Kejadian bencana alam sepanjang tahun 2021 cenderung turun, tetapi jumlah korban jiwa justru meningkat. Hal itu menunjukkan perlunya perbaikan sistem peringatan dini.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejadian bencana di Indonesia sepanjang 2021 mencapai 3.092 kali atau menurun 33,5 persen dibandingkan dengan tahun 2020 yang 4.649 kali. Namun, korban jiwa justru meningkat 76,9 persen, yaitu dari 376 orang pada 2020 menjadi 665 orang tahun 2021.
Tren bencana dan dampaknya ini disampaikan Sekretaris Utama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Lilik Kurniawan dalam diskusi tentang ”Kaleidoskop Bencana 2021” di Jakarta, Sabtu (31/12/2021).
Lilik menjelaskan, banjir menjadi bencana yang paling sering terjadi pada 2021, yaitu mencapai 1.298 kali. Berikutnya cuaca ekstrem 804 kejadian, tanah longsor 632 kejadian, kebakaran hutan dan lahan 265 kali, serta gelombang pasang dan abrasi 45 peristiwa.
Selain itu, tercatat terjadi 32 gempa bumi, 15 kejadian kekeringan, dan 1 kejadian erupsi gunung api. ”Bencana yang dominan tahun 2021 adalah hidrometeorologi basah,” tuturnya.
Dari segi wilayah, bencana paling sering terjadi di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Aceh. Berikutnya yang juga kerap dilanda bencana adalah Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Lilik memaparkan, sekalipun kejadian bencana pada 2021 menurun, dampaknya meningkat signifikan. Berdasarkan data BNPB, jumlah korban jiwa akibat bencana pada 2021 sebanyak 665 orang atau naik 76,9 persen dibandingkan tahun 2020 sebanyak 376 orang.
Korban luka-luka juga naik signifikan dari 619 orang pada 2020 menjadi 14.116 orang tahun 2021. Demikian halnya jumlah pengungsi juga bertambah. Tahun 2020 hanya 6.796.334 orang menjadi 8.426.609 orang pada 2021. Dampak kerusakan juga meningkat. ”Rumah rusak dari 65.744 unit pada 2020 menjadi 142.179 unit tahun 2021,” kata Lilik.
Peningkatan dampak bencana ini karena ada beberapa kejadian yang intensitasnya masif. Beberapa kejadian bencana yang menyumbangkan dampak besar selama tahun 2021 di antaranya gempa Mamuju, siklon tropis Seroja di Nusa Tenggara Timur, dan erupsi Semeru. ”Siklon tropis Seroja di NTT pada April mengakibatkan jumlah korban paling besar,” tuturnya.
Kepala BNPB Suharyanto menjelaskan, rangkaian bencana yang terjadi sepanjang 2021 memberikan pelajaran tentang pentingnya meningkatkan kesiapsiagaan, pencegahan, dan mitigasi. ”Upaya optimal pada fase pra-bencana merupakan kunci utama dalam mengurangi risiko bencana,” katanya.
Menurut Suharyanto, ada tiga prioritas yang akan dilakukan pada tahun mendatang, yaitu penataan tata ruang dan pengembangan kawasan yang berbasis mitigasi bencana, penguatan bangunan agar tahan gempa, restorasi lingkungan dan ekosistem, serta penguatan literasi dan pemahaman akan bahaya, potensi serta risiko dan sistem peringatan dini bencana.
Tren global
Tren peningkatan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi terjadi secara global meski kecenderungan jumlah korban cenderung menurun. Dengan pemanasan global yang melaju, ancaman bencana terkait cuaca ekstrem akan meningkat. Seperti dilaporkan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), bencana terkait cuaca dan iklim telah meningkat lima kali lipat selama periode 50 tahun terakhir.
Menurut WMO Atlas of Mortality and Economic Losses from Weather, Climate and Water Extremes (1970-2019), ada lebih dari 11.000 kejadian bencana yang dilaporkan terkait dengan bahaya cuaca dan iklim secara global, dengan lebih dari 2 juta kematian dan kerugian 3,64 triliun dollar AS.
Dari tahun 1970 hingga 2019, bahaya cuaca, iklim, dan air menyumbang 50 persen dari semua bencana, 45 persen dari semua kematian yang dilaporkan, dan 74 persen dari semua kerugian ekonomi yang dilaporkan.
Upaya optimal pada fase pra-bencana merupakan kunci utama dalam mengurangi risiko bencana.
Lebih dari 91 persen dari kematian ini terjadi di negara berkembang. Sementara itu, dari 10 bencana teratas, bahaya yang menyebabkan kerugian manusia terbesar selama periode tersebut meliputi kekeringan (650.000 kematian), badai (577.232 kematian), banjir (58.700 kematian), dan suhu ekstrem (55.736 kematian).
Sementara itu, kerugian ekonomi akibat bencana ini meningkat tujuh kali lipat dari tahun 1970-an hingga 2010-an. Kabar baiknya, kematian akibat bencana terkait cuaca ini menurun hampir tiga kali lipat dari tahun 1970 hingga 2019.
Jumlah kematian turun dari lebih dari 50.000 kematian tahun 1970-an menjadi kurang dari 20.000 kematian pada 2010-an. Tahun 1970-an dan 1980-an, rata-rata 170 kematian terkait per hari. Pada 1990-an, rata-rata itu turun sepertiga menjadi 90 kematian terkait per hari, kemudian terus turun pada 2010-an menjadi 40 kematian terkait per hari.
Menurut laporan WMO ini, penurunan jumlah korban bencana terutama terjadi di negara-negara maju terjadi dengan menguatnya sistem peringatan dini bencana. Hal ini menunjukkan bahwa bencana bisa dikurangi risikonya.