BRIN Dorong Keterlibatan Lebih Besar Swasta dalam Riset
BRIN diharapkan jadi pengaktif yang memungkinkan swasta masuk ke riset dengan cepat, meminimalkan risiko, hingga peran swasta dalam riset menjadi dominan.
JAKARTA, KOMPAS — Dominannya anggaran pemerintah dalam riset dan tersebarnya peneliti dan perekayasa di 74 kementerian dan lembaga membuat produktivitas riset dan inovasi Indonesia rendah. Situasi itu membuat anggaran riset yang kecil tidak memberi hasil optimal akibat tumpang tindihnya riset serta ego sektoral antarlembaga yang tinggi.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko dalam webinar yang diselenggarakan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Inggris dari London, Inggris, yang diikuti PPI seluruh dunia, Minggu (9/1/2022) malam, mengatakan, rendahnya produktivitas tersebut membuat riset di Indonesia memiliki biaya dan risiko tinggi.
”BRIN diharapkan jadi enabler (pengaktif) yang memungkinkan swasta masuk ke riset dengan cepat, meminimalkan risiko, hingga peran swasta dalam riset menjadi dominan,” katanya.
Anggaran riset Indonesia pada 2016 mencapai Rp 30,76 triliun atau 0,25 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Dari jumlah ini, Rp 24,92 triliun berasal dari pemerintah pusat dan hanya 16,13 persennya yang disumbang swasta. Sebanyak 80 persen dari anggaran itu dikelola 81 badan penelitian dan pengembangan (balitbang) kementerian dan lembaga, tetapi hanya 13 balitbang yang terkait pemajuan iptek, sisanya untuk riset kebijakan setiap kementerian/lembaga. (Kompas, 20 Maret 2019)
Negara tidak boleh menjadikan lembaga riset, termasuk lembaga pendidikan tinggi, sebagai institusi korporatisme negara yang tunduk pada kekuatan pasar dan seringkali bertentangan dengan konstitusi negara.
Jumlah itu, jauh lebih kecil dari anggaran riset disarankan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) untuk pemajuan riset sebesar 2 persen PDB. Mengacu data UNESCO, anggaran riset Indonesia 2018 justru turun jadi 0,23 persen PDB. Jumlah ini jauh tertinggal dibanding negara lain yang menjadikan riset dan inovasi sebagai penghela ekonominya, seperti Korea Selatan 4,53 persen, China 2,14 persen, Singapura 1,92 persen (2017), Malaysia 1,04 persen, Thailand 1,00 persen (2017), India 0,65 persen, dan Turki 0,96 persen (2017).
Untuk mendukung upaya itu, BRIN yang bertindak sebagai lembaga pembuat kebijakan riset dan lembaga pelaksana riset membuat berbagai kebijakan untuk mendukung riset dan inovasi. Sebagian kebijakan memang masih baru jadi belum terasa manfaatnya. Namun, Laksana mengklaim kebijakan yang dimiliki saat ini hampir sama dengan regulasi riset di negara-negara maju.
BRIN juga sudah menata infrastruktur riset yang ada hingga bisa dipakai oleh peneliti dari latar belakang lembaga mana pun. Saat ini, penataan sumber daya peneliti sedang berlangsung, termasuk membangun sistem manajemen talenta periset hingga mereka semua periset berpendidikan doktor serta lebih mengakomodasi periset diaspora Indonesia yang tersebar di negara-negara.
”Peneliti BRIN yang berstatus pegawai negeri sipil nantinya tidak akan pensiun di BRIN. Setelah 15 tahun, mereka akan disebar ke kampus-kampus untuk redistribusi pengetahuan,” katanya.
Dengan pengalaman dan jejaring yang mereka miliki, periset tetap akan bisa melakukan riset dan menarik mahasiswa untuk meriset. Hal ini tetap bisa dilakukan meski di institusi barunya tidak memiliki peralatan riset yang cukup karena mereka bisa menggunakan peralatan riset di mana pun.
Sementara itu, periset yang kini tersebar di berbagai pusat riset di organisasi riset BRIN nantinya juga akan fokus meriset. Selama ini, periset tidak hanya meriset, tapi juga melakukan pelayanan kepada masyarakat maupun industri yang seolah tersamarkan sebagai riset. Pelayanan itu selanjutnya akan dilakukan oleh tim yang berbeda sehingga fokus periset tidak terganggu untuk melakukan hal-hal selain riset.
Baca juga : Sentralisasi Lembaga Riset Dinilai Salah Arah
Herlambang P Wiratraman dari Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (Almi) yang juga dosen hukum tata negara Universitas Gadjah Mada mengatakan, terkait peleburan berbagai organisasi riset di Indonesia, Almi mengingatkan untuk menghindari terjadinya instrumentalisasi sains dan teknologi. Pemerintah seharusnya justru memperkuat iklim riset dan mendorong pemanfaatan sains dan teknologi.
Negara juga perlu menghindari terjadinya teknokratisme pengetahuan. Negara tidak boleh menjadikan lembaga riset, termasuk lembaga pendidikan tinggi, sebagai institusi korporatisme negara yang tunduk pada kekuatan pasar dan seringkali bertentangan dengan konstitusi negara. ”Peneliti dan lembaga riset harus bebas dari kepentingan politik kekuasaan,” tambahnya.
Terkait pembentukan BRIN, Herlambang menyoroti, jika yang ingin dikembangkan adalah inovasi yang lebih banyak melibatkan peran swasta, lantas mengapa yang muncul dari pembentukan BRIN justru birokratisasi riset yang terfokus pada persoalan anggaran, nomenklatur, maupun aset lembaga riset.
”Birokratisasi mengancam masa depan riset,” tegasnya. Sejumlah studi menunjukkan birokratisasi justru membuat lembaga riset gagal berkembang. Karena itu, birokratisasi riset di masa lalu harusnya jadi pembelajaran sehingga tidak mengulang kegagalan yang sama.
Di sisi lain, kelahiran BRIN juga memiliki kesan kuat sebagai upaya institusionalisme lembaga riset. Penggabungan berbagai lembaga riset seolah mengabaikan fakta beragamnya karakter riset dan lembaga riset. BRIN lebih menunjukkan sifatnya yang ingin melakukan sentralisasi dan kontrol yang memaksa periset untuk tunduk pada aturan negara.
Untuk mengatasi situasi ini, lanjut Herlambang, penting untuk mempertahankan independensi riset dan lembaga riset. Selain itu, komunikasi antara BRIN dan periset perlu dilakukan lebih efektif. Ilmuwan perlu mendapat jaminan atau perlindungan negara hingga produksi ilmu pengetahuan bisa terus berjalan.
”Prinsip kebebasan akademik perlu diteguhkan sehingga menciptakan iklim ilmu pengetahuan yang lebih maju,” katanya.
Tunduk sistem birokrasi
Menanggapi sikap Almi tersebut, Handoko menegaskan bahwa sebagai lembaga yang didanai negara, BRIN harus tunduk pada sistem birokrasi pemerintah. Ini sebagai upaya pertanggungjawaban penggunaan uang rakyat oleh negara.
”BRIN justru ingin mendebirokratisasi lembaga riset,” katanya.
Proses ini akan memungkinkan perekrutan peneliti dengan cara yang berbeda seperti perekrutan aparatur sipil negara lainnya, termasuk perekrutan peneliti diaspora berpendidikan doktoral yang ada di banyak negara. Upaya ini untuk menarik lebih banyak peneliti Indonesia di luar negeri untuk mau melakukan riset di Indonesia tanpa meninggalkan institusinya asalnya.
Baca juga : Jaga Semangat Periset di Tengah Peleburan Lembaga
Terkait independensi riset, Laksana menegaskan, dalam sejarah tidak ada yang bisa membatasi kreativitas manusia. Riset selalu independen dan independesinya itu sangat ditentukan oleh perisetnya. Mengkritik pemerintah adalah hal wajar selama bisa dipertanggungjawabkan.
Sementara itu, dosen senior strategi dan inovasi di Sekolah Manajemen, Universitas Bristol, Inggris, Surya Mahdi mengatakan, riset dan inovasi bukanlah perkara mudah karena tingginya ketidakpastian dan risiko yang menyertai. Tiap dana yang diinvestasikan untuk riset pun sama-sama memiliki peluang untuk sukses atau gagal alias bisa untung atau justru rugi.
Dalam proses riset, sering kali terjadi tarik-menarik antara prioritas riset dan keterbatasan anggaran yang dihadapi. Jika ingin membangun pengetahuan sebesar-besarnya dalam banyak bidang sekaligus ingin berprestasi dalam riset dan inovasi, butuh biaya yang sangat besar.
Jika ingin investasi yang ditanam rendah atau murah tetapi tetap berkualitas bagus, kita tidak bisa berinvestasi di semua bidang. Namun jika ingin aktif di semua bidang tetapi tetap murah, yang terjadi adalah dana riset yang terbatas dibagi ke semua bidang riset hingga sulit menghasilkan riset dan sistem riset yang berkualitas.
Berkaca pada kasus di Inggris, tambah Surya, keterlibatan pemerintah dalam pendanaan riset justru terbatas. Swasta dan pasar justru yang lebih banyak melakukan riset. Hasilnya, anggaran riset Inggris termasuk yang besar di dunia dan dampaknya pun pada ekonomi sangat tinggi.
”Dalam sistem ini, peneliti yang sukses adalah yang berjiwa entrepreneur, yang bisa melihat kesempatan dan mengubah kesempatan menjadi periset yang besar,” tambahnya.
Baca juga : Fleksibilitas dan Independensi Peneliti BRIN Perlu Dijamin
Dampaknya, periset ditantang untuk terus berkompetisi hingga diperoleh riset dengan biaya yang kompetitif. Sistem ini juga mendorong mobilitas peneliti yang tinggi. Negara pun menjamin periset untuk bisa mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari apa yang mereka lakukan. Namun, pemerintah tetap menjamin periset yang tidak mendapat pendanaan dari swasta itu untuk tetap bisa meriset dan bertahan hidup.
Meski demikian, sistem riset di Inggris itu belum tentu cocok dengan situasi di Indonesia. ”Ada sistem riset di Inggris yang mungkin bisa dicontoh, tidak bisa dicontoh, atau jangan dicontoh menjadi sistem riset di Indonesia,” katanya. Namun, butuh kajian lebih lanjut untuk menentukan mana bagian dari sistem riset di Inggris itu yang bisa diadopsi dalam sistem riset Indonesia.
Baca juga : Lembaga Riset Dilebur, Peneliti Masih Kebingungan