Silvikultur Insentif Dukung Pengendalian Perubahan Iklim
Teknik silvikultur intensif bermanfaat meningkatkan produktivitas hutan alam sekunder, membantu menyelamatkan hutan alam, dan memperbaiki lingkungan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan pengelolaan hutan lestari melalui silvikultur insentif dan teknik pemanenan rendah dampak sangat penting dalam mencapai target penurunan emisi dalam dokumen kontribusi nasional NDC sesuai Perjanjian Paris. Sebanyak 220 unit silvikultur insentif ditagetkan dapat dilaksanakan hingga tahun 2024.
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Justianto menyampaikan, teknik silvikultur insentif (silin) mengintegrasikan pemuliaan pohon, manipulasi lingkungan, dan pengelolaan organisme pengganggu tanaman. Teknik ini bermanfaat meningkatkan produktivitas hutan alam sekunder, membantu menyelamatkan hutan alam, dan memperbaiki lingkungan.
Dengan kata lain, implementasi silin pada dasarnya mampu memulihkan dan memperbaiki kondisi tutupan lahan. Pengelolaan hutan alam dengan teknik silin pada akhirnya dapat mendukung upaya pencapaian NDC, yakni melalui regenerasi hutan yang intensif dan peningkatan stok karbon.
KLHK juga menerapkan teknik pemanenan rendah dampak (reduce impact logging) untuk mendukung penurunan emisi di sektor pengelolaan hutan lestari.
”Dampak dari teknik silvikultur insentif ini adalah mampu menyerap karbon hingga 250 ton per hektar dalam waktu 25 tahun. Penyerapan ini dua kali lipat dari kemampuan sistem tebang pilih tanam Indonesia yang hanya 115 ton per hektar,” ujar Agus dalam webinar bertajuk ”Aksi Pemberdayaan Menuju Adaptasi Fase Baru”, Selasa (28/12/2021).
Dari aspek vegetasi, teknik silin tidak mengubah struktur vegetasi hutan alam. Sebaliknya, silin dapat meningkatkan nilai variabilitas genetik sebesar 12 persen dibandingkan regenerasi alami dan mengurangi laju erosi tanah hingga 76 persen serta aliran air permukaan tanah menjadi 62 persen.
Saat ini, KLHK telah merealisasikan sejumlah implementasi silin menyusul terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Realisasi yang telah dilakukan antara lain membentuk tim pakar, menyusun dan menetapkan peta jalan, penyusunan petunjuk teknis dan pendampingan, serta evaluasi penerapan silin pada perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH).
Menurut Agus, hingga akhir 2021, teknik silin telah ditetapkan di 95 unit PBPH dengan sebaran di antaranya di Kalimantan Tengah (28), Kalimantan Timur (17), Papua Barat (12), Kalimantan Utara (9), dan Papua (6). Pelaksanaan silin terus meningkat setiap tahun dari 65 unit pada 2019 seluas 7.293 hektar hingga ditargetkan mencapai 220 unit tahun 2024 dengan luas 1,3 juta hektar.
Selain silin, KLHK juga menerapkan teknik pemanenan rendah dampak (reduce impact logging/RIL) untuk mendukung penurunan emisi di sektor pengelolaan hutan lestari. RIL merupakan teknik dalam pemanenan hasil hutan kayu yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi.
RIL bertujuan mengurangi kerusakan pada tanah dan tegakan tinggal, meningkatkan efisiensi pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, serta meminimalkan dampak pemanenan hutan terhadap aspek ekologi dan sosial. Teknik RIL juga didukung dengan metodologi untuk mengukur dan memverifikasi pengurangan emisi gas rumah kaca bernama RIL-C.
”Tahapan pemanenan hasil hutan kayu yang dilaksanakan dengan menerapkan teknik RIL berpotensi menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 40 persen dibandingkan pemanenan konvensional. RIL juga mampu meningkatkan laju penerapan karbon dioksida dan penyimpanan karbon hutan,” katanya.
Pemberdayaan pemuda
Menurut Senior Advisor Yayasan Kehati Diah Suradiredja, fase baru dalam adaptasi perubahan iklim sangat bergantung pada aksi nyata pemberdayaan generasi muda. Sebab, beberapa puluh tahun ke depan generasi mudalah yang akan memegang peran kunci dalam mengatasi perubahan iklim dengan menjadi ilmuwan hingga pembuat kebijakan.
Mengingat pentingnya peran generasi muda, Yayasan Kehati kemudian menginisiasi gerakan pejuang keanekaragaman hayati (Biodiversity Warriors/BW). BW dibentuk dengan tujuan memopulerkan keanekaragaman hayati Indonesia dari segi keunikan, pelestarian, dan pemanfaatan secara berkelanjutan, baik melalui aksi di dunia nyata maupun maya.
”Target sasaran program yang dibentuk pada 2014 ini adalah pemuda berusia 17-25 tahun yang merupakan mahasiswa dan siswa SMA. Sampai September 2021, anggota BW yang terdaftar mencapai lebih dari 4.000 orang dari beberapa universitas. Jumlah ini masih sangat kurang karena kita masih memerlukan lebih dari 10 juta pemuda yang akan menjadi pemimpin hijau di daerah,” tuturnya.
Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmadja mengatakan, saat ini telah terjadi akselerasi perubahan iklim yang dampaknya sudah dirasakan langsung oleh masyarakat. Berbagai hasil konferensi internasional bahkan dipandang tidak cukup sebagai instrumen pengendalian perubahan iklim.
Sarwono menilai pengendalian perubahan iklim perlu melihat berbagai upaya adaptasi dan mitigasi yang telah dilakukan masyarakat di tingkat lokal dari berbagai sektor. Sebab, upaya pengendalian perubahan iklim di tingkat lokal diyakini lebih mampu memperkuat peran komunitas. Pemerintah kemudian berperan meningkatkan dan memperkuat upaya dari masyarakat lokal tersebut.