Kiprah Insinyur Indonesia dari Merancang Kemerdekaan hingga Visi Negara Industri
Bangsa Indonesia memiliki setidaknya tiga insinyur yang memiliki peran penting terhadap negara, yakni Soekarno, Juanda Kartawijaya, dan BJ Habibie. Ketiganya diakui meningkatkan peradaban bangsa.
Sebanyak 701 insinyur yang datang dari seluruh penjuru Nusantara, pada Jumat (17/12/2021), hadir di Kongres XXII Persatuan Insinyur Indonesia atau PII yang digelar di Bali Nusa Dua Convention Center, Nusa Dua, Bali. Delegasi dari 30 perwakilan wilayah, 223 perwakilan cabang, dan 28 perwakilan badan kejuruan tersebut merupakan delegasi terbesar yang pernah dikirimkan PII dalam sejarah organisasi tersebut.
Pada kongres ini, PII sebagai organisasi profesi dan penyelenggara keinsinyuran di Indonesia dengan penuh rasa hormat menganugerahkan penghargaan tertinggi PII, Outstanding Lifetime Achievement Award, pengabdian luar biasa sepanjang hayat, kepada tiga insan unggulan dari kalangan insinyur Indonesia. Ketiga insinyur tersebut adalah Ir Soekarno, Ir Juanda Kartawijaya, dan Prof Dr Ing Bacharuddin Jusuf Habibie.
Pada Kongres XXII PII tersebut, Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin menyerahkan penghargaan tertinggi PII kepada Ir Soekarno yang diwakili Gubernur Bali Wayan Koster, Prof Dr Ing BJ Habibie diwakili Ilham Akbar Habibie, dan Ir Juanda Kartawijaya diwakili Nurwati Juanda.
Tiga tokoh insinyur yang dimiliki Indonesia tersebut diakui berkontribusi luar biasa besar dalam upaya melakukan lompatan peradaban di Tanah Air. ”Para insinyur ini adalah insan unggulan yang kemudian dipilih menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan sehingga dalam posisinya memungkinkan untuk meningkatkan peradaban bangsa kita ini,” kata Ketua Umum PII periode 2018-2021 Heru Dewanto.
Baca juga : Membangun Peradaban di Jalan Bebas Hambatan dari Soekarno, Soeharto, ke Joko Widodo
Heru menyampaikan kronik bahwa pada revolusi kemerdekaan ada seorang insinyur yang sangat brilian, yakni Ir Soekarno, seorang arsitek yang bukan hanya ahli dalam merancang bangunan. Lebih dari itu, dia adalah arsitek kemerdekaan bangsa Indonesia hingga menjadi proklamator kemerdekaan Indonesia sekaligus Presiden pertama Republik Indonesia. Kepemimpinan Ir Soekarno juga mewariskan karya-karya keinsinyuran yang luar biasa ikonik, seperti Masjid Istiqlal, Monumen Nasional, dan Gedung DPR/MPR.
Diterbitkan pertama kali di tahun 1966, otobiografi berjudul Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, mencatat pula mengenai keputusan Presiden Soekarno membangun gedung-gedung bertingkat, jembatan berbentuk daun semanggi, dan sebuah jalan raya superhighway, yakni Jakarta Bypass.
”Seluruh negeriku membeku ketika mendengar Asian Games 1962 akan diselenggarakan di ibukotanya. Kami lalu mendirikan stadion dengan atap melingkar yang tak ada duanya di dunia. Kota-kota di mancanegara memiliki stadion yang lebih besar, tapi tak ada yang memiliki atap melingkar,” kata Bung Karno saat itu.
Kebanggaan nasional
Menurut Bung Karno, memberantas kelaparan memang penting, tetapi memberi jiwa mereka yang tertindas dengan sesuatu yang dapat membangkitkan kebanggaan juga penting. Indonesia harus menguasai kesadaran diri dan rasa rendah diri. Indonesia membutuhkan rasa percaya diri.
Memberantas kelaparan memang penting, tetapi memberi jiwa mereka yang tertindas dengan sesuatu yang dapat membangkitkan kebanggaan juga penting.
”Itulah yang harus kuberikan kepada rakyatku sebelum aku meninggalkan mereka. Saat ini Sukarnolah yang menjadi faktor pemersatu di Indonesia. Setelah kepergianku, satu-satunya perekat yang mempersatukan seluruh kepulauan adalah Kebanggaan Nasional mereka,” kata Bung Karno seperti ditulis Cindy Adams di otobiografi tersebut.
Bangsa Indonesia juga pernah memiliki seorang insinyur bersahaja, Ir Juanda Kartawijaya, yang menjadi Perdana Menteri Indonesia pada tahun 1957-1959. Dia adalah pencetus Deklarasi Juanda yang menyatakan kepada dunia bahwa wilayah laut yang berada dalam wilayah kepulauan Indonesia menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berkat keuletan diplomasi Indonesia, akhirnya, hal ini ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB ketiga tahun 1982.
Baca juga : Memandang Kedaulatan Maritim Indonesia
Arsip pemberitaan Kompas pada Selasa 9 Februari 1982 mencatat pernyataan Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja saat itu yang menyatakan bahwa perjuangan Indonesia untuk mendapatkan pengakuan internasional mengenai haknya atas wilayah perairan ”di dalam maupun di luar” bukan tanpa dasar falsafah. Sebelum Deklarasi Juanda 1957, wilayah perairan Indonesia seolah tersobek-sobek karena adanya wilayah perairan internasional di antara kepulauan Indonesia.
Adanya wilayah ”bolong” di perairan antarkepulauan membawa konsekuensi terhadap wilayah dirgantara di atasnya yang juga ”bolong”. Keganjilan hukum internasional tersebut secara politis taupun strategi militer sangat melemahkan konsep Negara Kesatuan RI karena tidak ada keutuhan wilayah.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia dengan Deklarasi Juanda Desember 1957 secara sepihak menegaskan bahwa wilayah perairan di dalam kepulauan Indonesia adalah bagian yang tak terpisahkan dari wilayah daratannya. Inilah yang menjadi dasar konsep wawasan Nusantara.
”Tanah air” yang digunakan para bapak pendiri republik dalam penyusunan UUD ’45 ataupun pada Sumpah Pemuda merupakan ilham yang mengubah secara radikal pemikiran wawasan Nusantara, meskipun kala itu mungkin tidak disadari. ”Dengan istilah tanah air, dimaksudkan wilayah Indonesia meliputi daratan dan perairan yang merupakan satu kesatuan yang utuh,” kata Menteri Luar Negeri Mochtar kala itu.
”Tanah air” yang digunakan para bapak pendiri republik dalam penyusunan UUD ’45 ataupun pada Sumpah Pemuda merupakan ilham yang mengubah secara radikal pemikiran wawasan nusantara, meskipun kala itu mungkin tidak disadari.
Menlu Mochtar pun memberikan ilustrasi menarik, imajinatif, dan substantif bahwa dengan wawasan Nusantara tersebut, laut bukan lagi pemisah, melainkan pemersatu. ”Bayangkan kalau antara Jawa dan Kalimantan tidak ada laut, melainkan terbentang daratan dengan hutan rimba. Akan dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membangun jalan raya dari Jawa ke Kalimantan supaya seorang di Kalimantan bisa bertemu dengan rekannya di Jawa. Tapi, dengan adanya laut antara kedua pulau ini, maka kita tinggal tunggu angin saja untuk berperahu menyeberangi laut,” ujar Mochtar.
Visi negara industri
Pada era pembangunan, bangsa Indonesia juga dikaruniai seorang insinyur teknik mesin jenius, yaitu Dr Ing Baharuddin Jusuf Habibie, yang kemudian menjadi Presiden ketiga Republik Indonesia. Dalam dua dekade, BJ Habibie memperkenalkan visi Indonesia menjadi negara industri, yang mampu menyatukan pulau-pulaunya melalui jembatan udara, dengan membangun industri pesawat terbang.
Baca juga : Berkelana dari ”Jembatan Emas” Era Bung Karno ke Jembatan Youtefa di Masa Jokowi
Kiprah BJ Habibie dalam mengembangkan ”jembatan di udara” ditandai dengan pengembangan dan terbang perdana prototipe (purwarupa) pesawat N-250 Gatotkoco pada Kamis, 10 Agustus 1995, di Bandara Husein Sastranegara, Bandung. Pesawat tersebut merupakan hasil karya generasi penerus yang dipersembahkan untuk ulang tahun emas ke-50 Republik Indonesia.
”Generasi penerus yang ada di IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) telah mencurahkan pikiran dan tenaga. Mereka dengan tekun bekerja keras, hampir tak mengenal waktu istirahat, untuk melahirkan pesawat N-250. Mereka patut dibanggakan,” kata BJ Habibie pada bukunya yang berjudul Habibie & Ainun (PT THC Mandiri, 2010).
Digambarkan di buku tersebut ketegangan yang mencair saat roda-roda pesawat N-250 mulai terangkat, terus naik meninggalkan bandara menembus angkasa Bandung yang cerah membiru. Bangga, haru, lega, bahagia, campur menjadi satu. Presiden Soeharto kala itu terlihat beberapa kali menyapu air mata di wajahnya dengan sapu tangan putih. Ibu Tien Soeharto spontan memeluk dan menjabat tangan BJ Habibie.
Baca juga : Pemajangan Pesawat N-250 Karya Habibie Kobarkan Semangat Kedirgantaraan
Pesawat N-250 terbang anggun menjelajah angkasa Jawa Barat dan Laut Jawa dengan kecepatan tinggi (high speed fly pass). Setelah terbang sekitar satu jam, pesawat kembali ke Bandara Husein Sastranegara dan mendarat mulus pada pukul 11.10 WIB. Tepuk tangan dan puji syukur pun dipanjatkan begitu roda pesawat menyentuh landasan pacu.
Kembali ke Kongres XII PII, Wapres Amin saat memberikan sambutan pembukaan menuturkan bahwa hampir 70 tahun sejak didirikan, PII telah memiliki puluhan ribu anggota, belasan ribu insinyur profesional, dan tak terhitung karya-karya pembangunan yang telah dinikmati oleh masyarakat dan bangsa. Ke depan, PII diharapkan menjadi wadah komunikasi dan sinergi para insinyur Indonesia yang lebih efektif dan menghasilkan karya-karya lebih besar lagi.
Menurut Wapres Amin, diperlukan pula inisiasi kolaborasi berbagai pemangku kepentingan, terutama untuk memperkuat ekosistem riset dan inovasi. Insinyur profesional memainkan peran penting dalam menciptakan inovasi dan rekayasa teknologi yang akan mempercepat pembangunan. Hal lain yang ditekankan adalah mengembangkan kompetensi anggota PII dan memaksimalkan potensi insinyur profesional untuk berkontribusi di berbagai bidang.
”Sejarah mencatat, dari tujuh presiden yang pernah memimpin Indonesia, tiga di antaranya adalah insinyur, yaitu Presiden Soekarno, Presiden Habibie, dan Presiden kita sekarang, Bapak Joko Widodo. Saya berharap akan muncul lebih banyak lagi sosok-sosok insinyur sebagai pemimpin nasional sehingga memberikan kontribusi lebih besar bagi bangsa dan negara ini,” ujar Wapres Amin.
Sejarah mencatat, dari tujuh presiden yang pernah memimpin Indonesia, tiga di antaranya adalah insinyur, yaitu Presiden Soekarno, Presiden Habibie, dan Presiden kita sekarang, Bapak Joko Widodo. Saya berharap akan muncul lebih banyak lagi sosok-sosok insinyur sebagai pemimpin nasional sehingga memberikan kontribusi lebih besar bagi bangsa dan negara ini.
Indonesia telah menyaksikan kiprah putra-putri bangsa dari kalangan insinyur yang membaktikan dirinya bagi negeri ini. Saat ini dan ke depan, Ibu Pertiwi terus memanggil putra-putrinya, di bidang keinsinyuran dan berbagai bidang lain, untuk memberikan sumbangsih di sepanjang perjalanan sejarah Indonesia. Saatnya memenuhi panggilan tersebut demi persatuan, kemajuan, dan kesejahteraan Indonesia.