Batu Uji Komitmen Iklim Korea Selatan dan Peluang Kolaborasi
Korea Selatan memiliki komitmen besar dalam mitigasi perubahan iklim yang masih harus direalisasikan dalam berbagai kebijakan. Dalam konteks itu, terbuka peluang kolaborasi dengan Indonesia.
Korea Selatan meneguhkan komitmennya pada perubahan iklim setelah parlemen negara ini mengesahkan undang-undang yang mengamanatkan pemangkasan 35 persen emisi gas rumah kaca pada 2030, 1 September 2021. Regulasi ini menjadi pembuka jalan menuju ambisi sebagai negara karbon netral 2050.
Dalam implementasi kebijakan untuk mencapai itu, terbuka peluang kolaborasi dengan negara lain di sejumlah bidang. Kolaborasi tersebut bisa dilakukan dengan Indonesia yang kini sebagai mitra strategis Korea Selatan di kawasan.
Menurut kantor berita Yonhap, Rabu (1/9/2021), pengesahan itu menjadikan Korea Selatan sebagai negara ke-14 yang menyusun visi nasional bebas karbonnya pada 2050 melalui undang-undang. Untuk mencapai ambisinya itu, pemerintahan Presiden Moon Jae-in telah mengalokasikan 12 triliun won Korea atau sekitar 10,3 miliar dollar AS untuk menurunkan emisi gas rumah kaca pada tahun 2022.
”Bersama komunitas internasional, kita akan merespons aktif perubahan iklim dan menargetkan karbon netral 2050,” tegas Moon Jae-in di hadapan parlemen, seperti dikutip Reuters, 28 Oktober 2020.
Sebelum Korea Selatan, ada lebih dari 20 negara yang berkomitmen terhadap karbon netral 2050, termasuk China (pengemisi nomor 1 dunia) dan Jepang (pengemisi nomor 5 dunia) yang menetapkan target karbon netral masing-masing tahun 2060 dan 2050.
Dalam pidatonya di hadapan Majelis Nasional, 28 Oktober 2020, Presiden Moon mengumumkan strategi karbon netral Korea Selatan sebagai rencana transformasi komprehensif menuju perekonomian hijau dan berkelanjutan.
Bersama komunitas internasional, kita akan merespons aktif perubahan iklim dan menargetkan karbon netral 2050.
Dalam rapat kabinet beberapa hari kemudian ia kembali menegaskan tanggung jawab Korea Selatan dalam mencegah skenario terburuk krisis iklim. Korea Selatan berjanji ”akan merespons aktif persoalan ini sebagai bagian komunitas internasional” dan ”respons terhadap kepentingan iklim adalah kewajiban, bukan pilihan”.
Sebelumnya, seperti diberitakan Reuters, 28 Oktober 2020, melalui ”Green New Deal”-nya, Presiden Moon juga berjanji untuk menciptakan lapangan kerja dan memulihkan ekonomi akibat pandemi Covid-19 dengan mengganti batubara dengan sumber energi terbarukan. Untuk mendukung langkah ini, anggaran sebesar 7,1 miliar dollar AS disiapkan.
Pada Konferensi Perubahan Iklim COP 26 di Glasgow, Skotlandia, Korea Selatan berkomitmen untuk menaikkan Komitmen Kontribusi Nasional (NDC)-nya dengan menurunkan level gas rumah kaca (GRK) minimal 40 persen pada 2030 dibandingkan puncak emisi tahun 2018. Korea Selatan juga secara resmi mengumumkan keputusannya untuk turut serta dalam gerakan Global Methane Pledge untuk mengurangi emisi metana 30 persen tahun 2030.
Karbon Netral Korea 2050, Green New Deal, hingga janji di COP 26 tidak hanya menjadi komitmen kuat Korea Selatan, tetapi sekaligus batu uji pemerintahan Presiden Moon dalam transisi ekonomi pascapandemi Covid-19. ”Ini bukan tugas yang mudah, tetapi warga Korea Selatan telah memutuskan kini saatnya untuk bertindak,” kata Moon, seperti dikutip Bloomberg, 2 November 2021.
Dalam New Green Deal, Presiden Moon berencana menata ulang gedung-gedung publik, menciptakan hutan kota, memantapkan fondasi penggunaan energi baru dan terbarukan, serta menciptakan kompleks industri rendah karbon untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Di atas kertas, target-target yang ditetapkan Korea Selatan terbilang agresif. Akan tetapi, apakah implementasi kebijakan di lapangan akan seagresif target tersebut?
Tantangan
Pemerintah Korea Selatan perlu kerja keras untuk merealisasikan komitmennya dalam perubahan iklim. Apalagi pesatnya ekonomi negara Asia Timur ini meninggalkan jejak karbon yang besar, terutama dari industri dengan penggunaan energi berbahan bakar fosil. Dalam pencapaiannya, dilema antara mengejar target yang agresif dan memulihkan ekonomi pascapandemi bisa saja muncul.
Data Pemerintah Korea Selatan memperlihatkan tren emisi GRK yang terus meningkat hingga 2018. Emisi gas rumah kaca dari sektor energi sebesar 632 metrik ton ekuivalen karbon dioksida (MtCO2eq) atau 87 persen total emisi GRK tahun 2018.
Angka ini menempatkan Korea Selatan di peringkat ke-7 dunia dan ke-4 di negara-negara Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) setelah Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman sebagai negara dengan emisi sektor energi terbesar. Itu sebabnya, menurunkan emisi karbon di sektor energi, termasuk industri manufaktur, akan jadi penentu ambisi karbon netral 2050.
Baca juga : Realisasi Pengurangan Karbon dari Sektor Energi Dinantikan
Dalam diskusi yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation beberapa waktu lalu, Suh-Yong Chung dari Center for Global Climate and Marine Governance Korea University menilai, pencapaian Korea Selatan dalam pengurangan emisi gas rumah kaca belum memuaskan. Emisi GRK dari tahun 1990 hingga 2017 terus naik.
Meski begitu, kebijakan perubahan iklim yang dibuat oleh beberapa presiden tetap konsisten. Sebelum Presiden Moon hadir dengan berbagai komitmen iklimnya, Presiden Lee Byung-bak pada tahun 2008 telah menggagas Low Carbon Green Growth Policy. Kemudian Presiden Park Geun-hye tahun 2013 menyodorkan konsep ekonomi kreatif yang memadukan sains dan teknologi dengan industri.
Dalam NDC terbaru, ujar Chung, Korea Selatan menargetkan penurunan 24,2 persen emisi GRK atau 173,1 juta MtCO2eq dari emisi GRK nasional tahun 2017 yang sebesar 709,1 juta MtCO2eq pada tahun 2030. Selain itu, Korea juga menargetkan penurunan 38,7 juta MtCO2eq emisi GRK melalui penggunaan lahan, alih fungsi lahan, dan kehutanan (LULUCF).
Penurunan emisi GRK dari aspek LULUCF akan menghadapi dilema antara pertumbuhan ekonomi dan konservasi. Problem ini dihadapi oleh Korea juga Indonesia. Ketegangan antara kepentingan pembangunan dan deforestasi ini sempat disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya melalui utas di akun Twitter-nya selama mengikuti COP 26 Glasgow.
Baca juga : Penuh Harap dan Keraguan, Deklarasi Hutan di COP 26 Glasgow
Menurut Chung, karena mayoritas emisi GRK berasal dari sektor energi, elemen kunci untuk mencapai target penurunan emisi GRK Korea adalah memperluas penggunaan energi bersih dan hidrogen di semua sektor. Kemudian meningkatkan efisiensi energi secara signifikan, mengembangkan teknologi penghapus karbon (carbon removal), meningkatkan ekonomi sirkular untuk menjamin keberlanjutan ekonomi, dan meningkatkan penyerapan karbon (carbon sinks).
Keberhasilan karbon netral 2050 bergantung pada apakah dekarbonisasi sektor energi dapat berjalan sesuai jadwal.
Kepada the Guardian, 28 Oktober 2020, Direktur Pelaksana Solutions for Our Climate, sebuah NGO berbasis di Seoul, Joojin Kim mengatakan, banyak yang harus dilakukan untuk mewujudkan ambisi Korea. Pekerjaan yang paling mendesak adalah mengejar target penurunan GRK 2030, membuat peta jalan penghentian penggunaan batubara tahun 2030, dan menghentikan pembiayaan pembangunan pembangkit listrik batubara.
Kolaborasi
Menurut Chung, Korea Selatan memiliki keunggulan teknologi rendah karbon yang bisa diterapkan sekaligus dibagikan dengan negara-negara lain di dunia, termasuk Indonesia, untuk menurunkan emisi GRK.
Salah satu kanal yang bisa dipakai Korea dan Indonesia untuk berkolaborasi dalam teknologi ramah lingkungan adalah perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif (IK-CEPA). Peluang ini kian kuat karena Korea Selatan telah menjadikan Indonesia sebagai mitra strategis dalam New Southern Policy.
Baca juga : RI-Korea Selatan Perluas Kerja Sama
Melalui New Green Deal, Korea Selatan menargetkan kendaraan listrik sebanyak 1,13 juta dan 200.000 mobil hidrogen pada 2025. Jumlah ini naik dari 91.000 dan 5.000 pada akhir 2019. Pemerintah Korea Selatan juga berencana membangun lebih banyak stasiun pengisian ulang listrik untuk kendaraan listrik.
Hal tersebut membuka potensi kerja sama dengan Indonesia. Industri otomotif domestik yang mulai bergairah setelah pembebasan PPnBM dan pajak emisi bagi sebagian tipe mobil kini bisa bekerja sama dalam pengembangan mobil listrik nasional bersama Korea. Selain itu, terbuka juga kerja sama teknologi rendah karbon dan penghentian pendanaan pembangkit listrik batubara.
Di tengah sektor ekonomi yang saling terhubung, kolaborasi antarnegara dalam mengatasi dampak perubahan iklim menjadi keniscayaan. Siti Nurbaya mengatakan, apabila mendapatkan dukungan internasional, NDC Indonesia dapat mencapai 41 persen atau setara dengan 1,1 gigaton emisi karbon dengan sorotan terbesar pada sektor kehutanan dan energi.
”Indonesia membutuhkan kerja sama dan teknologi dari luar negeri. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita hanya mampu (membiayai) 34 persen kebutuhan untuk mencapai 29 persen,” ujarnya (Kompas, 4/11/2021).
Tujuan dan kepentingan bersama dalam aksi iklim ada, skema kolaborasi juga sudah ada. Kini, tinggal bagaimana Korea Selatan dan Indonesia menindaklanjutinya dengan kerja sama untuk membuktikan komitmen iklimnya masing-masing.