Pemilihan jenis vaksin untuk vaksin dosis penguat perlu diperhatikan agar tingkat efektivitas vaksin yang dicapai bisa optimal. Meski begitu, cakupan dosis lengkap untuk seluruh penduduk perlu lebih diutamakan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana memulai pemberian vaksin dosis ketiga sebagai vaksin penguat atau booster pada 2022. Dari berbagai penelitian, pemberian vaksin dengan jenis yang berbeda dari dosis pertama dan kedua memiliki tingkat efektivitas yang lebih tinggi. Meski begitu, pemberian dosis lengkap pada seluruh populasi masyarakat tetap perlu diutamakan.
Konsultan penyakit tropik dan infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), Robert Sinto mengatakan, berbagai penelitian yang dilakukan di luar negeri menunjukkan, efektivitas vaksin menurun seiring dengan waktu. Pada beberapa jenis vaksin, efektivitas vaksin menurun signifikan setelah enam bulan pemberian vaksinasi.
”Efektivitas vaksin tertinggi setelah bulan pertama dan kedua pascavaksinasi diberikan. Setelah itu efektivitas turun setelah enam bulan sehingga secara umum ini berkaitan dengan pemberian booster yang dilakukan enam bulan setelah vaksin diberikan,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (11/12/2021).
Pemberian vaksin dosis penguat dengan jenis vaksin yang sama tetap lebih efektif dibandingkan tidak diberikan dosis penguat.
Ia mengatakan, pemberian vaksin dosis penguat diperlukan untuk mengurangi risiko infeksi Covid-19 karena kekebalan tubuh yang mulai menurun. Oleh sebab itu, masyarakat diharapkan bisa memanfaatkan kesempatan apabila pemerintah telah membuka skema vaksinasi booster secara luas.
Robert menambahkan, sekalipun efektivitas vaksin menurun setelah enam bulan pemberian, vaksinasi masih efektif untuk mencegah risiko perburukan yang menyebabkan pasien harus dirawat inap. Vaksinasi Covid-19 masih bermanfaat mencegah gejala berat pada pasien. Vaksin pun tetap dinilai menjadi solusi untuk membantu mengendalikan Covid-19 di Indonesia dan dunia.
Vaksin jenis berbeda
Robert mengungkapkan, penelitian lebih lanjut di dalam negeri masih dilakukan untuk menentukan jenis vaksin yang akan diberikan untuk dosis penguat. Sejumlah penelitian yang telah dilakukan di berbagai negara lain juga bisa menjadi pertimbangan dalam penentuan tersebut.
Mengutip laporan awal ”Heterologous SARS-CoV-2 Booster Vaccinations” yang dipublikasi di PubMed pada Oktober 2021, pemberian vaksin Moderna sebagai booster setelah pemberian dua dosis dengan vaksin Pfizer mampu meningkatkan tingkat netralisasi sampai 17,3 kali lipat. Sementara jika diberikan dosis penguat dengan vaksin jenis sama, yakni Pfizer hanya mampu meningkatkan sampai 14,9 kali.
Hal ini juga terlihat pada pemberian dosis ketiga dengan vaksin Pfizer dengan dosis pertama dan kedua menggunakan Moderna. Pada pemberian dosis penguat dengan Pfizer mampu meningkatkan kemampuan netralitas sampai 9,7 kali lipat, sedangkan dengan vaksin Moderna sebesar 7,9 kali.
”Dari penelitian lain di luar negeri juga menunjukkan, pemberian booster dengan vaksin Pfizer setelah dosis pertama dan kedua diberikan Sinovac mampu meningkatkan efektivitas vaksinasi hingga 95 persen, sementara pada pemberian dua dosis hanya sekitar 54 persen. Namun, jika tiga dosis diberikan sama dengan Sinovac, efektivitas meningkat menjadi 74 persen,” tutur Robert.
Ia menambahkan, perlu adanya perhatian lebih pada pemberian dosis ketiga untuk jenis vaksin AstraZeneca. Vaksin AstraZeneca yang berasal dari adenovirus dikhawatirkan memiliki dampak buruk atau efek samping jika diberikan sebanyak tiga dosis. Meski begitu, penelitian lebih lanjut masih diperlukan.
Akan tetapi, ia menuturkan, masyarakat sebaiknya tetap menunggu keputusan dari pemerintah. Pemberian vaksin dosis penguat dengan jenis vaksin yang sama tetap lebih efektif dibandingkan tidak diberikan dosis penguat. Jenis vaksin yang nantinya diberikan untuk booster akan bergantung pula dengan ketersediaan dan hasil penelitian di dalam negeri.
Protokol kesehatan
Robert mengatakan, masyarakat perlu memahami bahwa upaya pencegahan tidak bisa hanya dilakukan melalui vaksinasi. Tingkat proteksi vaksin tidak bisa mencapai 100 persen karena dipengaruhi oleh berbagai hal.
Itu antara lain, tubuh masih memerlukan waktu untuk membentuk kekebalan, kemampuan tubuh untuk membentuk kekebalan juga berbeda pada setiap orang. Selain itu efikasi vaksin pada penelitian juga tidak sampai 100 persen terutama setelah adanya varian baru.
”Jadi, sebenarnya kekebalan itu tidak pernah mencapai 100 persen secara komunal. Vaksin tidak bisa membatalkan kita untuk tetap menjaga jarak. Protokol kesehatan perlu dijalankan secara bersamaan, tentu dengan upaya percepatan vaksinasi,” katanya.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Usman Kansong, dalam siaran pers, mengatakan, pemerintah terus meningkatkan capaian vaksinasi di daerah-daerah. Hal ini menjadi komitmen pemerintah untuk mengamankan ketersediaan vaksin di Indonesia.
Kondisi geografis dan besarnya jumlah penduduk menjadi tantangan tersendiri untuk mencapai terbangunnya herd immunity atau kekebalan kelompok. Kerja sama dan peran dari semua elemen diperlukan agar program vaksinasi bisa semakin cepat dan luas.
”Pemerintah tidak bosan mengajak seluruh masyarakat segera divaksinasi, tidak perlu pilih-pilih vaksin karena semua vaksin aman dan berkhasiat. Vaksinasi bukan sekadar untuk melindungi diri, melainkan juga untuk melindungi keluarga dan seluruh masyarakat,” ujar Usman.
Kementerian Kesehatan mencatat, total penduduk yang sudah mendapatkan vaksinasi dosis pertama sebanyak 146,2 juta orang atau 70 persen dari target sasaran 208,2 juta orang. Sementara itu, jumlah penduduk yang mendapatkan dosis lengkap atau dosis kedua sebanyak 102,7 juta atau 49,3 persen dari total sasaran. Dosis ketiga direncanakan akan diberikan pada 2022.