Omicron dan Arah Wabah ke Depan
Kemunculan Omicron bisa memperpanjang pandemi, yang sebelumnya diharapkan bisa diakhiri di tahun 2022 ini. Perlu kolaborasi untuk mencegah Omicron agar tidak menjadi tragedi sebagaimana gelombang Delta di tahun 2021.
Lonjakan kasus dan kematian karena Covid-19 seiring serangan varian Delta yang memuncak di pertengahan tahun 2021 akhirnya mereda. Indonesia telah menikmati kurva pandemi melandai sejak trimester terakhir. Namun, kemunculan varian baru Omicron bisa membalikkan arah wabah tahun 2022.
Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 pada Selasa (28/12/2021) mencatat, kasus Covid-19 di Indonesia telah menurun hingga 99,6 persen selama 23 minggu berturut-turut. Ini berarti tinggal menurunkan 0,4 persen lagi, Indonesia bisa bebas dari kasus harian Covid-19.
Landainya kasus juga terlihat dari test positivity rate atau rasio orang yang positif dari pemeriksaan tinggal 0,19 persen. Memasuki Desember 2021, penambahan kasus Covid-19 rata-rata kurang dari 200 orang per hari, rekor terendah sejak 7 April 2020.
Sementara kematian karena Covid-19 rata-rata kurang dari 10 orang per hari, bahkan pernah 1 orang per hari pada 28 November 2021. Itu merupakan yang terendah sejak 17 Maret 2020.
Padahal, di puncak gelombang Delta, jumlah korban jiwa bisa mencapai 2.069 orang dalam sehari pada 27 Juli 2021. Sementara kasus harian mencapai rekor 56.757 orang pada 15 Juli 2021, dengan rasio orang yang dites positif lebih dari 35 persen.
Kita tentu ingat dengan tragedi di Juli-Agustus 2021. Ketika itu, rumah sakit penuh, tenaga kesehatan kewalahan, dan oksigen langka, sehingga banyak yang meninggal di halaman rumah sakit, di jalanan, serta di rumah. Bahkan, untuk dikuburkan pun harus antre. Landainya kurva pandemi saat ini dicapai dengan pengorbanan sangat besar dan sebagian korban itu adalah saudara serta teman-teman terbaik kita.
Baca juga: Omicron dan Ketakutan Masa Depan Manusia
Angka resmi jumlah kasus dan kematian karena Covid-19 di Indonesia bisa dipastikan jauh lebih rendah dari kenyataan. Survei serologi di Jakarta pada 15-31 Maret 2021 menemukan, sebanyak 44,5 persen penduduk pernah terinfeksi SARS-CoV-2, virus pemicu Covid-19, tetapi 81,6 persen di antaranya tidak pernah terdeteksi (Kompas, 10 Juli 2021).
Selain menunjukkan tingginya penduduk di Jakarta yang terinfeksi, padahal itu sebelum gelombang Delta, survei ini juga menunjukkan rendahnya deteksi karena keterbatasan tes dan lacak. Padahal, Jakarta memiliki kemampuan tes Covid-19 tertinggi di Indonesia.
Hal ini sejalan dengan penelusuran Kompas yang menemukan, kematian penduduk di desa-desa di Jawa pada bulan Juli 2021 bisa mencapai 10 kali lipat dari rata-rata dalam lima tahun sebelumnya (Kompas, 4 Agustus 2021). Sebagian besar korban meninggal itu tak tercatat sebagai korban Covid-19.
Perlu dicatat bahwa selain upaya pembatasan, menurunnya gelombang Delta di Indonesia terjadi seiring dengan tingginya orang yang terinfeksi Covid-19. Ibarat kebakaran, bahan bakarnya menipis karena kebanyakan orang telah memiliki kekebalan dari infeksi sebelumnya, selain karena vaksinasi.
Sejumlah kajian menunjukkan, kombinasi vaksinasi dan infeksi sebelumnya merupakan perlindungan terbaik terhadap Covid-19 (Zang dkk, dalam Emerging Microbes & Infection, 8 Desember 2021). Dengan tingginya kekebalan, karena infeksi sebelumnya maupun karena vaksinasi, Indonesia boleh merasa terlindungi. Banyak negara lain juga berpikiran sama dan bersiap masuk ke periode endemi dengan melonggarkan pembatasan.
Baca juga: Omicron Terus Bertambah, Anak-anak Berisiko
Namun, kemunculan Omicron telah mengubah arah wabah. Sejak pertama kali dideteksi di Afrika Selatan pada 23 November 2021, varian baru Omicron telah menyebar di 115 negara dengan kecepatan yang melebihi varian pendahulunya.
Sejumlah negara yang telah memiliki transmisi lokal Omicron juga mencatatkan rekor penambahan kasus Covid-19 harian tertinggi, termasuk di negara-negara dengan cakupan vaksinasi tertinggi seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Inggris.
Faktor Omicron
Sejumlah studi telah menunjukkan, Omicron yang memiliki lebih dari 30 mutasi di protein lonjakan (spike), jauh lebih menular dibandingkan Delta. Selain itu, kemampuan Omicron menerobos antibodi membuatnya bisa memicu infeksi ulang hingga 5,4 kali lebih tinggi dibandingkan Delta. Apalagi, antibodi yang terbentuk karena vaksin maupun infeksi juga menyusut seiring waktu.
Kabar baiknya, studi ilmuwan dari Imperial College London yang dirilis pada 22 Desember 2021mendukung temuan para dokter Afrika Selatan, bahwa kemungkinan dirawat di rumah sakit akibat infeksi Omicron jauh lebih kecil daripada dari Delta.
Ditemukan bahwa risiko orang yang memerlukan perawatan rumah sakit turun 20-25 persen dengan Omicron dibandingkan Delta, sedangkan kebutuhan untuk menginap di rumah sakit turun 40-45 persen. Bagi mereka yang tidak memiliki infeksi sebelumnya atau belum vaksin, risiko rawat inap sekitar 11 persen lebih rendah untuk Omicron dibandingkan Delta.
Baca juga: Indonesia Bersiap Menghadapi Omicron
Studi tersebut menunjukkan dua dosis vaksin tidak cukup untuk memberikan tingkat perlindungan serius, sehingga dibutuhkan suntikan booster (dosis penguat). Selain itu peneliti menemukan bahwa memiliki infeksi Covid-19 sebelumnya mengurangi risiko rawat inap dari Omicron sekitar setengahnya.
Dengan situasi ini, kebutuhan vaksin booster menjadi tak terelakkan. Di tengah seruan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang keadilan distribusi vaksin, sejumlah negara kaya, seperti AS dan negara-negara Eropa, telah mempercepat suntikan booster. Bahkan, Israel berencana menyuntikkan booster keempat.
Sekalipun telah menjadi kebutuhan, penguat dosis vaksin juga bisa jadi dilema untuk Indonesia yang cakupan vaksin dosis kedua baru sekitar 40 persen populasi. Di satu sisi, kita dituntut mempercepat program vaksinasi, terutama untuk lanjut usia yang cakupannya paling rendah.
Di sisi lain, laporan Badan Keamanan Kesehatan Inggris pada 23 Desember 2021 menunjukkan, efektivitas vaksin penguat melawan Omicron juga berkurang lebih cepat daripada melawan Delta. Data menunjukkan perlindungan vaksin penguat terhadap Omicron turun signifikan setelah10 minggu.
Kecenderungan ini bisa membuat kita tergantung dengan vaksin penguat, sebagaimana terjadi dengan vaksin influenza yang harus rutin disuntikkan. Maka, kemandirian produksi vaksin di dalam negeri menjadi bekal penting untuk hidup bersama Covid-19 di masa mendatang.
Sekalipun bukti-bukti menunjukkan Omicron tidak lebih mematikan dibandingkan Delta, kita tidak boleh terkecoh, apalagi meremehkan. Bahaya penyakit menular seperti Covid-19 bukan hanya dari seberapa tinggi fatalitasnya. Jika kasus melonjak, hal ini bisa membuat fasilitas kesehatan kolaps sehingga menghambat penanganan berbagai penyakit lain.
Bahaya penyakit menular seperti Covid-19 bukan hanya dari seberapa tinggi fatalitasnya. Jika kasus melonjak, hal ini bisa membuat fasilitas kesehatan kolaps sehingga menghambat penanganan berbagai penyakit lain.
Apalagi, seringan-ringannya Covid-19 tetap berbahaya, terutama jika menulari mereka yang punya komorbid atau penyakit penyerta. Sejumlah negara, seperti AS saat ini mengalami lonjakan kasus Covid-19 pada anak-anak, yang menunjukkan Omicron pintar mencari celah di kelompok yang belum memiliki antibodi.
Baca juga: Cenderung Tanpa Anosmia, Gejala Omicron Sulit Dideteksi Penderita
Terus membesarnya kasus Covid-19 di komunitas berarti juga membuka peluang terjadi mutasi baru, yang bisa jadi lebih berbahaya. Tentu kita berharap, Omicron menjadi varian pamungkas, yang membuat penyakit ini lebih menular, tapi semakin ringan dampaknya sehingga menjadi endemis. Hal ini pernah terjadi dengan pandemi flu Spanyol 1918.
Namun, selain berharap yang terbaik, kita juga mesti siap dengan konsekuensi terburuk. Wajib bagi kita yang sudah memiliki transmisi lokal Omicron untuk mencegah melonjaknya kurva penularan.
Selama dua tahun hidup bersama Covid-19, kita tentu sudah belajar bahwa tidak ada solusi tunggal untuk mencegah membesarnya wabah. Vaksin saja tidak cukup, tapi harus tes dan lacak yang masif dan cepat, selain peran serta masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan.
Semua pihak harus menyadari bahwa pandemi belum berakhir. Tahun 2022 bisa menjadi tragedi atau harapan baru untuk keluar dari wabah bisa ditentukan oleh peran serta semua pihak dalam menghadapi ujian Omicron...