Unit Rehabilitasi Penting untuk Selamatkan Satwa Laut yang Terdampar dan Sakit
Selain relawan, unit rehabilitasi juga sangat penting untuk menangani satwa laut yang terdampar atau sakit. Unit rehabilitasi satwa laut ini ke depan akan terus ditingkatkan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
Kompas/Bahana Patria Gupta
Proses penguburan paus pilot yang mati terdampar di Pantai Modung, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, Sabtu (20/2/2021). Penguburan dilakukan setelah bangkai paus menjalani pemeriksaan dan perobekan tubuh untuk mengeluarkan gas.
JAKARTA, KOMPAS — Banyaknya kasus satwa laut terdampar atau terkena jaring hingga terluka menjadi sebuah ancaman yang cukup besar bagi spesies ataupun ekosistem laut secara keseluruhan. Selain sumber daya manusia yang bersifat relawan, kehadiran unit rehabilitasi juga sangat penting untuk menangani satwa laut yang terdampar atau sakit sehingga dapat meningkatkan daya tahan kehidupan satwa ketika terluka.
Kepala Program Kelautan dan Perikanan WWF Indonesia Imam Musthofa mengemukakan, data WWF Indonesia dan lembaga konservasi lainnya menunjukkan, selama rentang satu tahun, terdapat ratusan kasus satwa laut terdampar di berbagai daerah. Angka kejadian satwa laut terdampar ini bahkan diperkirakan lebih banyak mengingat Indonesia memiliki sekitar 17.000 pulau.
”Upaya yang bisa dilakukan untuk menangani satwa laut terdampar di banyak pulau ini hanya sukarelawan. Memang terdapat petugas dari pemerintah atau universitas, tetapi lokasi mereka tidak tersebar. Oleh karena itu, peran sukarelawan sangat penting untuk hadir dalam kondisi ini,” ujarnya dalam diskusi secara daring, Selasa (21/12/2021).
Memang terdapat petugas dari pemerintah atau universitas, tetapi lokasi mereka tidak tersebar. Oleh karena itu, peran sukarelawan sangat penting untuk hadir dalam kondisi ini.
Selain relawan, kata Imam, unit rehabilitasi juga sangat penting untuk menangani satwa laut yang terdampar atau sakit. Kehadiran fasilitas inilah yang tengah dikembangkan oleh berbagai pihak, di antaranya WWF Indonesia, yayasan IAM Flying Fet, Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Imam mengatakan, saat ini WWF Indonesia juga memiliki sejumlah program dalam konteks konservasi kelautan. Program tersebut berkaitan dengan penyelamatan ekosistem, mempertahankan spesies dilindungi atau terancam punah, serta mengembangkan mata pencarian masyarakat lokal.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Warga, bersama petugas lintas instansi berupaya mengevakuasi seekor hiu paus (”Rhincodon Typus”) yang terdampar di salah satu muara Sungai Wanggu, Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (2/1/2021).
Dokter hewan sekaligus relawan IAM Flying Fet, I Wayan Yustisia Semarariana, menjelaskan, unit rehabilitasi satwa laut atau Sealife Rehabilitation Unit dikembangkan karena adanya sejumlah kendala dalam penanganan satwa laut terdampar. Saat itu, aspek medis belum menjadi fokus dalam upaya penyelamatan satwa laut. Bahkan, fasilitas hingga obat-obatan untuk menyelamatkan satwa juga sangat minim.
”Jadi, penanganan di Sealife Rehabilitation Unit fokus pada satwa yang mengalami trauma atau membutuhkan perawatan pascatrauma dan tidak membawa penyakit infeksius. Contoh satwa yang sudah pernah ditangani adalah bayi dugong, bayi lumba-lumba, dan penyu. Satwa yang bisa dibawa ke Sealife Rehabilitation Unit juga mempertimbangkan ukuran,” tuturnya.
Yustisia mengakui bahwa peran relawan juga sangat penting dalam upaya menyelamatkan satwa laut terdampar. Anggota IAM Flying Fet yang hanya berjumlah 60 relawan juga kerap kesulitan menjangkau penyelamatan satwa laut yang terdampar di berbagai daerah.
”Sejauh ini dari 2018 sampai 2021 akhir, kami sudah menangani 385 satwa laut terdampar dengan jenis paling banyak adalah penyu, lumba-lumba, dugong, berbagai spesies paus, dan ikan. Sekitar 120 satwa kami temukan sudah dalam keadaan mati. Adapun sampai sekarang, 30 persen satwa masih dalam proses penanganan,” katanya.
Meski sudah dalam keadaan mati, kata Yustisia, peran dokter hewan tetap dibutuhkan untuk mengkaji penyebab kematian satwa laut terdampar tersebut. Sementara proses penanganan satwa laut terdampar yang ditemukan dalam keadaan hidup, sekitar 93 persen bisa diselamatkan atau memiliki daya tahan kehidupan yang lebih panjang.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Tim dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga melakukan nekropsi atau bedah tubuh untuk mengambil sampel bangkai paus jenis sperma (”sperm whale”) di Desa Bungko, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Selasa (13/4/2021).
Kerja sama dengan universitas
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP Andi Rusandi mengatakan, setiap daerah memiliki perguruan tinggi yang mempunyai fakultas kedokteran hewan. Hal ini tengah coba dikembangkan KKP untuk menjalin kerja sama dengan fakultas kedokteran hewan tersebut guna terus meningkatkan relawan penyelamat satwa laut terdampar.
”Kami mendapat laporan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional bahwa sekarang terdapat 308 spesies yang terancama punah di Indonesia, salah satunya kelompok mamalia. Ketika ada jenis mega fauna yang sakit atau perlu penyelamatan diharapkan bisa ditangani di unit rehabilitasi ini,” ucapnya.
Andi menambahkan, ke depan akan didorong pengembangan unit rehabilitasi di tempat lain terutama di lokasi yang sering terdapat kasus satwa laut terdampar. Namun, ia menyadari pengembangan masih menemui sejumlah tantangan khususnya terkait dengan fasilitas. Oleh karena itu, kerja sama dengan berbagai pihak akan tetap terus ditingkatkan.