Ancaman Bencana Meningkat, Tahun 2022 Lebih Kering
Setelah mengalami La Nina pada tahun 2020 dan berlanjut pada 2021, Indonesia pada tahun 2022 diprediksi akan lebih kering meski belum pada kategori ekstrem.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah dua tahun berturut-turut terjadi La Nina sehingga musim lebih basah, Indonesia harus bersiap menghadapi tahun lebih kering pada 2022. Selain antisipasi risiko ancaman kebakaran hutan dan lahan, bencana geologis juga bisa lebih mematikan karena tren meningkatnya populasi dan kegiatan ekonomi di zona rentan.
Tren kejadian bencana di Indonesia pada 2021 dan risiko ke depan ini disampaikan oleh para ahli kebencanaan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia dalam diskusi daring, Senin (27/12/2021). Menjadi pembicara profesor riset gempa bumi BRIN, Danny Hilman Natawidjaja, serta profesor riset penerbangan dan antariksa BRIN, Muhammad Rokhis Khomarudin, dengan pembahas profesor riset bidang meteorologi dan klimatologi BRIN, Edvin Aldrian.
Muhammad Rokhis mengatakan, data sejak 2015 menunjukkan peningkatan frekuensi bencana di Indonesia dengan dominasi bencana hidrometerologis seperti banjir, kebakaran lahan, tanah longsor, dan puting beliung. Namun, korban dan dampak paling banyak umumnya disebabkan bencana geologis.
Rokhis mengatakan, meningkatnya frekuensi bencana hidrometerologis basah ataupun kering merupakan kombinasi dari meningkatnya cuaca ekstrem dan perubahan lingkungan. Misalnya, banjir besar yang melanda Kalimantan Selatan pada awal 2021 dipicu oleh curah hujan tinggi, selain perubahan tutupan lahan.
Harap persiapkan air, termasuk sektor pertanian agar bersiap dengan pola tanam kering.
Siklon Seroja pada April 2021 merupakan cerminan dari anomali iklim. Biasanya siklon yang terbentuk di garis lintang 11 derajat tidak besar, tetapi siklon yang melanda Nusa Tenggara Timur saat itu berdampak dahsyat, baik karena dampak angin maupun hujan lebat.
Sementara itu banjir di Batu, Malang, awal November 2021, terutama disebabkan perubahan lahan yang masif. Dalam kurun waktu 1995-2021, terjadi penurunan tutupan hutan seluas 2.085 hektar dan sawah menurun 2.295 ha. Sedangkan permukiman bertambah 420 ha dan perkebunan bertambah 3.939 ha.
”Ini menyebabkan daya dukung lingkungan berkurang sehingga menyebabkan risiko banjir meningkat,” katanya.
Fenomena kebakaran hutan dan lahan, menurut Rokhis, juga sangat terkait dengan cuaca, selain persoalan tata kelola. Kebakaran lahan umumnya meluas bersamaan dengan terjadinya El Nino atau tahun kering, sebagaimana terjadi pada 2014-2015, dan cenderung berkurang saat La Nina yang cenderung lebih basah, seperti terjadi pada 2020-2021.
Edvin mengatakan, kondisi cuaca dan iklim di Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor regional El Nino atau La Nina, pemanasan global, dan siklus matahari yang biasanya berulang sekitar 11,2 tahun. ”Laporan IPCC (Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim) pada Agustus 2021 menyebutkan, setiap kenaikan suhu Bumi 1 derajat celsius akan meningkatkan kejadian ekstrem 7 persen. Bagian Bumi yang kering akan semakin kering, demikian sebaliknya yang basah semakin basah,” katanya.
Untuk kondisi cuaca di Indonesia ke depan, menurut Edvin, akan sangat dipengaruhi perubahan suhu muka laut di Samudra Pasifik yang jadi komponen utama pembentukan ENSO, baik El Nino maupun La Nina. Setelah mengalami La Nina pada 2020 dan berlanjut pada 2021, pada tahun 2022 diprediksi akan lebih kering meski belum pada kategori ekstrem.
”Belum pernah ada catatan La Nina terjadi tiga tahun berturut-turut. Menurut proyeksi IPCC, sangat dimungkinkan El Nino akan kembali meski moderat. Jadi, harap persiapkan air, termasuk sektor pertanian agar bersiap dengan pola tanam kering,” kata Edvin.
Risiko meningkat
Danny Hilman mengatakan, sebagai negara yang berada di jalur Cincin Api Pasifik, Indonesia akan selalu menghadapi risiko gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung api. ”Selama lima tahun terakhir, rata-rata setiap tahun terjadi lima gempa berkekuatan di atas M 6,5. Kecuali tahun ini kurang dari M 5,” ujarnya.
Pada 2017 terdapat 2.303 gempa berkekuatan di atas M 4, 19 gempa di atas M 6, dan 8 gempa di atas M 6,5. Pada 2018 terdapat 3.020 gempa berkekuatan di atas M 4, 19 gempa berkekuatan di atas M 6, dan 8 gempa berkekuatan di atas M 6,5. Sedangkan pada 2019 terjadi 3.337 gempa berkekuatan di atas M 4, 30 gempa berkekuatan di atas M 6, dan 12 gempa berkekuatan di atas M 6,5.
Untuk tahun 2020 terjadi 2.642 gempa bumi berkekuatan di atas M 4, 30 gempa di atas M 6, dan 6 gempa di atas M 6,5. Sedangkan pada 2021 terjadi 2.840 gempa berkekuatan M 4, 18 gempa berkekuatan di atas M 6, dan 4 gempa berkekuatan di atas M 6,5.
”Sebagian besar gempa di Indonesia terjadi di Indonesia bagian timur, sesuai dengan kecepatan relatif lempeng di kawasan ini yang hampir dua kali dibandingkan dengan barat,” kata Danny.
Saat ini, dampak gempa bumi di Indonesia bagian timur relatif lebih kecil. Namun, sejalan dengan perkembangan populasi dan pembangunan ekonomi yang meningkat di kawasan ini, risiko ke depan akan semakin tinggi. Apalagi, kawasan Indonesia timur juga banyak pulau kecil sehingga kerentanan terhadap tsunami juga tinggi.
Sulawesi termasuk salah satu kawasan yang memiliki sesar paling kompleks. Satelah Sesar Palu Koro, yang memicu gempa bumi dan tsunami di Teluk Palu pada 2018, Denny mengingatkan ancaman bahaya dari Sesar Matano. ”Sesar Matano ini sangat aktif dan melintasi daerah industri. Jangankan mitigasi, banyak masyarakat di sana yang tidak tahu risiko di daerahnya. Pemetaan detail ini sangat penting, termasuk untuk perencanaan pembangunan infrastruktur,” katanya.
Selain risiko di Indonesia timur, Danny juga mengingatkan ancaman gempa bumi di zona padat penduduk, termasuk yang saat ini tengah dikaji adalah sesar di sepanjang pantai utara Jawa dan Sesar Baribis yang melintasi Jakarta. ”Jejak yang kami temukan di Subang secara visual menunjukkan Sesar Baribis itu ada dan sangat aktif,” katanya.
Terkait ancaman geologis ini, menurut Denny, kapan terjadinya gempa sampai sekarang belum bisa diprediksi. ”Belum ada teknologi yang bisa prediksi gempa dalam waktu dekat. Kalau ada informasi beredar akan terjadi gempa dalam skala waktu tertentu itu hoaks,” ujarnya.
Meski demikian, lokasi gempa dan potensi kekuatan hingga risiko kerusakannya bisa diprediksi. ”Kita bisa mitigasi dampak guncangan gempa dengan menghindari membangun di jalur sesar. Selain itu, antisipasi bahaya ikutan berupa longsor, likuefaksi, dan tsunami. Sedangkan untuk mengurangi dampak guncangannya harus ikuti standar bangunan nasional terbaru,” katanya.