Arky Gilang Wahab Menjawab Darurat Sampah di Banyumas
Arky Gilang Wahab (35) mencoba menjawab persoalan darurat sampah di Banyumas dengan budidaya ”maggot”.
Tidak beroperasinya tempat pembuangan akhir dan minimnya perhatian publik membuat Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, mengalami darurat sampah pada 2018. Arky Gilang Wahab (35) mencoba menjawab persoalan itu dengan maggot.
Kondisi dunia di masa depan harus lebih hijau dengan berbagai sektor bisnis berkelanjutan. Setidaknya hal itu yang menjadi pikiran Arky, seorang pemuda asal Desa Banjaranyar, Kecamatan Sokaraja, Banyumas, saat memutuskan terjun ke dunia bisnis pengelolaan sampah dengan membudidayakan maggot atau larva pengurai sampah organik pada 2018.
Meski memiliki niat memulai bisnis yang berkelanjutan, awalnya Arky tidak langsung memutuskan terjun ke sektor pengelolaan sampah. Ia melakukan berbagai riset dan melihat peluang dari semua sektor, salah satunya pertanian. Sektor persampahan akhirnya dipilih setelah mempertimbangkan masukan dari rekan-rekan kuliahnya dulu dan melihat kondisi lingkungan tempat tinggalnya yang tengah dalam kondisi darurat sampah.
Tiga tahun lalu, Banyumas dalam kondisi darurat sampah karena banyaknya sampah yang hanyut terbawa hujan besar dengan intensitas tinggi sepanjang 2018 akhir hingga 2019 awal. Kondisi ini semakin memburuk karena Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kaliori tidak beroperasi menyusul demonstrasi besar-besaran warga yang menolak TPA tersebut yang dianggap mencemari lingkungan.
”Akhirnya bupati Banyumas terpilih pada Pemilihan Kepala Daerah 2018 fokus pada permasalahan sampah. Kondisi inilah yang membuat saya melihat terdapat peluang dalam menjalankan bisnis persampahan,” ujar lulusan Teknik Geodesi dan Geomatika ITB ini ketika dihubungi dari Jakarta, awal Desember lalu.
Arky kemudian mulai mengolah sampah rumah tangga skala kecil dengan dibantu oleh badan usaha milik desa (BUMDes). Setelah berjalan beberapa bulan, Arky mencatat bahwa 50-70 persen sampah yang diolah merupakan sampah organik. Ia pun mencoba membuat kompos dari sampah organik, tetapi tidak bisa secara masif karena terkendala waktu pengerjaan yang lama, yakni hingga satu bulan.
Dorongan untuk segera mengolah sampah secara masif membuat Arky terus melakukan riset dan mencari informasi dari pakar ataupun rekan-rekannya. Melalui riset dan pencarian informasi yang dihimpun, Arky melihat budidaya maggot atau lalat tentara hitam (BSF) untuk mengolah sampah menjadi pupuk organik jauh lebih efisien dari sisi waktu ataupun biaya dibandingkan dengan cara komposting.
Pada 2019, budidaya maggot mulai berjalan tanpa kendala yang signifikan hingga akhirnya Arky mencoba untuk mengembangkan ke tingkat industri. Selama ini, budidaya maggot memang sudah banyak dilakukan, tetapi baru sebatas skala rumah tangga. Namun, Arky baru mengetahui metode atau cara yang lebih efisien, praktis, dan ekonomis untuk mengembangkan budidaya maggot ke skala industri yang lebih besar pada akhir 2020.
”Pengembangan ini akhirnya mendapat dukungan juga dari pemerintah daerah pada 2021 melalui Dinas Lingkungan Hidup Banyumas yang mengirimkan sampah organik,” ucap Arky yang juga menjadi Ketua Duta Petani Milenial Banyumas 2021-2023.
Kelebihan kapasitas
Bisnis pengolahan sampah yang dikerjakan Arky ternyata tidak selamanya berjalan mulus. Lokasi yang digunakan untuk pengolahan sampah sempat mengalami kelebihan kapasitas sebesar 2 ton dan diprotes warga setempat. Hal ini terjadi karena sampah tersebut sempat tidak diolah selama dua hari pada masa libur Lebaran hingga mengeluarkan bau tidak sedap. Pengiriman sampah dari dinas lingkungan hidup pun dihentikan sementara.
Arky terus mencari cara untuk menyelesaikan masalah tersebut karena sangat disayangkan jika akhirnya semua proses pengolahan sampah harus dihentikan. Sebab, permasalahan lingkungan di Banyumas sudah mulai teratasi mengingat budidaya maggot bisa mengolah sampah sebanyak 3-4 ton per hari.
Setelah berkonsultasi dengan pemerintah daerah, Arky kemudian diarahkan untuk bekerja sama dengan kelompok swadaya masyarakat (KSM). Sebagian sampah dapat dilimpahkan ke lokasi KSM yang mayoritas jauh dari permukiman warga. Kerja sama ini disambut baik hingga akhirnya dibangun sejumlah tempat budidaya maggot sekaligus membuat tiga mesin pemilah sampah organik.
Bisnis pengolahan sampah dengan budidaya maggot yang dilakukan Arky dan KSM terus berkembang sampai saat ini. Apabila tidak ada kendala teknis, pengolahan sampah dapat mencapai 10-12 ton per hari atau 14-16 truk jungkit per hari. Anggota KSM yang bermitra dalam pengolahan sampah ini juga telah mencapai lebih dari 100 orang.
”Terkadang kami juga ada tambahan pekerja lain saat sampah sedang menumpuk, khususnya pada masa Lebaran atau Natal dan Tahun Baru. Tambahan pekerja bisa sampai 20 orang. Jadi, terkadang kami menggunakan tenaga harian lepas,” tutur Arky.
Upaya mengolah sampah yang awalnya hanya puluhan rumah di Desa Banjaranyar kini telah berkembang menjadi 5.800 rumah di tiga kecamatan, yakni Purwokerto, Sokaraja, dan Sumbang. Sampah yang diolah Arky juga berasal dari 80 pihak, yakni instansi pemerintah atau perkantoran, termasuk sektor swasta seperti pasar dan perhotelan.
Dampak finansial
Pengolahan sampah dengan budidaya maggot ini diakui telah memberikan dampak finansial secara langsung kepada lebih dari 200 orang, yakni karyawan dan anggota KSM. Penerima manfaat ini termasuk pengguna pupuk organik yang diproduksi Arky, seperti kelompok petani dan kelompok budidaya ikan. Sementara dampak finansial yang dirasakan Arky sendiri diakui belum terlalu dirasakan karena keuntungan yang diperoleh digunakan untuk berinvestasi, khususnya dalam meningkatkan dan memperbesar skala produksi.
”Kami memang menargetkan pada aspek lingkungan terlebih dahulu. Produksi sampah organik Banyumas terhitung hampir 600 ton per hari. Namun, yang sudah terkelola dengan baik oleh KSM sekitar 150 ton dan kami mengelola 10 sampai 12 ton atau hampir 10 persennya,” katanya.
Setelah pemerintah daerah, ke depan pengolahan sampah yang dilakukan Arky akan bekerja sama dengan pihak TNI. Kerja sama ini ditargetkan bisa mengolah sampah hingga 30 ton per hari dari seluruh wilayah Banyumas. Atas permintaan pemda lainnya, saat ini Arky juga tengah mendampingi pengembangan budidaya maggot di Purwakarta (Jawa Barat), Pekalongan dan Purbalingga (Jawa Tengah), hingga Bali.
Upaya dan perjuangan Arky melakukan budidaya maggot hingga turut berperan mengatasi darurat sampah Banyumas ini mendapat perhatian dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah luar daerah, media, hingga swasta. Kontribusi nyata Arky terhadap permasalahan lingkungan dan sosial bahkan membawanya meraih penghargaan Satu Indonesia Awards 2021 dari Astra.
”Manfaat yang diperoleh akan lebih besar ketika pengolahan sampah di daerah lain juga berkembang. Masalah keuntungan finansial saya rasa akan mengikuti, tetapi yang utama adalah mengejar manfaatnya terlebih dahulu agar semakin meluas,” ujarnya.
Arky Gilang Waab
Lahir: Banyumas, Jawa Tengah, 8 September 1986
Pendidikan:
- SDN 3 Banjaranyar, Banyumas
- SMPN 1 Sokaraja, Banyumas
- SMAN 1 Purwokerto, Banyumas
- Institut Teknologi Bandung
Organisasi:
- Ketua Duta Petani Milenial Banyumas 2021-2023
- Sekretaris AMPG Banyumas 2020-2025
- Wakil Ketua HPN Banyumas 2019-2025
- Ketua Departemen ESDM dan Kemaritiman Ikatan Saudagar Muslim Indonesia Provinsi Jawa Tengah 2020-2025
Penghargaan:
- Pemenang Satu Indonesia Award 2021
- Nominasi Penghargaan Abyudaya Teknologi
- Trace International