Peluang Riset Energi Bersih Dua Negara Mitra Strategis
Indonesia dan Korea Selatan memiliki persoalan yang sama, yakni emisi karbon yang tinggi dari sektor energi. Keduanya bisa berkolaborasi dalam riset pengembangan energi bersih.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·6 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Warga pulang dari menggembala sapi di dekat deretan kincir angin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo I di Jeneponto, Sulawesi Selatan, Minggu (23/6/2019). Terdapat 20 turbin angin di PLTB Tolo dengan kapasitas masing-masing 3,6 MW. Setiap menara mencapai tinggi 138 meter dengan panjang bilah 64 meter. Ini berbeda dari PLTB Sidrap yang menaranya setinggi 80 meter dengan panjang bilah 56 meter. PLTB berkapasitas 72 megawatt ini merupakan satu dari dua PLTB di Sulawesi Selatan.
Selama ini, sektor energi menyumbang emisi karbon yang signifikan di berbagai negara, termasuk Indonesia dan Korea Selatan. Keduanya menghadapi masalah soal emisi karbon dan memiliki komitmen yang sama terhadap pengurangan emisi.
Data Pemerintah Korea Selatan memperlihatkan tren emisi gas rumah kaca (GRK) yang terus meningkat hingga 2018. Emisi GRK dari sektor energi sebesar 632 metrik ton ekuivalen karbon dioksida (MtCO2eq) atau 87 persen total emisi GRK tahun 2018.
Angka ini menempatkan Korea Selatan di peringkat ke-7 dunia dan ke-4 di negara-negara Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) setelah Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman sebagai negara dengan emisi sektor energi terbesar. Itu sebabnya, menurunkan emisi karbon di sektor energi, termasuk industri manufaktur, akan jadi penentu ambisi karbon netral 2050.
Meski demikian, pemerintahan Presiden Moon Jae-in telah menegaskan komitmennya untuk membawa Korea Selatan sebagai negara Karbon Netral 2050. Negara Asia Timur ini juga bertekad menaikkan Komitmen Kontribusi Nasional atau NDC-nya dengan menurunkan level gas rumah kaca minimal 40 persen pada 2030 dibandingkan dengan puncak emisi tahun 2018. Ini merupakan komitmen yang butuh pembuktian di lapangan.
Indonesia memiliki situasi yang hampir serupa. Karena itu, sektor pembangkit listrik dan transportasi menjadi kunci penting keberhasilan reduksi emisi GRK bidang energi di Indonesia. Tanpa melakukan pembenahan signifikan di kedua sektor tersebut, niscaya target net zero emission pada 2060 relatif sulit tercapai.
Berdasarkan data Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2020, ada sekitar 10 kategori bidang energi yang berkontribusi menyumbang emisi.
Dari 10 kategori ini, dua di antaranya adalah penyumbang emisi terbesar, terdiri dari bidang pembangkitan panas dan kelistrikan hampir 44 persen dan transportasi sekitar 26 persen dari total emisi 595 MtCO2eq.
Untuk itu, langkah dekarbonisasi di sektor energi yang menopang industri dan bakal berdampak signifikan adalah menggali dan meningkatkan pemanfaatan energi baru terbarukan. Salah satu yang potensial digali dan dikembangkan adalah memanfaatkan potensi energi dari laut.
Kompas
Sejumlah panel sel surya dan kincir angin penghasil listrik dipasang di atap rumah Guru Besar Sosiologi UGM Heru Nugroho di kawasan perumahan Dayu Permai, Desa Sinduharjo, Ngaglik, Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (16/3).
Ruang kerja sama
Menurut Hansan Park, Co-Director Marine Technology Cooperation Research Center (MTCRC), laut Indonesia memiliki potensi energi yang besar. Beberapa lokasi di Jawa, Sulawesi, dan Papua menyimpan potensi energi yang bersumber dari gelombang dan pasang surut air laut.
”Indonesia memiliki potensi energi dari laut yang lebih besar dari Korea Selatan. Perlu studi yang intensif untuk menggali ini dan harga listrik yang dihasilkan dari energi laut juga harus sesuai,” kata Park dalam sebuah diskusi media yang diadakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation beberapa waktu lalu.
Indonesia memiliki potensi besar untuk menghasilkan energi dari gelombang pasang surut.
MTCRC adalah pusat riset bersama antara Pemerintah Indonesia dan Korea Selatan di bidang ilmu dan teknologi kelautan dan berkedudukan di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) di Cirebon, Jawa Barat. Lembaga yang dibentuk tahun 2018 ini bertujuan memperkuat dan mempromosikan kerja sama di bidang ilmu dan teknologi kelautan kedua negara seperti riset bersama dan program pengembangan kapasitas.
Riset energi laut, termasuk energi pasang surut; ombak, dan arus merupakan salah satu bidang riset MTCRC. Hal ini dilakukan melalui survei dasar potensi energi lautan dan mengkaji bakal lokasi pengembangan energi kelautan dengan menganalisis kemungkinan pengembangannya.
Dalam majalah Sains Indonesia edisi Desember 2019, Menteri Kelautan dan Perikanan Korea Selatan Kim Young Choon mengatakan, salah satu prioritas kerja sama adalah pengembangan energi terbarukan melalui pengembangan pembangkit listrik pasang surut. Menurut Kim, Indonesia memiliki potensi besar untuk menghasilkan energi dari gelombang pasang surut.
Di tahun 2019, proyek pengembangan energi terbarukan diawali dengan survei dasar kelimpahan energi laut, studi lokasi pengembangan energi laut melalui investigasi dan analisis kemungkinan pengembangan energi laut di Indonesia. Adapun tahun 2020 dilakukan survei di bidang pengembangan energi laut di Korea Selatan.
Selain riset pengembangan energi, Korea Selatan juga siap berinvestasi dalam pengembangan pelabuhan, pariwisata, bioteknologi kelautan, bio energi, serta industri perikanan.
”Kami sangat serius dalam masalah lingkungan, keberlanjutan di darat dan laut, dan kami juga ingin mencapai keberlanjutan dalam Tujuan Pembangunan (SDGs). Kami juga ingin Korea dapat membantu dalam menangani masalah sampah laut,” kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Energi biru
Dalam webinar ”Cegah Krisis Iklim dengan Energi Bersih” pada September lalu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyampaikan, berdasarkan kajian IESR, wilayah Maluku dan Maluku Utara memiliki potensi energi baru terbarukan yang besar, yakni 738 gigawatt. Potensi ini berasal dari energi surya, air, angin, dan biomassa. Namun, potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal.
Jika dirinci, potensi teknis energi surya di Maluku dan Maluku Utara 721 gigawatt (GW), energi air 1,5 GW, dan biomassa 75 megawatt. Sementara potensi energi angin dapat mencapai 15,5 GW di ketinggian 50 meter dan 15,9 GW di ketinggian 100 meter.
”Kami menghitung potensi energi terbarukan di Maluku dan Maluku Utara sebesar 738 gigawatt. Artinya, terdapat potensi besar yang dapat dikembangkan untuk menjadikan wilayah Maluku sebagai renewable super power atau mandiri secara energi,” ujar Fabby (Kompas.id 29/09/2021).
Kajian IESR juga menunjukkan bahwa secara teknis dan ekonomis, Indonesia dapat mencapai dekarbonisasi di sektor kelistrikan sebelum 2050 dengan upaya ekstra, yakni mengoptimalkan potensi sumber daya energi terbarukan untuk mengganti energi fosil. Upaya ini memang butuh investasi besar, tetapi pada akhirnya Indonesia akan mendapatkan harga energi yang jauh lebih kompetitif.
Laporan terbaru dari Badan Energi Internasional (IEA) menyebutkan, untuk mencapai netral karbon pada tahun 2050 secara global perlu transformasi pada cara pembangkitan, transportasi, dan pemanfaatan energi. Salah satu upaya yang direkomendasikan IEA adalah setiap negara perlu meninggalkan pembangkit listrik tenaga batubara dan beralih ke energi baru terbarukan (EBT).
Pada 24 Desember 2020, kantor berita Yonhap menulis bahwa Korea Selatan akan menutup pembangkit listrik batubara dan reaktor nuklir untuk mempercepat transisi energi di tahun 2034. Bahkan, Kementerian Perdagangan, Industri, dan Energi Korea Selatan akan meningkatkan produksi EBT dari 20,1 GW menjadi 77,8 GW tahun 2034 dengan memperbesar investasi di pembangkit tenaga surya dan angin serta produksi hidrogen.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Chrisnawan Anditya mengatakan, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi di sektor energi. Komitmen ini ditunjukkan dengan sejumlah upaya mulai dari peningkatan pemanfaatan EBT, pengurangan energi fosil, peralihan kendaraan listrik, hingga penangkapan dan penyimpanan karbon.
Dalam 5 tahun terakhir, misalnya, kapasitas pembangkit listrik EBT meningkat rata-rata 4 persen per tahun atau total 1.478 megawatt. Sementara pada Januari-Juni 2021, tambahan kapasitas pembangkit listrik EBT sebesar 172 megawatt.
Meski demikian, Chrisnawan mengakui bahwa transisi energi di Indonesia menemui sejumlah tantangan, seperti ketergantungan energi fosil, khususnya batubara, yang masih tinggi. Di sisi lain, pemanfaatan EBT sebagai sumber energi ramah lingkungan masih rendah dan belum optimal. Padahal, Kementerian ESDM mencatat potensi EBT Indonesia mencapai 648 GW.
”Saat ini, Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan sedang melihat opsi untuk dapat mempercepat early retirement (penghentian dini) PLTU batubara. Kami sudah mengidentifikasi dan terdapat 12 sampai 19 PLTU yang bisa dihentikan, tetapi ini butuh dukungan internasional khususnya isu terkait aset,” katanya.
Awal transisi energi yang ramah lingkungan telah dimulai dengan, salah satunya riset bersama dengan Korea Selatan. Tindak lanjut berikutnya sangat bergantung pada kemauan politik pengambil kebijakan di kedua negara.