Hampir seluruh wilayah di Indonesia telah mengalami perubahan penggunaan lahan, khususnya pelepasan kawasan hutan. Hal ini dapat memicu banjir mengingat hutan memiliki fungsi infiltrasi dan pengatur tata air hidrologis.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan tata ruang mengakibatkan kemampuan infiltrasi atau aliran air ke dalam tanah menurun. Kondisi ini dinilai bisa memicu banjir. Untuk itu, infrastruktur fisik perlu diperkuat karena penanggulangan bencana hidrometeorologi tidak bisa hanya mengandalkan alam.
Direktur Eksekutif Walhi Nasional Zenzi Suhadi mengemukakan, kejadian banjir terus meningkat intensitas dan meluas wilayahnya. Data Walhi pada 2015 menunjukkan banjir lebih banyak terjadi di Jawa. Namun, saat ini mulai muncul kejadian banjir dengan karakteristik berbeda di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi.
Peningkatan dan perluasan wilayah banjir juga ditunjukkan data yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Tercatat, sejak awal Januari hingga 13 Desember 2021, telah terjadi total 2.853 bencana di Indonesia. Dari total bencana tersebut, banjir tercatat sebanyak 1.198 kejadian dengan sebaran wilayah dari Sumatera, Jawa, sebagian Kalimantan, hingga Sulawesi.
”Kami melihat penyebab banjir semakin meluas dan meningkat ini berkolerasi langsung dengan perubahan tata ruang di tingkat daerah. Dalam kurun 2011 hingga 2015, terdapat pelepasan kawasan hutan di 17 provinsi yang mencapai 9,8 juta hektar,” ujar Zenzi dalam diskusi daring tentang penanggulangan banjir, di Jakarta, Selasa (14/12/2021).
Penyebab banjir semakin meluas dan meningkat ini berkolerasi langsung dengan perubahan tata ruang di tingkat daerah.
Menurut Zenzi, hampir seluruh wilayah di Sumatera dan Kalimantan telah terjadi pelepasan kawasan hutan. Sementara di Jawa bukan terjadi pelepasan, melainkan penurunan fungsi kawasan hutan. Pelepasan kawasan hutan ini dapat memicu banjir mengingat hutan memiliki fungsi infiltrasi atau penyerap air ke dalam tanah dan pengatur tata air hidrologis.
Selama ini, Zenzi memandang terdapat fenomena yang masih minim dibicarakan para ahli ataupun pengambil kebijakan, yakni banjir yang terjadi di dataran rendah di pantai timur Sumatera dan Kalimantan. Sejumlah kampung di wilayah tersebut bahkan ditinggal oleh penduduknya karena setiap tahun terjadi banjir yang sangat tinggi.
Terendamnya kampung-kampung ini dinilai berkolerasi langsung dengan kejadian kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) karena adanya pengurasan air dari kawasan gambut. Pengurasan air tersebut bertujuan membuat lahan gambut menjadi kawasan terestrial untuk penanaman sawit atau akasia.
Berbasis ilmu pengetahuan
Zenzi menekankan, penyelesaian permasalahan banjir harus berlandaskan ilmu pengetahuan dan didukung para ahli yang selama ini dilibatkan dalam proses penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Sebab, peningkatan kejadian banjir ataupun bencana lain salah satunya disebabkan oleh kegagalan amdal. Di sisi lain, rekonstruksi pemulihan wilayah juga diperlukan untuk mengatasi banjir.
Kepala Lembaga Riset Kebencanaan Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (IA-ITB) Heri Andreas memandang bahwa penyelesaian masalah banjir di Indonesia belum banyak memakai data-data geospasial atau geohidrologi. Fokus data tersebut seharusnya lebih menjadi perhatian karena data tersebut dapat digunakan sebagai basis analisis dalam upaya adaptasi dan mitigasi.
Menurut Heri, secara spesifik tren banjir tidak bisa dilihat karena menyangkut banyak sekali parameter. Akan tetapi, hasil penelitian Lembaga Riset Kebencanaan IA-ITB menunjukkan secara umum tren banjir ke depan bisa dilihat membaik atau memburuk tergantung upaya penanganan yang dilakukan saat ini.
”Jika dilihat saat ini, ke depan infiltrasi akan berkurang dan run-off (aliran air hujan) semakin membesar. Sebab, terdapat alih fungsi lahan, terutama di Jawa, dengan tingkat aglomerasi yang sangat besar. Penurunan tanah ternyata juga berperan signifikan terhadap banjir di beberapa lokasi, tetapi parameter ini belum dimasukkan mitigasi dan adaptasi,” tuturnya.
Penguatan infrastruktur
Ketua Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia Andi Simarmata menuturkan, kondisi tata ruang saat ini sudah telanjur tidak memperhatikan aspek penanggulangan banjir. Hal ini ditunjukkan dari banyaknya alih fungsi lahan di area hulu, pinggiran sungai, dan kawasan perkotaan yang semakin padat.
”Untuk mengelola ketelanjuran ini, mau tidak mau kita perlu memakai infrastruktur fisik karena tidak mungkin menyerahkan semua solusinya kepada alam. Kami melakukan simulasi, memang curah hujan yang terjadi di atas normal. Namun, tidak serta-merta ini menjadi biang keladi. Risiko inilah yang harus dikelola dengan baik,” tuturnya.
Sejumlah upaya yang dapat ditempuh dalam mengatasi banjir menurut Andi adalah dengan melakukan penghijauan atau rehabilitasi hutan dan lahan apabila kondisi tanah masih mendukung. Namun, jika rehabilitasi sudah sulit dilakukan, cara terbaik adalah dengan membuat bendungan atau kolam kontrol sesuai dengan analisis atau strategi pengendalian.
Direktur Sungai dan Pantai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Bob Arthur Lambogia mengatakan, aspek yang perlu diperhatikan dalam mengatasi banjir adalah meningkatkan infiltrasi dan mengurangi run-off. Bob pun tidak menampik bahwa proses terjadinya masalah air turut dipengaruhi oleh aktivitas manusia dan kejadian alam.
Dalam mengatasi banjir, Kementerian PUPR melakukan strategi pencegahan dan pengendalian. Strategi pencegahan meliputi kegiatan konservasi, meningkatkan partisipasi masyarakat, sosialisasi regulasi, hingga kajian perizinan. Sementara strategi pengendalian yang dilakukan antara lain membangun dan meningkatkan kapasitas tampungan air, mengendalikan sedimentasi, menata drainase, serta mencegah air laut masuk ke darat dengan mendirikan tanggul atau sistem polder.