Peleburan sejumlah entitas lembaga riset ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional dinilai terlalu terburu-buru. Proses ini agar tetap menjaga nyala semangat peneliti dan atmosfer riset.
Oleh
Tim Kompas
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah peneliti dari lembaga riset yang dilebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional saat ini masih kebingungan akan banyak hal teknis, administratif, ataupun masa depannya. Kondisi ini perlu diatasi agar integrasi riset tidak justru mendegradasi semangat para peneliti dan perekayasa serta menghambat riset-riset dan perencanaan penelitian.
Perubahan kelembagaan menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini agar tidak mengorbankan para peneliti. Peleburan sejumlah lembaga riset besar dan mapan yang melibatkan ribuan sumber daya manusia dan infrastruktur ini pun jangan malah membawa kemunduran dalam atmosfer sains dan riset di Indonesia.
Ungkapan kebingungan itu seperti disampaikan Soeranto Human, peneliti utama di bidang pertanian nuklir yang sebelumnya tergabung di Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). “Kami saat ini menghadapi kekhawatiran yang luar biasa. Kami belum tahu ke depan akan bagaimana, juga belum pasti akan mendapat tempat kerja di mana,” katanya saat dihubungi, Rabu (5/1/2022).
Soeranto mengatakan, pada Agustus 2021, seluruh peneliti diminta mengisi formulir penempatan kerja yang dinilai sesuai bidangnya. Setiap peneliti diminta mengisi setidaknya tiga pilihan penempatan kerja. Satu dari pilihan tersebut akan menjadi tempat kerja dari peneliti setelah peleburan ke BRIN.
Organisasi riset dan pusat riset saat ini masih dinamis. Tentu butuh waktu dan koordinasi yang lebih baik mengingat cakupan BRIN sangat luas.
Namun, setelah peleburan, ia belum juga mendapatkan kepastian penempatan kerja. Padahal, pada awal 2022 ini, para periset BRIN diminta segera menyerahkan proposal penelitian yang sesuai dengan penempatan kerja.
Meski demikian, ia menyatakan, pada dasarnya tujuan peleburan lembaga riset ke dalam BRIN itu bagus, yakni supaya tidak ada tumpang tindih penelitian. ”Namun implementasinya dan sistem yang berjalan sangat terburu-buru,” ucapnya.
ID (56), peneliti senior di organisasi riset BRIN, Rabu, mengatakan, setiap apel Senin pagi yang diikuti ribuan pegawai BRIN, termasuk peneliti dan perekayasa, sikap mereka masih terpecah. Sebagian menyambut positif pembentukan BRIN, tapi banyak pula yang menentang, bingung, dan pasrah.
Penggabungan BRIN memang membuka kesempatan bagi sebagian peneliti, terutama mereka yang memang memiliki pola riset seperti yang ditetapkan BRIN. Tapi mereka yang pola risetnya berbeda dengan ketentuan, seperti para perekayasa yang menghasilkan barang, menjadi lebih sulit berekspresi.
Saat ini lembaga riset yang dilebur ke dalam BRIN, antara lain Batan, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), serta Kementerian Riset dan Teknologi yang didalamnya mencakup Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Setidaknya 11.000 sumber daya manusia (SDM) tergabung dalam BRIN.
Terkait kebingungan periset, menurut Kepala BRIN Laksana Tri Handoko, hal itu terjadi karena mereka belum memahami struktur baru yang tengah dibangun saat ini. Sebab, BRIN masih dalam proses pemetaan SDM sambil menunggu persetujuan struktur pusat riset akhir dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan)-BRIN, yang juga Kepala Lapan 2014-2021, Thomas Djamaluddin mengatakan, kebingungan yang dihadapi peneliti dan perekayasa adalah hal wajar. Terlebih, saat awal ketika empat lembaga penelitian nonkementerian diintegrasikan.
Periset yang sebelumnya sebagai Kepala Pusat Rekayasa Fasilitas Nuklir Batan, Kristedjo Kurnianto, berharap peleburan entitas riset ke dalam BRIN dapat lebih mengedepankan kolaborasi. Hasil riset dan inovasi pun bisa lebih baik.
”Organisasi riset dan pusat riset saat ini masih dinamis. Tentu butuh waktu dan koordinasi yang lebih baik mengingat cakupan BRIN sangat luas,” tuturnya.
Ke Komnas HAM
Buntut peleburan BPPT ke BRIN, sejumlah periset dan pegawai yang berstatus non-pegawai negeri sipil BPPT yang mengaku diberhentikan tanpa kejelasan mengadukan nasibnya kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Rabu. Pemerintah diminta mempekerjakan mereka kembali karena pengabdian bertahun-tahun dan membantu memajukan riset di dalam negeri.
Mereka yang tergabung dalam Paguyuban Pegawai Pemerintah Non PNS (PPNPN) itu diterima Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara. Mereka berasal dari balai di bawah BPPT, seperti Balai Bioteknologi, Balai Teknologi Survei Kelautan, dan Balai Besar Teknologi Kekuatan Struktur (B2TKS).
Rudi Jaya, Sekretaris PPNPN-BPPT, menyatakan, mayoritas anggota paguyuban bermasa kerja lebih dari lima tahun dan pendidikan di bawah S-2. Rudi dengan pendidikan terakhir SMA ini bekerja di Balai Bioteknologi selama 16 tahun dan terlibat dalam sejumlah riset penting, seperti pengembangan bahan baku obat.
Menanggapi tuntutan tersebut, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menepis pernyataan yang menyebut eks pegawai BPPT diberhentikan karena ada integrasi lembaga riset. Menurut Handoko, mereka diberhentikan karena tenaga honorer hanya bisa dikontrak selama satu tahun anggaran.
”Karena kontrak hanya satu tahun dan sesuai regulasi, kami tidak bisa lagi merekrut honorer,” ungkapnya.
Handoko memberikan solusi agar para eks pegawai itu mendaftar ke mitra operator kapal BRIN atau ke mitra alih daya untuk pegawai dengan spesifikasi tertentu. Ia menilai eks pegawai yang profesional dan ahli di bidangnya akan mudah diterima.
Lembaga Eijkman
Peleburan Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman ke dalam BRIN diniai dapat menyebabkan tercerai berainya sumber daya manusia dan ekosistem riset yang sudah terbentuk puluhan tahun. Herawati Supolo Sudoyo, profesor biologi molekuler eks LBM Eijkman, Rabu, mengatakan, kualitas sumber daya di LBM Eijkman terlatih melalui ekosistem riset yang ditempa pengalaman panjang. Baik peneliti, asisten peneliti, maupun para staf pendukung lain adalah tenaga profesional yang terlatih.
Sementara itu, Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) menilai peleburan LBM Eijkman ke BRIN berpotensi menghapus infrastruktur kelembagaan pusat riset yang telah membangun dan menerapkan salah satu kultur akademik terbaik di Indonesia. Pernyataan sikap ini disampaikan Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Haris Madduppa sebagai sikap resmi lembaganya. (MZW/AIK/MTK/TAN/ABK)