Lembaga riset di negara lain itu terdesentralisasi. Bahkan, di China, kebijakan sains dan teknologinya mulai dari 2006 sudah semakin terdesentralisasi.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sentralisasi lembaga riset yang dilakukan saat ini dinilai salah arah, yang berpotensi menjadi malapetaka sains dan kemanusiaan. Disarankan, Badan Riset dan Inovasi Nasional lebih berperan menjalankan fungsi koordinasi dan mendorong pengembangan riset serta inovasi unggulan yang otonom sebagaimana telah dilakukan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
”Penciptaan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) yang melikuidasi banyak lembaga riset ini menjadi malapetaka riset di Indonesia. Dengan dilikuidasi, dekonstruksi kelembagaan dan sumber daya manusianya tercerai-berai. Ini juga menjadi malapetaka kemanusiaan. Ada 1.500 orang diberhentikan,” kata Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah dan anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Azyumardi Azra, dalam diskusi daring yang diselenggarakan Narasi Institute, Jumat (7/1/2022).
Pembicara lain dalam diskusi adalah Kepala Lembaga Biologi Molukuler Eijkman periode 2014-2021 Amin Soebandrio, Sekretaris Menteri Riset Teknologi 2004-2009 Abdul Malik, ahli pembangunan berkelanjutan profesor Agus Pakpahan, dan pengkaji kebijakan dan inovasi Sidrotun Naim. Sementara Kepala BRIN Laksana Tri Handoko yang turut diundang tidak datang.
Daripada melakukan peleburan banyak lembaga riset di Indonesia, Azyumardi menyarankan agar mengembalikan BRIN sesuai Undang-Undang Sisnas Iptek 2019, yaitu menjalankan fungsi koordinatif. ”Kita ketahui ada masalah dan kompetisi di antara lembaga penelitian. Ini harus direformasi, tetapi bukan dengan membubarkannya. Justru harus dibenahi, misalnya agar birokrasinya tidak dominan,” katanya.
Dia meyakinkan saya, nanti kalau ada orang Indonesia mendapat Nobel itu dari sana. Saat itu Kepala Eijkman masih Pak Sangkot Marzuki.
Untuk membenahi BRIN ke depan, Azyumardi menyarankan agar dibentuk sejumlah kluster. Kluster pertama berisi badan litbang kementerian yang bertugas merumuskan langkah kebijakan, misalnya jika mau membuat ibu kota baru, Litbang Kementerian Dalam Negeri melakukan kajian secara saintifik.
Kluster berikutnya, berisi perguruan tinggi yang selama ini juga sudah mengalami pelemahan, terutama dari aspek kebebasan akedemik. Selain itu, harus dibentuk pusat riset dan inovasi unggulan. ”Justru BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), dan lain-lain ini harus diperkuat, diperbaiki, jangan dibubarkan,” katanya.
Model Eijkman
Abdul Malik mengatakan, penggabungan beberapa lembaga penelitian di bawah BRIN ini bertentangan dengan tren di dunia riset internasional. Dari 10 lembaga riset yang paling tinggi inovasinya di dunia, kesamaannya sangat fokus. Di sisi lain harus melakukan kerja sama baik domestik maupun internasional.
”Lembaga riset di negara lain itu terdesentralisasi. Bahkan, di China, kebijakan sains dan teknologinya mulai dari 2006 sudah semakin terdesentralisasi. Jadi kita melawan mainstream (arus utama). Saat saya aktif di Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), masalah paling mendasar penelitian kita itu belum berubah: birokratisasi dan pekerjaan penelitian diperlakukan sama dengan administratif, klerikal, teknis, dan repetitif. Ini yang harus direformasi,” katanya.
Menurut Malik, apa yang selama ini telah dilakukan Eijkman seharusnya yang jadi model bagi lembaga riset di Indonesia, yaitu fokus dan memiliki militansi pada riset. ”Sekitar 23 tahun lalu saya bertugas di Biro Iptek Bappenas, saya meneliti program dan anggaran ketemu dengan namanya Eijkman. Saya nanya teman-teman saya, dia meyakinkan saya, nanti kalau ada orang Indonesia mendapat Nobel itu dari sana. Saat itu Kepala Eijkman masih Pak Sangkot Marzuki,” katanya.
Keunggulan Eijkman adala fokus, satu rumpun, dan memiliki tenaga yang militan apa pun statusnya. ”Bukan malah dilebur. Jadi ini mengherankan saya. Peneliti itu kan harusnya terdiri dari jiwa yang terus bertanya, tetapi ini malah disingkirkan dan yang diambil ASN-nya,” katanya.
Kemunduran
Amin mengatakan, peristiwa yang dialami LBM Eijkman saat ini adalah kemunduran. ”Kalau ditanya tentu kecewa. Eijkman selama ini menghargai peneliti bukan hanya S-3, melainkan juga asisten riset. Tahun 2014 saat masuk di Eijkman. Jumlah publikasi sekitar 30 per tahun yang dihasilkan oleh 27 peneliti senior yang tidak semua S-3. Saya mendorong agar semua bisa menulis, termasuk asisten riset. Tahun berikutnya publikasi kami 50-an. Tahun 2019 mencapai 60 publikasi per tahun, yang dihasilkan oleh 36 peneliti, jadi satu orang menghasilkan minimal dua paper internasional per tahun,” katanya.
Amin juga menegaskan, perekrutan dan honor peneliti dan asisten riset non-ASN juga sudah mengikuti prosedur dan bukan ilegal sebagaimana banyak dipertanyakan BRIN. ”Setiap tahun Eijkman punya 20 proyek penelitian yang selama ini dibiayai APBN. Terakhir anggaran sekitar Rp 30 miliar. Dari dana ini peneliti utama bisa mengusulkan tenaga riset asisten hingga teknisi, sesuai standar biaya masukan yang ditentukan Kementerian Keuangan,” katanya.
Menurut Amin, penggunaan anggaran ini sudah diperiksa Ditjen Anggaran dan setiap tahun diperiksa dan tidak ada masalah. ”Tenaga yang direkrut itu berdasarkan kontrak secara individual dan ada SK-nya, dibuat kuasa pengguna anggaran. Semuanya terdaftar dan mendapat izin dari Kementerian Ristek,” katanya.
Integrasi
Dalam keterangan pers, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengatakan, hingga saat ini, 33 lembaga riset dari kementerian/lembaga (K/L) telah terintegrasi dengan BRIN dan dalam waktu dekat 6 K/L lainnya akan segera terintegrasi. Integrasi ini meliputi seluruh sumber daya riset, yakni sumber daya manusia, infrastruktur, dan penganggaran.
Menurut dia, proses integrasi LBM Eijkman bukan sebuah upaya menghilangkan lembaga penelitian tersebut. Hal itu, katanya, justru akan semakin memperkuat kelembagaan LBM Eijkman. ”Proses integrasi ini saya jadikan momentum untuk melembagakan LBM Eijkman, yang tadinya hanya sebuah unit ad hoc di Kemenristek, sekarang resmi menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman,” kata Handoko.
Melalui integrasi ini, kata Handoko, permasalahan tidak dapat diangkatnya ASN di LBM Eijkman sebagai peneliti kini dapat dilantik sebagai peneliti. Kepada non-ASN di LBM Eijkman, BRIN menawarkan berbagai macam skema.
”Kepada mereka non-PNS dan sudah S-3 dan usianya maksimal 45 tahun, maka dapat mengikuti mekanisme penerimaan CPNS. Jalur ini sudah dilakukan oleh beberapa orang. Sementara untuk yang di atas 45 tahun dapat mendaftar sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK),” katanya.
Sementara bagi mereka yang belum menyelesaikan jenjang pendidikan S-3, menurut Handoko, BRIN menawarkan skema untuk melanjutkan pendidikan dengan mekanisme beasiswa by-research. Mengenai honorer, menurut Handoko, tidak ada pemecatan. ”Isu tersebut tidak benar. Kondisi sebenarnya adalah kontrak mereka telah berakhir di bulan Desember 2021,” katanya.
Menurut Handoko, mengacu PP No 11/2017, PP No 17/2020 dan PP No 49/2018 sebagai turunan dari UU No 5/2014, lembaga pemerintah sudah tidak diperbolehkan merekrut personel sebagai individu, selain dengan skema PNS dan PPPK dengan batas hingga 2023. ”Namun, di lain sisi, sesuai regulasi, honorer hanya bisa dikontrak selama satu tahun anggaran sehingga setiap akhir tahun pasti harus diberhentikan. Meskipun kebiasaan selama ini di awal tahun kembali dikontrak,” katanya.