Pengukuhan kawasan hutan hingga akhir 2021 mencapai 90 juta hektar. Daerah dengan kawasan hutan yang masih perlu banyak ditetapkan adalah Kalimantan Tengah, Papua, dan Riau.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Kompas/Hendra A Setyawan
Kawasan hutan yang masih alami di kawasan Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua, Rabu (24/11/2021). Hutan di kawasan ini masih dijaga kealamiannya oleh masyarakat adat untuk melindungi satwa endemik Papua, seperti burung cenderawasih.
JAKARTA, KOMPAS – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyelenggarakan refleksi akhir tahun terkait pencapaian program-program kehutanan, Kamis (16/12/2021), di Jakarta. Salah satu program yang dilakukan sepanjang 2021 adalah pengukuhan kawasan hutan dengan total 90 juta hektar.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ruandha Agung Sugardiman mengemukakan, perkembangan penetapan kawasan hutan terus meningkat setiap tahun. Sepanjang 2021, KLHK telah menetapkan sekitar 2 juta hektar kawasan hutan. Dengan tambahan ini, akumulasi luas penetapan kawasan hutan sejak 2015 mencapai 90 juta hektar dengan total 2.157 surat keputusan.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, KLHK ditugaskan untuk menyelesaikan pengukuhan kawasan hutan seluas 125 juta hektar selama dua tahun sejak peraturan pemerintah tersebut diterbitkan. Dengan kata lain, pengukuhan kawasan hutan harus dapat diselesaikan pada tahun 2023.
”Kami masih mempunyai sisa 36 juta hektar kawasan hutan sepanjang 90.000 kilometer yang harus ditetapkan hingga tahun 2023. Daerah dengan kawasan hutan yang masih perlu banyak ditetapkan adalah Kalimantan Tengah, Papua, dan Riau,” ujarnya.
Kami masih mempunyai sisa 36 juta hektar kawasan hutan sepanjang 90.000 kilometer yang harus ditetapkan hingga tahun 2023.
Menurut Ruandha, KLHK memiliki sejumlah terobosan untuk mempercepat pengukuhan kawasan hutan yang akan dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta aturan turunannya.
Kompas
Pengembangan Pengukuhan Kawasan Hutan
Terobosan itu meliputi penyederhanaan kawasan hutan atau menghapus hutan produksi terbatas, memberikan nomor register oleh menteri untuk setiap kawasan hutan yang ditetapkan, dan memanfaatkan koordinat geografis atau penginderaan jauh. Selain itu, pengukuhan akan memprioritaskan daerah strategis dan menata setiap batas.
”Kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh menteri sebelum berlakunya peraturan pemerintah ini dinyatakan sebagai bagian dari kecukupan luas kawasan hutan. Sementara penyederhanaan penataan batas konservasi perairan, pulau kecil tidak berpenghuni, remote area, batas atau kondisi alam, maupun keamanan bisa dilakukan dengan virtual,” tuturnya.
Sementara terkait dengan progres penyediaan tanah obyek reforma agraria (TORA), hingga Desember 2021 luasan telah mencapai 2,7 juta hektar atau 66 persen dari target yang ditetapkan, yakni 5 juta hektar. Penyediaan TORA ini dialokasikan dari 20 persen pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan, pelepasan transmigrasi, dan surat keputusan perubahan batas. Seluruh data tersebut telah disampaikan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Bambang Supriyanto juga memaparkan pencapaian program perhutanan sosial. Hingga 13 Desember 2021, realisasi perhutanan sosial 4,8 juta hektar dengan 7.296 surat keputusan. Angka ini menunjukkan perhutanan sosial baru terealisasi sebesar 37 persen dari target seluas 12,7 juta hektar.
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Ketua Gabungan Kelompok Tani Mandiri Lestari, KPH Batu Tegi Kabupaten Tanggamus, Lampung, Eko P Juliana menanam pohon di lahan kritis di dalam kawasan Hutan Lindung Batu Tegi, Tanggamus, Rabu (19/2/2020).
Menurut Bambang, realisasi dan pagu anggaran untuk kegiatan perhutanan sosial pada 2020 dan 2021 menurun dari target awal karena ada pengalihan fokus untuk penanganan Covid-19. Namun, realisasi perhutanan sosial 2020 dan 2021 tetap melebihi target baru yang ditetapkan meski anggaran diturunkan.
”Realisasi dapat melebihi target karena adanya inovasi dan teknologi. Proses fasilitasi pengusulan akses kelola, monitoring, dan evaluasi dilakukan melalui kombinasi virtual serta aktual. Kombinasi ini bisa meningkatkan percepatan distribusi akses, efisiensi waktu, dan menekan biaya,” ucapnya.
Mengatasi konflik lahan
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo yang hadir sebagai penanggap dalam acara tersebut mengatakan, terdapat kemajuan yang signifikan terkait penetapan kawasan hutan. Ia mencatat, penetapan kawasan hutan pada pertengahan 2014 baru sebesar 17 persen dan sekarang telah mencapai 89 persen.
Hariadi menegaskan, dengan kemajuan ini, nantinya penetapan segala regulasi yang menyangkut aspek keadilan perhutanan juga harus dilihat dalam perspektif pengukuhan kawasan hutan. Namun, proses pengukuhan kawasan hutan perlu sekaligus menyelesaikan hak-hak pihak ketiga seperti realokasi untuk TORA.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Hutan milik masyarakat Laman Kinipan yang dikeruk perusahaan perkebunan sawit yang hingga kini menimbulkan konflik antara warga, pemerintah, dan perusahaan perkebunan.
”Dengan adanya pengukuhan kawasan hutan seluas 90 juta hektar ini, seharusnya konflik lahan juga berkurang. Sebab, konflik lahan ditengarai berpengaruh terhadap kepastian usaha, termasuk dapat mengurangi ruang hidup masyarakat,” ungkapnya.
Selain itu, Hariadi memandang pentingnya konsistensi implementasi dalam regulasi terkait penggunaan kawasan hutan. Oleh karena itu, segala ketentuan yang menyangkut penggunaan kawasan hutan harus berlandaskan angka dan sesuai dengan basis keilmuan. Hal ini diperlukan untuk memastikan daya dukung dan daya tampung lingkungan bisa diwujudkan berdasarkan ketentuan baru tersebut.