Perempuan Disabilitas Belum Berdaya secara Ekonomi
Perempuan dengan disabilitas memiliki hak yang sama untuk mengakses layanan publik dan penghidupan yang layak. Untuk mewujudkan hal itu, butuh dukungan dari sejumlah pihak terkait.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perempuan disabilitas menghadapi banyak tantangan untuk bekerja di sektor formal ataupun informal. Hal ini membuat perempuan dengan disabilitas makin rentan. Dukungan pun perlu diberikan, khususnya peningkatan kapasitas dan perluasan kesempatan kerja.
Survei yang dilakukan oleh UN Women menunjukkan ada ketimpangan jender pada akses pekerjaan antara perempuan dan laki-laki dengan disabilitas. Saat ini, hanya ada 19 persen perempuan dengan disabilitas yang bisa mendapat pekerjaan, sementara laki-laki mencapai 52 persen.
Program Officer International Labour Organization (ILO) Tendy Gunawan di Jakarta, Rabu (22/12/2021) mengatakan, kesenjangan masih terjadi antara perempuan dan laki-laki di dunia kerja. Kesenjangan ini semakin besar dialami pada perempuan dengan disabilitas.
”Kesenjangan ini sebenarnya sudah dipengaruhi mulai dari akses pendidikan. Perempuan dengan disabilitas masih termarjinalkan terhadap akses pendidikan. Ini kemudian berlanjut sampai ke akses pekerjaan,” ujarnya.
Terkait dengan hal itu, Jaringan DPO Respon Covid Inklusif melaksanakan survei mengenai dampak pandemi Covid-19 terhadap penyandang disabilitas. Mayoritas responden yang merupakan orang dengan disabilitas adalah lulusan sekolah menengah atas (SMA). Sementara 19 persen responden tidak sekolah dan 16 persen lulusan SD sederajat. Responden dengan pendidikan tinggi hanya sebesar 15 persen.
Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia Yeni Rosa Damayanti menambahkan, hambatan lain yang dialami oleh perempuan disabilitas saat melamar pekerjaan ialah perusahaan tidak menerima penyandang disabilitas, kuota minim, jenis pekerjaan terbatas, serta harus menyertakan surat keterangan sehat jasmani dan rohani. Syarat tersebut memberatkan bagi penyandang disabilitas, terutama penyandang disabilitas mental.
Tidak hanya itu. Hambatan lain juga ditemukan ketika perempuan dengan disabilitas sudah bekerja. Transportasi bagi penyandang disabilitas belum ramah untuk sampai ke tempat kerja. Terkadang, gedung atau lokasi tempat kerja tidak menyediakan akses yang mudah dilewati penyandang disabilitas.
”Diskriminasi pun terjadi pada orang dengan disabilitas, terutama perempuan dengan disabilitas untuk mendapat kenaikan posisi atau jabatan,” ucap Yeni.
Akses pendidikan
Tendy mengungkapkan, peningkatan akses pada pendidikan dan kesempatan untuk pelatihan bagi perempuan dengan disabilitas dibutuhkan. Itu menjadi penting agar perempuan disabilitas memiliki kemampuan sama sehingga kesempatan mendapatkan jabatan serta upah lebih baik bisa terbuka.
Kesenjangan ini sudah dipengaruhi mulai dari akses pendidikan. Perempuan dengan disabilitas masih termarjinalkan terhadap akses pendidikan. Ini kemudian berlanjut sampai ke akses pekerjaan.
Kesempatan melalui pelatihan digital pun bisa dimanfaatkan. Ini dinilai lebih efektif dan efisien untuk bisa dilakukan oleh perempuan dengan disabilitas. ”Kebijakan dan regulasi harus tetap berbasis pada pendekatan hak asasi manusia. Itu termasuk hak bagi orang dengan disabilitas,” ujar Tendy.
Direktur Kerja Sama HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Hajerati menyampaikan, pemerintah menyiapkan strategi nasional bisnis dan HAM. Dalam strategi ini, kelompok perempuan disabilitas menjadi salah satu sasaran strategis.
Namun, diakui, adanya kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan menjadi tantangan bagi perempuan dengan disabilitas. Kajian, harmonisasi, serta sinkronisasi pun akan dilakukan terhadap kebijakan dan peraturan yang diskriminatif pada perempuan, di tingkat pusat maupun daerah.
Tantangan lain yang juga disorot ialah rendahnya akses perempuan dalam situasi khusus terhadap layanan publik dan penghidupan layak, seperti kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Terkait dengan situasi itu, pemerintah berencana memberikan bantuan usaha dan membangun kemitraan bisnis bagi perempuan, terutama perempuan kepala keluarga di bidang usaha mikro kecil dan menengah atau UMKM.
”Strategi nasional bisnis dan HAM saat ini masih dalam tahap penajaman aksi. Diharapkan strategi ini bisa segera diterbitkan agar bisa diimplementasikan dengan baik di masyarakat,” kata Hajerati.
Harapannya, jumlah perusahaan yang menyediakan sistem dukungan kerja bagi penyandang disabilitas dan data jumlah penyandang disabilitas yang bekerja di sektor swasta bisa lebih baik. Tercatat 72 persen penyandang disabilitas bekerja secara informal.