76.000 Hektar Area Konflik Tenurial Telah Ditangani
Sepanjang 2021, seluas 76.000 hektar area konflik tenurial telah diselesaikan. Namun, masyarakat yang berada di area jelajah satwa liar tetap harus mengalah atau meninggalkan area tersebut.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sepanjang 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menangani seluas 76.921 hektar areal konflik tenurial. Sementara hingga November 2021, kemitraan konservasi juga tercatat telah mencapai 176.000 hektar.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno mengemukakan, terdapat 1,8 juta hektar area terbuka di kawasan konservasi. Dari jumlah tersebut, area yang terindikasi memiliki konflik dengan masyarakat seluas 866.633 hektar.
”Penanganan konflik tenurial ini bisa dipercepat. Pembuatan pedoman untuk penyelesaian konflik memang bagus, tetapi akan lebih cepat dengan langsung bertemu masyarakat dan duduk bersama,” ujarnya dalam acara refleksi akhir tahun di Jakarta, Jumat (17/12/2021).
Meski area konflik tenurial terus ditangani, Wiratno menegaskan, KLHK tidak serta-merta mengizinkan atau memfasilitasi masyarakat di kawasan konservasi. Masyarakat yang berada di area tumpang tindih dengan wilayah jelajah satwa liar, terutama gajah dan harimau, harus mundur dan mengalah. Hal sama dilakukan untuk kawasan yang masuk kategori proteksi penuh.
Penanganan konflik tenurial ini bisa dipercepat. Pembuatan pedoman untuk penyelesaian konflik memang bagus, tetapi akan lebih cepat dengan langsung bertemu masyarakat dan duduk bersama.
Luas area konflik tenurial terus meningkat setiap tahun. Pada 2018-2019, area konflik yang telah diselesaikan seluas 77.646 hektar, sedangkan pada 2020 tercatat seluas 16.900 hektar. Area konflik lainnya masih dalam proses untuk diselesaikan melalui kegiatan penanganan konflik, seperti pemetaan, asesmen, penyusunan renaksi, dan pendekatan para pihak.
Pedoman penanganan konflik tenurial kawasan konservasi tertuang dalam Surat Edaran Dirjen KSDAE Nomor SE.2/KSDAE/KK/KSA.1/03/2021. Dalam surat edaran itu disebutkan, penanganan dan penyelesaian konflik tenurial tidak dilakukan berdasarkan gejala, tetapi harus dirumuskan pada informasi yang konkret dan komprehensif.
Penanganan dan penyelesaian konflik tersebut juga harus dihadapi dengan cara yang memanusiakan manusia. Hal ini bertujuan untuk mencegah konflik semakin meluas dan kompleks sekaligus mencari solusi konkret dengan pemikiran yang terbuka.
Selain menangani konflik tenurial, Ditjen KSDAE juga terus meningkatkan upaya kemitraan konservasi. Dengan adanya kemitraan, masyarakat bisa mendapatkan akses legal pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan. Pada akhirnya ragam ekonomi lokal akan meningkat sekaligus mengurangi tekanan terhadap kawasan konservasi.
Sejak 2018 hingga November 2021, kemitraan konservasi tercatat telah mencapai 176.000 hektar dan melibatkan 12.623 penduduk yang bertempat tinggal di lingkungan sekitar 69 kawasan konservasi. Area kemitraan kawasan konservasi terbanyak berada di Sulawesi (32 persen), Jawa-Bali-Nusa Tenggara (29 persen), Sumatera (19 persen), Kalimantan (11 persen), serta Maluku-Papua (9 persen).
Sementara pembinaan usaha ekonomi masyarakat di daerah penyangga kawasan konservasi telah mencakup 1.359 jenis usaha di 644 desa dan 965 kelompok serta melibatkan 26.157 orang. Jenis usaha yang dikembangkan antara lain pembibitan, jasa wisata, perikanan, peternakan, pertanian dan perkebunan, serta kerajinan dan suvenir.
”Kemitraan menjadi tren baru dalam mengelola kawasan konservasi di Indonesia. Kemitraan kawasan konservasi juga merupakan pilihan yang paling tepat dan rasional karena adanya keterbatasan anggaran, staf, hingga cara kerja,” ungkap Wiratno.
Pusat pengetahuan
Direktur Wildlife Conservation Society (WCS) Program Indonesia Noviar Andayani mengatakan, angka capaian penanganan area konflik tenurial maupun kemitraan konservasi menjadi sebuah konfirmasi yang nantinya diolah menjadi sebuah basis data. Dengan data tersebut, ke depan, setiap kegiatan konservasi tidak hanya menjadi efektif dan efisien, tetapi juga lebih adaptif terhadap dinamika sosial, politik, hingga ekonomi.
Menurut Noviar, taman nasional bukan hanya sekadar benteng terakhir upaya konservasi, melainkan juga harus menjadi wajah masa depan pembangunan di Indonesia. Oleh karena itu, upaya mengelola kawasan konservasi harus berubah. Seharusnya, kawasan taman nasional menjadi pusat pengetahuan untuk membangun suatu daerah.
”Kita belum secara sistematis dan sungguh-sungguh dalam mengeksplorasi peluang bioprospecting agar kawasan konservasi benar-benar menjadi wajah masa depan pembangunan di Indonesia. Sistem biologi ini dapat merancang sebuah obat, materi, hingga inovasi lainnya yang memungkinkan kita untuk melangkah jauh ke depan,” ucapnya.
Terkait upaya menjaga keberlangsungan satwa, Noviar memandang ke depan perlu ada perekaman dan pemetaan genom dari setiap individu yang dilepasliarkan ke habitat asalnya. Sebab, upaya pelepasliaran dinilai berhasil ketika satwa tersebut berkontribusi bagi pemulihan populasi di alam.