Cuaca Dingin pada Awal Tahun Bukan Disebabkan Fenomena Aphelion
Cuaca dingin yang tengah terjadi pada awal tahun bukan disebabkan oleh fenomena aphelion. Aphelion adalah sebuah fenomena matahari berada pada titik jarak terjauh dari bumi yang puncaknya terjadi pada bulan Juli.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebuah pesan berantai yang tersebar di aplikasi percakapan dan media sosial menyebut cuaca dingin yang tengah terjadi saat ini disebabkan fenomena aphelion. Hal ini dibantah oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisikakarena fenomena aphelion terjadi pada pertengahan tahun.
Dalam pesan berantai yang beredar tersebut, sebuah informasi menyebutkan bahwa saat ini bumi tengah mengalami fenomena aphelion sehingga menyebabkan cuaca lebih dingin dibandingkan periode lainnya. Bahkan, pesan tersebut menginformasikan bahwa cuaca dingin akibat aphelion dapat menyebabkan badan mudah terserang penyakit.
Menanggapi pesan berantai ini, Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Klimatologi BMKG Urip Haryoko menyatakan cuaca dingin yang tengah terjadi pada awal tahun bukan disebabkan oleh fenomena aphelion. Aphelion merupakan sebuah fenomena matahari berada pada titik jarak terjauh dari bumi yang terjadi setiap tahun dengan puncaknya terjadi pada bulan Juli.
”Aphelion tidak berpengaruh signifikan terhadap suhu di bumi. Pengaruh suhu saat ini masuk dalam periode Bubi dengan letak lebih dekat dengan matahari,” ujarnya, Selasa (4/1/2022). Fenomena bumi yang berada lebih dekat dengan matahari juga kerap disebut perihelion. Puncak perihelion terjadi pada bulan Januari.
Aphelion yang terjadi pada Juli mendatang juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variasi penurunan suhu di wilayah Indonesia.
Orbit bumi tidak sepenuhnya lingkaran sempurna, melainkan berbentuk elips sehingga setiap tahunnya terjadi fenomena aphelion dan perihelion. Jarak terdekat bumi dengan matahari dapat mencapai 147,5 juta kilometer, sedangkan jarak terjauh 156,2 juta kilometer. Dua fenomena ini akan selalu berulang setiap tahun.
Melalui penjelasan fenomena ini, Urip menegaskan bahwa cuaca dingin di Indonesia bukan terjadi karena fenomena aphelion. Namun, penurunan suhu terjadi akibat faktor luar lainnya khususnya terkait dengan periode musim hujan. Adapun puncak musim hujan di Indonesia diperkirakan terjadi pada Februari 2022.
Selain itu, aphelion yang terjadi pada Juli mendatang juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variasi penurunan suhu di wilayah Indonesia. Hal ini pernah dijelaskan BMKG dengan melakukan pengukuran suhu dingin di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Juli 2021. Saat itu, masyarakat Toraja merasakan suhu yang lebih dingin dari bulan-bulan sebelumnya pada malam hingga dini hari.
Dari analisis yang dilakukan BMKG, suhu dingin yang terjadi di Toraja pada Juli 2021 merupakan fenomena normal karena topografi daerah tersebut yang berada di dataran tinggi. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Tana Toraja tahun 2015, ketinggian wilayah Tana Toraja yang terendah, yakni 736 meter, di Kecamatan Makale Selatan dan tertinggi 1.425 meter di Kecamatan Bittuang.
Perubahan cuaca
Sebelumnya, Urip menyampaikan bahwa dari analisis BMKG sejak 1981-2021 terdapat tren peningkatan curah hujan dengan intensitas di atas 150 milimeter per hari di seluruh wilayah. Namun, tren peningkatan curah hujan tertinggi tercatat di Kalimantan. Kondisi ini membuktikan adanya perubahan cuaca ekstrem di Indonesia.
”Secara umum, di semua pulau di Indonesia mengalami tren curah hujan ekstrem yang tinggi. Salah satu indikator peningkatan cuaca ekstrem ini adalah adanya siklon tropis Seroja pada April 2021. Dengan adanya perubahan iklim, siklon tropis bisa terjadi di daerah 10 derajat lintang utara dan lintang selatan,” tuturnya.
Selain itu, analisis BMKG sepanjang 1970-2012 menunjukkan Indonesia mengalami kenaikan jumlah hari panas pada siang hari dan penurunan jumlah hari dingin pada malam hari. Artinya, di Indonesia telah terjadi kenaikan temperatur secara global.
Peneliti Pusat Riset dan Teknologi Atmosferik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yuliastin, mengatakan, dari permodelan yang dilakukan, pada Januari 2022 diprediksi terjadi jeda monsun yang ditandai dengan pelemahan angin monsun Asia. Anomali cuaca pada bulan Januari dapat terjadi karena fenomena gelombang selatan (southerly surge).
Sementara pada Februari 2022, sepasang siklonik dan antisiklonik vorteks diprediksi akan terbentuk di perairan timur Indonesia yang dapat meningkatkan potensi hujan ekstrem. Dari sisi barat, terdapat potensi terbentuk gelombang utara (northerly surge) dan sistem tekanan rendah di barat daya Samudra Hindia sehingga akan mengonsentrasikan hujan di Jawa dan Sumatera.