaan. Kita juga disuruh mencangkul sendiri kalau mau meneliti tanaman.
Melalui integrasi ini, kata Handoko, peneliti non-aparat sipil negara (ASN) di LBM Eijkman bisa diangkat sebagai peneliti melalui berbagai macam skema. ”Kepada mereka non-PNS (pegawai negeri sipil) dan sudah S-3 dan usianya maksimal 45 tahun, maka dapat mengikuti mekanisme penerimaan CPNS. Jalur ini sudah dilakukan beberapa orang. Sedangkan untuk yang di atas 45 tahun dapat mendaftar sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK),” tambahnya.
Robohnya Eijkman
Sekalipun masih menyandang nama Eijkman, menurut Sangkot Marzuki, pendiri sekaligus Kepala LBM Eijkman periode 1992-2014, PRBM Eijkman di Cibinong sudah kehilangan roh. ”Ini (PRBM Eijkman di BRIN) total berbeda dengan model awal pendirian Eijkman. Seperti air dan minyak dicampur. Eijkman mau dicangkok dengan sesuatu yang berbeda, yang dicangkok mati dan cangkokannya tidak akan tumbuh,” kata Sangkot.
Menurut Sangkot, LBM Eijkman dibangun atas mandat BJ Habibie yang saat itu Menteri Riset dan Teknologi. Sangkot yang selama 20 tahun mengajar dan membangun laboratorium bioteknologi di Monash University diminta memimpin lembaga ini.
Baca juga: Robohnya ”Eijkman” Kita
”Sejak awal Pak Habibie menginginkan agar dibangun lembaga biologi molekuler yang kuat dan bereputasi internasional dengan mengadopsi model di tempat saya bekerja dan lembaga riset dunia lain. LBM Eijkman adalah eksperimen di Indonesia dengan hipotesis ilmu pengetahuan kita sulit berkembang karena hambatan birokrasi.”
Oleh karena itu, Habibie sengaja memberi keleluasaan agar LBM Eijkman tidak berada dalam struktur birokrasi yang kaku, termasuk dalam merekrut orang. ”Surat keputusan pengangkatan saya dulu langsung bertanggung-jawab ke menteri. Betul-betul dipotong birokrasinya sehingga bisa bergerak cepat,” katanya.
Sangkot membentuk tim riset yang solid, terdiri dari para mantan muridnya di Universitas Monash yang berasal dari Indonesia, seperti Herawati Supolo Sudoyo, almarhum Ahmad Saifudin Noer, dan Alida Roswita Harahap. Dia juga merekrut asisten riset hingga teknisi dari berbagai kampus dan lembaga lain di Indonesia, yang mayoritas bukan ASN. Proses ini, sejak awal dikomunikasikan dengan pemerintah, dalam hal ini Habibie, selaku Menteri Riset dan Teknologi.
”Penelitian bioteknologi dan medis tidak akan bisa berjalan tanpa dukungan tim. Semua lab bioteknologi di dunia juga begini, pasti ada peneliti utama, asisten riset, dan teknisi. Mereka harus bekerja dalam satu tim yang saling mendukung,” katanya.
Menurut Sangkot, di dunia internasional, jika profesor pindah kerja, dia akan membawa asisten riset dan murid-muridnya. ”Bahkan kalau di Amerika, alat-alatnya juga dibawa. Karena itu bagian dari sistem yang dimiliki grup. Jadi pindah rumah. Mengapa BRIN tidak paham mengenai ini,” katanya.
Pola kerja peneliti bioteknologi dan medis ini, menurut Sangkot, bisa jadi berbeda dengan peneliti dari disiplin ilmu lain, misalnya fisika teori—Kepala BRIN Laksana Tri Handoko—berlatar belakang bidang ini. ”Einstein saat pindah ke Princenton (University) sendiri dan satu asisten, serta ruang kerja nyaman. Namun, itu memang cara kerja dia, sebagai teoritikus, hanya butuh papan tulis. Jadi, BRIN tidak bisa membuat sistem untuk semua peneliti yang cara kerjanya berbeda,” kata Sangkot.
Baca juga: AIPI: Peleburan Lembaga Eijkman ke BRIN Kemunduran Sains di Indonesia
Jadi, menurut Sangkot, meninggalkan para asisten riset dan para teknisi, dengan hanya mengambil peneliti utama yang berstatus ASN ke Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman di Cibinong adalah kekeliruan besar.
Pelaksana tugas PRBM Eijkman Wien Kusharyoto mengatakan, hampir 70 persen staf LBM Eijkman adalah pegawai honorer. Dengan jumlah staf 155 orang, hanya 42 orang di antaranya ASN dan 113 honorer. Dari 42 ASN di Eijkman ini, 24 orang adalah peneliti.
Sesuai ketentuan di BRIN, semua tenaga honorer tidak bisa lagi bekerja di lembaga riset pemerintah. ”Karena ini ketentuan dari atas, saya berusaha mencari jalan dengan menyerap yang honorer ini melalui berbagai skema,” katanya.
Mantan Deputi LBM Eijman Bidang Riset Fundamental Herawati Supolo mengatakan hanya 17 peneliti berstatus ASN yang bergabung ke BRIN. Mayoritas peneliti dan asisten peneliti serta teknisi di Eijkman diberhentikan.
BRIN memang menawarkan sejumlah jalan bagi mantan asisten peneliti Eijkman untuk bergabung. Namun, sebagian besar staf Eijkman tidak bisa bergabung karena proses transisi yang buru-buru dan secara teknis sulit diikuti.
Baca juga: Jaga Semangat Periset di Tengah Peleburan Lembaga
Selain itu, banyak juga yang memilih untuk pergi. Misalnya, Safarina G Malik, peneliti senior yang juga mantan Sekretaris Utama LBM Eijkman, sebenarnya telah lolos seleksi sebagai PPPK, tapi enggan melanjutkan dan memutuskan keluar untuk bergabung dengan grupnya dari Lab 1 LBM Eijkman, yang mencari rumah baru. ”Ini pilihan. Saya merasa dibentuk dalam ekosistem Eijkman yang kondusif untuk riset, bahkan anak saya juga tumbuh bersama karier saya sebagai peneliti di Eijkman,” kata Safarina, yang bergabung ke Eijkman sejak 1994.
Fenomena gunung es
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro mengingatkan, kasus Eijkman hanya puncak gunung es dari kekacauan yang terjadi akibat peleburan sejumlah lembaga riset di Indonesia ke dalam BRIN. Menurut dia, hal ini merupakan kemunduran besar dalam perjalanan sains di Indonesia.
Tak hanya di Eijkman, peleburan ini juga memicu banyak masalah di lembaga riset lain. Di BPPT, misalnya, selain huru-hara karena pemberhentian ratusan tenaga honorer tiba-tiba, kegelisahan juga dialami oleh sebagian peneliti, yang sudah harus meninggalkan kantor dan aset-asetnya, tapi tidak jelas mekanisme kerja di tempat baru.
”Kami hanya bisa bersuara dengan anonim karena kami ASN dan yang berbeda disingkirkan,” kata AT, salah satu peneliti BPPT.
Bahkan, di dalam intra BRIN, para peneliti yang dulu berasal dari LIPI juga bersuara kritis. ”Sejak bergabung di BRIN justru kocar-kacir dan tidak kondusif lagi. Peneliti kebingungan akses dana dan bahan penelitian. Setidaknya itu yang saya alami,” kata Ibnu Maryanto, ahli taksonomi dan profesor di Pusat Penelitian Biologi BRIN.
Baca juga: Lembaga Riset Dilebur, Peneliti Masih Kebingungan
Ibnu mengatakan, sejak bergabung dengan BRIN, dia tidak lagi mendapat dana riset melalui BRIN. ”Prosesnya lebih rumit dan dananya lebih kecil. Dana di BRIN lebih banyak untuk infrastruktur dan pengadaan. Saya mencari dana riset sendiri dari luar,” katanya.
Menurut Ibnu, dengan diberhentikannya asisten riset dan tenaga honorer, termasuk administrasi, saat ini para peneliti di BRIN harus bekerja sendiri. ”Sistem administrasi dan penunjang penelitian dirusak. Misalnya, sekarang peneliti harus merawat hewan dan membersihkan kandang sendiri kalau membutuhkan hewan percobaan. Kita juga disuruh mencangkul sendiri kalau mau meneliti tanaman,” katanya.
Menurut Satryo, selain menyebabkan hilangnya sumber daya terbaik, hal ini juga merusak budaya riset dan independensi ilmuwan. ”Lembaga Eijkman itu punya sejarah panjang dan legasi yang sangat kuat di dunia. Dengan kejadian ini, para penelitinya akan kehilangan wibawa sebagai peneliti. Sudah jelas bakal terjadi brain drain (hengkangnya ilmuwan),” kata Satryo, Senin (3/12/2021).
Sekretaris Menteri Riset Teknologi 2004-2009 Abul Malik, dan sejumlah pakar lain dalam diskusi daring pada Jumat (7/1/2022) juga mengatakan, penggabungan beberapa lembaga penelitian di bawah BRIN ini bertentangan dengan arus di dunia riset internasional. ”Lembaga riset di negara lain itu terdesentralisasi. Bahkan di China, kebijakan sains dan teknologinya mulai dari 2006 sudah semakin terdesentralisasi,” katanya.
Baca juga: Sentralisasi Lembaga Riset Dinilai Salah Arah
Menurut Malik, yang pernah bekerja di Bappenas, masalah paling mendasar penelitian di Indonesia sejak dulu adalah birokratisasi dan pekerjaan penelitian diperlakukan sama dengan administratif, klerikal, teknis, dan repetitif. ”Ini yang harus direformasi, bukan sebaliknya. Apa yang dilakukan BRIN justru memperkuat birokratisasi ini dan membuatnya semakin tidak efisien karena terpusat,” katanya.
Sebagaimana telah direkomendasikan AIPI, menurut Satryo, BRIN seharusnya mengambil peran sebagai fungsi koordinatif dan pendanaan sesuai amanat Undang-Undang Sisnas Iptek 2019, dan tidak menjadi lembaga super yang justru mempertebal cengkeraman birokrasi ke dunia sains.
Baca juga: Fleksibilitas dan Independensi Peneliti BRIN Perlu Dijamin