Sistem Pangan Kepulauan Harus Berbasis Keragaman Lokal
Regionalisasi sistem pangan yang berbasis pada keberagaman sumber daya lokal perlu diterapkan. Hal itu bisa menjadi strategi untuk mengakhiri kelaparan sekaligus mencapai semua Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Ibad (35) memeriksa penyemaian bibit tanaman sayuran selada sebelum ditanam secara vertikultur di Taman Teknologi Pertanian Cigombong, Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (13/8/2020). Sistem pertanian semacam ini mampu meningkatkan produktivitas produksi pangan, khususnya sayuran.
JAKARTA, KOMPAS — Sistem pangan harus memperhitungkan aspek kesehatan, inklusif, dan berkelanjutan. Untuk konteks Indonesia sebagai negara kepulauan, hal ini bisa diwujudkan jika kita menerapkan regionalisasi sistem pangan yang berbasis pada keberagaman sumber daya lokal.
Konsep regionalisasi sistem pangan ini mengemuka dalam diskusi daring tentang ”Transformasi Sistem Pangan Negara Kepulauan Indonesia” yang diselenggarakan IPB University, Kamis (30/12/2021).
Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Pembangunan dan Perencanaan Nasional (Bappenas) Arifin Rudiyanto memaparkan, sistem pangan berkelanjutan tidak hanya membantu mengakhiri kelaparan. Namun, hal itu juga dapat membantu dunia mencapai kemajuan penting pada semua 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Terkait hal itu, Bappenas telah melakukan serangkaian dialog independen untuk mentransformasikan sistem pangan nasional yang berkelanjutan. Dialog tidak hanya melibatkan unsur pemerintah, tetapi juga non-pemerintah. Salah satu rumusan yang didapatkan dalam dialog ini adalah pentingnya regionalisasi sistem pangan.
Kompas
Beragam jenis sayuran, bumbu dapur, hingga benih padi lokal di Kabupaten Katingan dipamerkan dalam Lokakarya Pengelolaan Pangan Lokal di Kota Palangkaraya, Jumat (17/12/2021). Ratusan tahun lamanya masyarakat Dayak memiliki lumbung pangan mereka sendiri.
Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas Anang Noegroho mengutarakan, regionalisasi sistem pangan ini didasarkan pada pendekatan geografis dalam membangun sistem pangan. ”Kami membagi Indonesia ke dalam enam zona berbasis pulau-pulau, yaitu Sumatera, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi-Maluku, dan Papua,” ujarnya.
Transformasi sistem pangan diarahkan menuju pada pangan yang bergizi, inklusif, berkelanjutan, dan andal. ”Transformasi sistem pangan ini harus dibangun oleh sistem pangan lokal berbasis potensi lokalitas,” kata Anang.
Dengan tingginya keberagaman sumber daya, Indonesia seharusnya memiliki daya dukung yang kuat dalam pembangunan regionalisasi sistem pangan. Di antaranya, Indonesia memiliki 77 jenis karbohidrat, 75 jenis protein, 228 jenis sayuran, 389 jenis buah-buahan, 26 jenis kacang-kacangan, serta 110 jenis rempah dan bumbu.
Sekalipun memiliki keragaman sumber pangan, Indonesia menghadapi beragam persoalan pangan. Peneliti senior Kebijakan Pangan dan Pertanian, Kementerian Pertanian, Achmad Suryana mengatakan, di antara tantangan terkait pangan di Indonesia adalah tingginya stunting (tengkes) atau gagal tumbuh kembang karena kurang gizi kronis, wasting (kurus), dan obesitas.
Kompas/Priyombodo
Buah gambas atau oyong hasil bertani dari Jessica Halim yang melakoni gaya hidup slow food di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (4/9/2021). Slow food merupakan gerakan yang mengajak masyarakat dunia kembali pada kearifan lokal di sektor pangan, seperti menanam sendiri sayur mayur yang kita konsumsi.
”Masalah lain adalah food lost dan food waste. Kehilangan pangan kita sampai sepertiga dari produksi. Kalau kehilangan ini bisa diatasi setengahnya saja, permintaan tambahan luas pertanian bisa berkurang,” ujarnya.
Asisten Perwakilan FAO di Indonesia Ageng Herianto menjelaskan, sistem pangan bisa dilihat dengan empat indikator, yaitu fleksibilitas produksi, fleksibilitas konsumsi, jaringan transportasi, dan akses ke pangan. ”Jaringan transportasi ini amat kompleks, terutama bagi kepulauan Indonesia,” katanya.
Kehilangan pangan kita sampai sepertiga dari produksi. Kalau kehilangan ini bisa diatasi setengahnya saja, permintaan tambahan luas pertanian bisa berkurang.
Dia mencontohkan, Vietnam memiliki kantong produksi terbatas, tetapi konsumsinya merata. Demikian halnya Nigeria kantong produksinya juga terbatas, tetapi konsumsinya tersebar. Padahal, kedua negara ini merupakan negara kontinen atau daratan, dibandingkan dengan Indonesia yang berupa kepulauan.
Untuk fleksibilitas produksi, hal ini bisa dilihat dari keberagaman produksi untuk pasar domestik dan keberagaman ekspor. Sementara fleksibilitas konsumsi bisa dilihat dari keberagaman produksi dan impor.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sayur pagoda atau fugui yang dibudidayakan secara hidroponik oleh kelompok tani RW 003 Kelurahan Cempaka Putih Timur, Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Kamis (12/11/2020). Di lahan seluas 200 meter persegi di bantaran Kali Rawakerbau itu mereka bertani untuk mencukupi kebutuhan pangan lokal dan menunjukkan bahwa wilayah perkotaan tetap bisa produktif menjadi area pertanian.
Ageng mengatakan, sistem pangan di Indonesia masih berbasis produksi domestik, terutama untuk protein. ”Protein di Indonesia masih mengandalkan domestik. Jika dibandingkan China, produk domestiknya kalah dengan kita kalau melihat kilo kalori, tetapi impornya tinggi. Apalagi Jepang produk domestiknya rendah, tetapi impornya yang tinggi,” katanya.
Ketahanan pangan
Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin mengatakan, sistem pangan di Indonesia masih sarat masalah. Dia mencontohkan peringkat Indonesia berdasarkan Global Food Security Index (GFSI) 2021 yang menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Pada 2019, Indonesia berada di urutan ke-60 secara global dengan skor 60,9, menurun di peringkat ke-65 dengan skor 59,5 pada 2020, dan di peringkat ke-69 dengan skor 59,2 pada tahun 2021. Posisi Indonesia saat ini ada di urutan ke-69 dari 113 negara, lebih rendah ketimbang sejumlah negara Asia Tenggara lain, seperti Filipina, Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Singapura.
Selain itu, dia mengingatkan risiko ke depan terkait dampak perubahan iklim. ”Ancaman kenaikan muka laut dan tenggelamnya pulau-pulau kecil adalah hal serius,” tuturnya.
Menurut Bustanul, sistem pangan Indonesia selain harus menjawab masalah kesehatan, sistem gizi, dan lingkungan, juga harus bisa mengatasi masalah kemiskinan dan menghindari kesenjangan.
Kompas
Posisi Indonesia dalam Global Food Security Index (GFSI) tahun 2021 justru menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Indonesia saat ini berada di peringkat ke-63 dari 113 negara. Sumber: presentasi Bustanul Arifin, 2021
Secara terpisah, catatan akhir tahun dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) menyampaikan bahwa sistem pangan dan pertanian di Indonesia masih dalam kondisi rentan.
”Sistem pangan rapuh saat dihadapkan dengan guncangan mendadak, seperti saat pandemi Covid-19. Guncangan ini menyebabkan penurunan akses penduduk terhadap pangan,” sebut Koordinator KRKP Said Abdullah.
Menurut catatan KRKP, masyarakat perkotaan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau yang menerima pengurangan jam kerja mengalami kesulitan dalam menjangkau pangan yang sehat dan beragam. Kondisi sulit juga dialami oleh produsen pangan, petani yang ada di perdesaan.
Petani-petani padi, misalnya, saat panen raya justru mengalami kesulitan untuk menjual hasil panen dengan harga yang layak. Harga gabah anjlok di bawah harga pembelian pemerintah yang telah ditetapkan pemerintah.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Selain porang, tanaman umbi lain yang juga tengah dikembangkan oleh Balai Penelitian Aneka Tanaman Kacang dan Umbi (Balitkabi) adalah gembili, uwi, ganyong, dan pala pendem lainnya yang memiliki potensi tepung besar. Terlibat beberapa umbi talas di Balitkabi, Malang, Jawa Timur, Rabu (12/8/2020).
”Anjloknya harga ini ternyata disebabkan oleh sentimen pasar karena ada rencana pemerintah akan mengimpor beras pada awal tahun 2021. Ironisnya lagi adalah importasi bahan pangan ini bukan didasarkan pada kebutuhan,” katanya.
Salah satu sumber masalah ini, menurut Said, adalah data pangan kita belum satu sehingga kerap terjadi perbedaan data antar-kementerian dan lembaga pemerintah. Padahal, data ini menjadi basis dalam memutuskan kebijakan dan tata kelola pangan. ”Hal-hal di atas merupakan gejala dari rentannya sistem pangan kita,” ucapnya.