Jamin Kesetaraan Layanan untuk Orang dengan HIV/AIDS
Indonesia menargetkan bebas dari AIDS pada 2030. Berbagai upaya pun harus dilakukan, terutama untuk memastikan akses layanan pemeriksaan dan pengobatan yang merata dan berkelanjutan.

Peserta mengikuti parade budaya dalam rangka memperingati Hari AIDS Sedunia di Indramayu, Jawa Barat, Sabtu (1/12/2018). Dalam parade tersebut, peserta mengampanyekan bahaya HIV/AIDS.
JAKARTA, KOMPAS — Ketidakadilan dan ketidaksetaraan layanan pada orang dengan HIV/AIDS menjadi tantangan untuk mewujudkan Indonesia bebas AIDS 2030. Pemeriksaan HIV pada populasi kunci hingga kini belum optimal. Begitu pula dengan layanan pengobatan.
Seluruh pihak juga perlu memperkuat komitmen untuk mengakhiri epidemi tersebut, termasuk memastikan pendanaan program penanggulangan HIV/AIDS di setiap daerah.
Untuk mencapai Indonesia bebas AIDS 2030, terdapat tiga target besar yang harus dicapai atau yang disebut dengan 3 Zeros, yaitu tidak ada lagi kasus baru infeksi HIV, tidak ada lagi kasus kematian terkait AIDS, serta tidak ada lagi diskriminasi pada orang dengan HIV/AIDS.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono dalam acara Pertemuan Hari AIDS Sedunia 2021 bersama Asosiasi Dinas Kesehatan (Adinkes) yang diikuti dari Jakarta, Rabu (1/12/2021), mengatakan, pemerintah berupaya untuk mewujudkan melalui strategi Fast Track 95-95-95 yang meliputi 95 persen orang mengetahui status HIV melalui tes dan deteksi dini, 95 persen orang dengan HIV/AIDS (ODHA) mendapatkan pengobatan, serta virus HIV pada 95 persen ODHA yang mendapatkan pengobatan tidak lagi terdeteksi.
Baca juga: Pastikan Akses Pengobatan untuk Tekan Angka AIDS
Namun, capaian saat ini masih jauh dari yang ditargetkan. Kementerian Kesehatan pada triwulan I-2021 melaporkan, jumlah ODHA yang ditemukan mencapai 77 persen dari jumlah estimasi ODHA hidup yakni 543.100 orang.
Sementara, ODHA yang rutin menerima pengobatan melalui terapi antiretroviral sebanyak 26 persen dan ODHA dengan jumlah virus tersupresi atau tidak lagi terdeteksi hanya 8 persen.

Capaian penanggulangan HIV/AIDS 2021.
”Kita harus melakukan usaha yang komprehensif untuk mengejar target eliminasi HIV/AIDS di Indonesia. Upaya tersebut dengan tidak melakukan diskriminasi dan mengutamakan hak asasi manusia pada ODHA, terutama dengan memberikan akses yang kesehatan yang baik,” tutur Dante.
Dalam peringatan Hari AIDS Sedunia pada 1 Desember 2021, semangat yang diusung oleh Organisasi Kesehatan Dunia pun adalah ”Akhiri Ketidaksetaraan, Akhiri AIDS”. Diskriminasi serta stigma telah menjadi penghambat utama dalam penanggulangan HIV/AIDS.
Dua hal itu membuat seseorang enggan datang ke pusat layanan kesehatan, sekalipun untuk melakukan pemeriksaan. Tidak hanya masyarakat umum, masih ada tenaga kesehatan yang memberikan stigma pada orang-orang yang datang untuk melakukan pemeriksaan HIV.
Pemeriksaan terutama untuk populasi kunci yang rentan tertular HIV/AIDS sangat penting. Mereka adalah LSL (laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama lelaki), pekerja seks, pengguna jarum suntik bergantian, dan transjender.
Kita harus melakukan usaha yang komprehensif untuk mengejar target eliminasi HIV/AIDS di Indonesia. Upaya tersebut dengan tidak melakukan diskriminasi dan mengutamakan hak asasi manusia pada ODHA. (Dante S Harbuwono)
Pemeriksaan serta deteksi dini merupakan langkah penting dalam penanganan HIV/AIDS. Semakin cepat terdeteksi, pengobatan bisa segera diberikan. Dengan pengobatan rutin, yakni dengan konsumsi ARV secara rutin, virus HIV bisa ditekan bahkan tidak lagi terdeteksi.
Orang dengan HIV memerlukan pengobatan antiretroviral (ARV) secara rutin untuk menurunkan jumlah virus HIV yang terdapat dalam tubuhnya. Dengan pengobatan ini, risiko terjadi AIDS bisa dicegah. Pada pasien AIDS, pengobatan ARV juga dibutuhkan untuk mencegah terjadinya infeksi oportunistik (menyerang tubuh dengan tingkat imunitas rendah) yang dapat memicu berbagai komplikasi berbahaya hingga kematian.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F02%2Fkompas_tark_26756014_51_1.jpeg)
Dokter Puskesmas Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat, mengambil darah salah seorang warga di Kawasan Museum Fatahillah, Senin (24/10/2016). Darah yang diambil kemudian diuji untuk mengetahui ada tidaknya terjangkit virus HIV/AIDS. Layanan tersebut gratis untuk warga sekitar museum dan warga yang berkunjung ke sekitar museum.
Obat ARV selain dapat memperpanjang harapan hidup ODHA juga dapat memperbaiki kualitas dan produktivitas hidup ODHA serta mencegah penularan kepada orang lain. Karena itu, pengobatan ini amat penting dalam upaya eliminasi epidemi HIV/AIDS.
Dalam pengobatan pun perlu pemantauan yang baik. Pengobatan ARV tidak boleh terputus. Itu sebabnya akses ODHA pada layanan pengobatan perlu dipastikan berjalan dengan baik. Sayangnya, pandemi ini membuat layanan tersebut sempat terkendala.
Direktur Pencegahan dan Penanganan Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menuturkan, layanan Perawatan Dukungan Pengobatan (PDP) HIV-AIDS yang tersedia di Indonesia berjumlah 2.048 layanan. Namun, selama pandemi Covid-19 ini hanya 1.705 layanan PDP yang aktif.
Keterbatasan akses layanan pengobatan ini berpotensi meningkatkan angka putus obat pada ODHA. Pada triwulan I-2021, sebanyak 26 persen ODHA yang pernah memulai pengobatan ARV mengalami putus obat. Artinya, risiko perburukan bisa terjadi, mulai dari resistensi obat hingga komplikasi penyakit lainya serta potensi penularan yang kembali meningkat.
Baca juga: Stigma HIV/AIDS Masih Hambat Petugas Mendata Para Pengidap
Pemerintah sudah memberikan fasilitas pengobatan ARV secara gratis bagi ODHA. Ketika terdiagnosis HIV tanpa harus melihat kadar CD4 dalam tubuh, seseorang sudah bisa mendapatkan fasilitas pengobatan secara rutin. Itu termasuk pengobatan lain yang menjadi komorbid HIV, seperti TBC, Hepatitis B dan C, serta infeksi menular seksual.
Peran pemda
Pelaksana Tugas Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu menyampaikan, seluruh sumber daya yang terkait dengan penanganan HIV/AIDS perlu lebih digerakkan. Pemerintah daerah dinilai memiliki peranan penting dalam penanganan HIV/AIDS dengan tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan di wilayah setempat.
Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah III Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Budiono Subambang menuturkan, berbagai peraturan telah diterbitkan untuk memastikan upaya penanggulangan HIV/AIDS bisa berjalan optimal di daerah. Pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 100 Tahun 2018 tentang Penerapan Standar Pelayanan Minimal telah diatur jenis pelayanan dasar bagi masyarakat, termasuk pada mereka yang berisiko HIV/AIDS.

Pengendara melintas di depan sebuah mural pendidikan dan pencegahan HIV/AIDS yang dibuat pada salah satu taman di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (19/7/2017). Sejak ditemukan tahun 2002 sampai 2016, Dinas Kesehatan Sulawesi Tengah mencatat lebih dari 1.000 kasus HIV/AIDS ditemukan di wilayah Sulawesi Tengah dengan jumlah terbanyak di Kota Palu yang merupakan ibu kota provinsi tersebut.
Sebagai standar pelayanan minimal setidaknya ada tiga hal yang harus diberikan, yakni edukasi, tes atau pemeriksaan HIV, serta pengobatan lebih lanjut. Seluruh pelayanan ini harus dipastikan dibiayai secara memadai oleh pemerintah daerah sebagai bentuk realisasi konkret untuk mencegah HIV serta memastikan akses yang merata bagi seluruh masyarakat.
Budiono menambahkan, untuk memastikan keberlanjutan upaya pengendalian HIV/AIDS, setiap daerah juga perlu memastikan pembiayaan yang menunjang. Dana desa dapat dimanfaatkan untuk itu. Selain itu, upaya pengendalian penyakit menular tersebut sangat mungkin didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
”Belanja biaya kesehatan, pelibatan kader kesehatan bisa menggunakan APBD. Kerja-kerja promotif preventif terkait isu kesehatan, termasuk HIV/AIDS, dapat melibatkan masyarakat dapat dibiayai dalam APBD dari dinas terkait, termasuk oleh pemerintahan desa,” katanya.