Omicron Tiga Kali Lebih Mungkin Menyebabkan Infeksi Ulang Dibandingkan Delta
Studi pendahuluan di Afrika Selatan membuktikan varian Omicron tiga kali lebih mungkin menyebabkan infeksi ulang individu yang pernah terkena Covid-19. Karena itu, kewaspadaan terhadap varian ini perlu ditingkatkan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia perlu meningkatkan surveilans, termasuk pemeriksaan genomik, karena fokus pada pintu masuk tidak akan cukup menangkal peredaran varian baru Omicron. Varian ini telah dideteksi di Singapura dan Malaysia, sementara studi pendahuluan oleh para ilmuwan Afrika Selatan menunjukkan varian ini tiga kali lebih mungkin menyebabkan infeksi ulang dibandingkan Delta atau Beta.
Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, dalam diskusi daring, di Jakarta, Jumat (3/12/2021), mengatakan, dengan ditemukannya varian ini di negara tetangga, Indonesia sudah harus mewaspadai bahwa varian ini juga sudah masuk. Sekalipun hingga saat ini Indonesia belum mendeteksi keberadaannya, hal ini bisa terjadi karena kurangnya pemeriksaan genomik.
Kementerian Kesehatan Malaysia dalam pernyataan tertulis telah mengumumkan kasus pertama Covid-19 varian Omicron. Hal ini dilakukan setelah melakukan uji genomik pada 74 sampel positif Covid-19 periode 11-28 November 2021.
Pasien yang terkonfirmasi membawa varian Omicron ini adalah seorang pelajar asing berusia 19 tahun yang tiba dari Afrika Selatan melalui Singapura pada 19 November 2021 dan telah menjalani tes PCR setibanya di Malaysia. Kementerian mengatakan, pelajar itu sudah menerima vaksinasi Covid-19 lengkap dan kondisinya tidak bergejala.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan Singapura (MOH) mengumumkan pada Kamis sore ada dua pasien yang saat ini sedang dirawat di National Centre for Infectious Diseases (NCID) positif terinfeksi varian Omicron. Kedua pasien tiba di Singapura pada Rabu (1/12/2021) dari Johannesburg, Afrika Selatan.
Tidak hanya Afrika Selatan
Menurut Pandu, Omicron kemungkinan sudah beredar sebelum November 2021 atau sebelum varian ini diumumkan oleh Afrika Selatan. Sebelumnya, Rabu (1/12/2021), Pusat Pengendalian Penyakit Nigeria (NCDC) menyatakan telah menemukan varian Omicron dari sampel para pelancong yang datang ke negara tersebut pada bulan Oktober lalu. Ini menunjukkan bahwa kasus itu telah muncul beberapa minggu sebelum dilaporkan di Afrika Selatan.
”Omicron saat ini bisa dibawa dari pelancong dari negara mana pun, bukan hanya dari Afrika Selatan,” kata Pandu. Kecuali seperti Jepang yang menutup pintu masuknya dari semua negara, varian baru ini berpeluang masuk ke Indonesia. Oleh karena itu, upaya yang harus dilakukan adalah memperkuat pendeteksian, selain pemberlakuan karantina lebih lama guna mencegah peredaran Omicron di komunitas.
”Seperti Delta sebenarnya sudah terdeteksi bulan Januari pada penduduk yang tidak pernah ke luar negeri,” ujarnya.
Pandu menambahkan, untuk kewaspadaan Indonesia juga harus mengantisipasi varian ini sudah masuk. ”Fokus pada pintu masuk tidak cukup, tetapi harus di dalam negeri,” katanya.
Fokus di dalam negeri ini yakni penguatan surveilans berupa tes, lacak, dan isolasi. Selain itu, penting melakukan pemeriksaan genomik, terutama jika menemukan lonjakan kasus di suatu wilayah. ”Surveilans di Indonesia belum mencukupi. Tes, lacak, juga isolasi yang positif masih bervariasi, bahkan di Jakarta juga masih kurang,” kata Pandu.
Surveilans di Indonesia belum mencukupi. Tes, lacak, juga isolasi yang positif masih bervariasi, bahkan di Jakarta juga masih kurang.
Survei yang dilakukan Pandu dan tim pada bulan Maret 2021 menunjukkan, penduduk di DKI Jakarta yang mempunyai antibodi Covid-19 hanya 10 persen yang pernah diperiksa. ”Jadi, jika misalnya di Jakarta ada 4.000 kasus terkonfirmasi, yang sebenarnya terinfeksi sudah sepuluh kali lipat karena sebagian besar tidak bergejala dan tidak diperiksa,” tuturnya.
Supriyatiningsih, pengajar dari Fakultas Kedokteran dan dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, yang masih dalam fase karantina setelah dari Jerman, mengatakan, saat ini Eropa masih mengalami lonjakan kasus karena Delta. Namun, kemunculan varian baru Omicron memicu kewaspadaan yang lebih tinggi lagi.
”Jerman pernah mengalami kasus yang sangat rendah, tetapi setelah ada Delta kasusnya melonjak tinggi. Selain karena melonggarkan protokol kesehatan, ada 30 persen dari total populasi yang menolak divaksin. Indonesia harus belajar bahwa meletakkan hak sangat privat yang dilindungi untuk tidak mau divaksin bisa membahayakan kepentingan umum, selain juga jangan melonggarkan protokol kesehatan,” katanya.
Infeksi ulang
Data yang dikumpulkan oleh sistem kesehatan di Afrika Selatan memberikan bukti epidemiologis pertama tentang kemampuan Omicron untuk menghindari kekebalan dari infeksi sebelumnya. Laporan ini ditulis Juliet RC Pulliam dari National Institute for Communicable Diseases (NICD) Afrika Selatan dan tim dalam server pracetak medis medRxiv.org.
Disebutkan dalam paper ini, ada 35.670 dugaan infeksi ulang di antara 2,8 juta orang dengan tes positif di Afrika Selatan hingga 27 November. Dengan data ini, peneliti kemudian menganalisis dan menyimpulkan, reinfeksi yang diduga disebabkan varian Omicron ini mencapai tiga kali dibandingkan varian Delta atau Beta yang sebelumnya telah menyerang Afrika. Kasus dianggap infeksi ulang jika mereka dites positif dalam waktu 90 hari.
”Infeksi ulang baru-baru ini telah terjadi pada individu yang infeksi utamanya terjadi di ketiga gelombang dengan sebagian besar mengalami infeksi primer pada gelombang Delta,” sebut Pulliam.
Sekalipun menemukan bukti awal terjadinya infeksi ulang, Pulliam memperingatkan bahwa mereka belum memiliki informasi tentang status vaksinasi individu dan karena itu tidak dapat menilai sejauh mana Omicron menghindari kekebalan yang diinduksi vaksin. Para peneliti berencana untuk mempelajari ini selanjutnya.
”Data juga sangat dibutuhkan pada tingkat keparahan penyakit yang terkait dengan infeksi Omicron, termasuk pada individu dengan riwayat infeksi sebelumnya,” katanya.