Pandemi Sulit Diakhiri jika Ketidaksetaraan Vaksin Masih Terjadi
Ketidaksetaraan vaksinasi Covid-19 dan berbagai upaya mencegah penularan membuat pandemi sulit diakhiri. Kesenjangan akses terhadap vaksin tersebut menyebabkan varian baru akan terus bermunculan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi Kesehatan Dunia memperingatkan bahwa pandemi Covid-19 belum berakhir, ditandai dengan lonjakan kasus baru secara global. Ketidaksetaraan vaksinasi dan berbagai upaya mencegah penularan membuat pandemi sulit diakhiri karena varian baru akan terus bermunculan.
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, pada konferensi pers secara daring, Rabu (29/12/2021), waktu setempat di Geneva, Swiss, mengatakan, kombinasi Delta dan Omicron telah mendorong jumlah kasus mencapai rekor tertinggi. Hal itu menambah tekanan pada sistem kesehatan di sejumlah negara yang saat ini mencapai batasnya.
Data WHO menunjukkan, kasus Covid-19 baru secara global telah meningkat 11 persen dalam sepekan, dan sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dan Perancis, mencatat rekor jumlah kasus harian. ”Saya sangat prihatin bahwa Omicron, yang lebih menular, beredar pada saat yang sama dengan Delta, menyebabkan tsunami kasus Covid-19,” ujarnya.
Lonjakan kasus ini, menurut Tedros, akan memberikan tekanan besar kepada petugas kesehatan yang kelelahan, dan sistem kesehatan di ambang kehancuran. Dia mengatakan, tekanan pada sistem kesehatan tidak hanya karena pasien yang terinfeksi virus korona baru, tetapi juga sejumlah besar tenaga kesehatan yang jatuh sakit karena Covid-19.
Kesetaraan vaksin
Tedros juga mengatakan, perang melawan Covid-19 pada tahun mendatang akan bertumpu pada kesetaraan vaksin. Ketimpangan vaksin yang terjadi tidak akan membawa kita keluar dari pandemi. Itu karena selama wabah masih beredar di suatu wilayah, dunia tidak akan aman.
Terkait dengan hal itu, WHO menargetkan 40 persen populasi di setiap negara divaksinasi penuh pada akhir tahun 2021 dan memiliki target cakupan vaksin 70 persen pada pertengahan 2022. Namun, 92 dari 194 negara anggota WHO akan meleset dari target 40 persen ini.
”Ini karena kombinasi pasokan terbatas ke negara-negara berpenghasilan rendah hampir sepanjang tahun dan kemudian vaksin berikutnya tiba hampir kedaluwarsa serta tanpa dukungan bagian-bagian penting, seperti jarum suntik,” katanya.
Menurut dia, situasi ini tidak hanya soal moral, tetapi merenggut nyawa dan memberi virus kesempatan untuk beredar tanpa terkendali dan bermutasi. ”Pada tahun depan, saya menyerukan para pemimpin pemerintah dan industri untuk membicarakan kesetaraan vaksin,” ucapnya.
Tedros juga mengecam sikap negara-negara kaya yang memonopoli senjata untuk memerangi Covid-19 dan membiarkan pintu belakang terbuka untuk perkembangan virus itu.
”Populisme, nasionalisme sempit, dan penimbunan alat kesehatan, termasuk masker, terapi, diagnostik, dan vaksin oleh sejumlah kecil negara menggerogoti pemerataan. Ini sekaligus menciptakan kondisi ideal untuk munculnya varian baru,” katanya.
Ketidaksetaraan vaksin ini terlihat dari perlombaan yang dilakukan berbagai negara maju untuk memberikan booster atau suntikan vaksin tambahan setelah dosis lengkap. Bahkan, Israel bersiap memberikan booster kedua atau vaksin keempat untuk menghadapi Omicron.
Populisme, nasionalisme sempit, dan penimbunan alat kesehatan, termasuk masker, terapi, diagnostik, dan vaksin, oleh sejumlah kecil negara menggerogoti pemerataan. Ini sekaligus menciptakan kondisi ideal untuk munculnya varian baru.
Kelompok Ahli Penasihat Strategis WHO (SAGE) tentang Imunisasi, dalam pernyataan tertulis pekan sebelumnya, menyebutkan, setidaknya 126 negara di seluruh dunia telah mengeluarkan rekomendasi tentang booster atau dosis vaksin tambahan, dan 120 telah mulai menerapkan program tersebut. ”Belum ada negara berpenghasilan rendah yang memperkenalkan program vaksinasi booster,” sebut mereka.
Disinformasi
Selain masalah ketimpangan distibusi vaksin, Tedros menyoroti soal disinformasi yang telah menjadi gangguan konstan pada 2021 sehingga menghambat upaya untuk mengalahkan pandemi.
”Dalam gelombang besar kasus yang saat ini terlihat di Eropa dan di banyak negara di seluruh dunia, informasi yang salah yang telah mendorong keragu-raguan terhadap vaksin dan sekarang terlihat dengan kematian yang tidak proporsional di kalangan yang tidak divaksinasi,” katanya.
Menurut Tedros, jika pada 2020 terdapat 1,8 juta kematian karena Covid-19 yang tercatat, pada 2021 ada 3,5 juta korban jiwa. Padahal, jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi.
Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo juga mendorong pencapaian target vaksinasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dalam pidatonya saat menghadiri Konferensi Tinggi Tinggi (KTT) Asia-Europe Meeting (ASEM) Ke-13 secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (26/11/2021), Presiden mengajak para pemimpin negara di Asia dan Eropa untuk bekerja sama menghadapi pandemi Covid-19 yang hingga saat ini masih belum usai.
”Ada 64,99 persen populasi negara kaya telah menerima setidaknya satu dosis vaksin, sementara di negara miskin baru 6,48 persen,” ujar Presiden, dikutip dari situs Sekretariat Kabinet.
Presiden Jokowi melanjutkan, target vaksinasi WHO masih sulit dicapai. Diperkirakan hampir 80 negara tidak mencapai target vaksinasi 40 persen populasi pada akhir tahun 2021. Bahkan, pada saat yang sama, lebih dari 100 juta dosis vaksin di negara G-7 tidak terpakai dan kedaluwarsa (Kompas.id, 28 November 2021).
Sementara itu, Ketua Umum Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Devi Anggraini mengutarakan, vaksinasi Covid-19 seharusnya juga perlu lebih berpihak kepada masyarakat adat, termasuk perempuan adat. Kondisi masyarakat adat yang jauh dari fasilitas kesehatan amat berbahaya jika ada yang tertular Covid-19. Sementara mobilitas masyarakat saat ini masih tinggi.
Devi menuturkan, sebelum vaksinasi diberikan, layanan untuk penapisan adanya komorbid yang bisa menimbulkan kontraindikasi terhadap vaksin sebaiknya dilakukan terlebih dulu. Sebagian besar masyarakat adat jarang melakukan pemeriksaan rutin (Kompas.id, 19 Juli 2021).