Periode emas mengosongkan zona rawan telah berlalu. Saat itu pemerintah gagal menahan korban untuk kembali ke kawasan bekas tsunami. Kini yang bisa dilakukan membangun kesadaran bencana.
Oleh
ZULKARNAINI MASRY
·4 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Peringatan 17 tahun gempa dan tsunami Aceh digelar dengan sederhana. Warga menggelar doa bersama, ziarah ke kuburan massal, dan refleksi bersama untuk memperkuat mitigasi.
Peringatan 17 tahun gempa dan tsunami digelar Minggu (26/12/2021) di Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh, Provinsi Aceh. Pelabuhan Ulee Lheue salah satu titik yang hancur saat tsunami.
Sejak pagi, warga memenuhi kuburan massal di Ulee Lheue dan Blang Bintang. Mereka larut dalam bait-bait doa. Bunga-bunga ditabur di atas kuburan massal.
Bukan hanya warga Banda Aceh. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga hadir pada peringatan 17 tahun tsunami. Ridwan Kamil adalah perancang Museum Tsunami Aceh.
Gubernur Aceh Nova Iriansyah menuturkan, setiap tahun musibah gempa dan tsunami Aceh diperingati selain untuk mendoakan korban, juga menjadi momentum memperkuat mitigasi.
”Kita harus sadari, tanah kita berada di jalur cincin api, dihadapkan pada patahan yang terus bergerak, kapan saja bisa (terjadi) bencana,” kata Nova.
Nova mengatakan, bencana tsunami 2004 tidak boleh dilupakan. Banyaknya korban waktu itu karena nyaris tidak ada pengetahuan tentang tsunami. Seusai gempa warga Aceh tidak menjauh dari laut. Akibatnya, 169.000 jiwa menjadi korban.
Kita harus sadari, tanah kita berada di jalur cincin api, dihadapkan pada patahan yang terus bergerak, kapan saja bisa (terjadi) bencana. (Nova Iriansyah)
Gempa berkekuatan M 9,3 disusul gelombang tsunami meluluhlantakkan pesisir Aceh. Banda Aceh menjadi daerah paling parah dihantam tsunami.
Nova mengatakan, Aceh bisa bangkit dari keterpurukan tsunami karena dukungan dari dunia internasional. Sedikitnya 53 negara hadir ke Aceh untuk membangun provinsi itu kembali.
”Makna dari peringatan tsunami adalah siaga bencana dan tangguh. Mitigasi harus kita perkuat,” kata Nova.
Pada Minggu pagi, Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) menyalakan sirene sebagai pengingat warga tentang tsunami. Aktivasi sirene juga bagian dari memelihara peralatan.
Kepala BPBA Ilyas menuturkan, sirene dinyalakan enam unit berlokasi di Aceh Besar dan Banda Aceh. ”Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran warga bahwa mereka tinggal di zona rawan tsunami,” kata Ilyas.
Pendidikan kebencanaan
Ilyas mengatakan, pendidikan kebencanaan tidak berhenti dilakukan. Simulasi di sekolah dan desa rutin dilakukan. Pemerintah juga mendorong pembentukan forum pengurangan risiko bencana di kabupaten dan kota.
Pada Desember 2019, Badan Nasional Penanggulangan Bencana meluncurkan program keluarga tangguh bencana. Program tersebut untuk menanamkan kesadaran kebencanaan sejak dari keluarga.
Beberapa desa di Aceh ditetapkan sebagai Destana (desa tangguh bencana), terutama desa yang pernah dilanda tsunami, salah satunya Gampong (Desa) Jawa. Warga desa itu membangun masjid dua tingkat dengan struktur tahan gempa. Selain sebagai tempat ibadah, juga untuk tempat evakuasi saat bencana tsunami.
Ilyas mengatakan, perubahan yang ingin dicapai dari kegiatan-kegiatan tersebut untuk membangun kesadaran warga terhadap bencana tsunami.
Di sisi lain, infrastruktur mitigasi bencana telah dibangun. Saat ini Banda Aceh dan Aceh Besar memiliki enam gedung penyelamatan. Gedung-gedung itu dibangun menggunakan dana sumbangan masyarakat dunia.
Namun, pada zona bahaya tsunami, di sepanjang pantai Banda Aceh dan Aceh Besar, permukiman penduduk mulai padat kembali. Akan tetapi, pengetahuan warga terhadap kebencanaan tsunami semakin baik.
Refasesa (23), warga Kajhu, Aceh Besar, menuturkan, dia mendapatkan pengetahuan tentang gempa dan tsunami dari buku, internet, dan cerita warga.
Desa Kajhu berada di tepi laut. Saat tsunami 2004, desa itu lenyap. ”Paling tidak sekarang jika gempa harus siap-siap menjauh dari pantai,” kata Refasesa.
Menurut Refasesa, mitigasi adalah menyiapkan diri untuk evakuasi secara mandiri dari bencana. Dia telah memiliki rencana jalan mana yang harus ditempuh jika ada peringatan terkait tsunami.
Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias pernah mengeluarkan cetak biru pembangunan setelah tsunami. Salah satu poin penting adalah melarang pendirian bangunan pada jarak 500 meter dari pantai. Kala itu hal ini diprotes korban karena mereka tidak mau meninggalkan tanah kelahirannya. Alhasil, permukiman di zona rawan tetap dibangun.
Sebelumnya, Syamsidik, peneliti Pusat Studi Tsunami dan Mitigasi Bencana Universitas Syiah Kuala (USK), Banda Aceh, mengatakan, periode emas mengosongkan zona rawan telah berlalu. Saat itu pemerintah gagal menahan korban untuk kembali ke kawasan bekas tsunami.
Pada 2014, Syamsidik meneliti faktor migrasi penduduk ke zona bekas tsunami. Beberapa faktor dominan adalah harga sewa lahan/rumah murah, dekat dengan tempat kerja, memiliki tanah warisan, dan selamat dari tsunami 2004. Artinya, faktor ekonomi dan sosial jadi alasan warga nekat tinggal di zona rawan tsunami.
Dalam penelitian itu disebutkan, di kecamatan yang dulu diterjang tsunami, seperti Syiah Kuala, Kutaraja, Jayabaru, dan Meuraxa, terjadi peningkatan jumlah penduduk dari 2005 ke 2014. Setiap tahun terjadi pertumbuhan penduduk.
Syamsidik mengatakan, saat ini yang bisa dilakukan pemerintah adalah membangun mitigasi yang memadai, baik pendidikan kebencanaan maupun infrastruktur.
”Pendidikan kebencanaan dilakukan meski terputus-putus, tetapi infrastruktur mitigasi masih minim,” ujarnya.