Tradisi mengolah kepayang di Sarolangun merupakan emas hijau bagi pembangunan berkelanjutan. Hal ini merupakan jalan keluar bagi masalah tambang emas liar yang masif merusak lingkungan di hulu-hulu sungai.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·5 menit baca
Buah kepayang (Pangium edule) yang memabukkan kini membawa gairah baru. Hasil olahannya menjadi minyak sangat ampuh membikin kulit awet muda. Manfaat buah dari pedalaman Jambi itu pun mulai dilirik Eropa.
Baharudin (50) kini setia menunggui buah-buah kepayang yang jatuh dari pohon. Setelah terkumpul banyak, buahnya lantas melalui rangkaian panjang proses produksi. Mulai dari buah, biji, hingga menjadi tepung. Selanjutnya dimasak sampai menghasilkan minyak. Itulah yang dimanfaatkan sebagai minyak goreng oleh masyarakat Desa Berkun, Kecamatan Limun, Sarolangun, Jambi.
Belakangan, pesanan minyak datang dari Koperasi Kesatuan Pengelola Hutan Produksi (KPHP) Hulu Limau Unit VII Hulu Sarolangun. Harga jualnya cukup menggiurkan, Rp 50.000 per kilogram. Lebih tinggi dibandingkan minyak goreng sawit dan kelapa. Harga minyak goreng sawit rata-rata Rp 25.000 per liter, sedangkan minyak goreng kelapa Rp 30.000. ”Petani jadi makin semangat mengolah karena harganya bagus,” ujar Baharudin, Ketua Kelompok Tani Hutan Tamulun Batuah (15/11/2021).
Hasil minyak yang dipasok masyarakat lalu diolah anggota koperasi menjadi beragam produk turunan. Di antaranya sabun, pelembab kulit, minyak esensial, dan minyak goreng.
Hasil minyak itu juga diekspor ke Belanda untuk menjadi bahan kosmetik. Sejak 3 tahun lalu, volume ekspornya mencapai 300 kilogram. Sebagian lagi diolah menjadi sabun dan pelembab kulit untuk pasar lokal. Selebihnya dipasarkan lewat jaringan internet.
Kepala KPHP Hulu Limau Unit VII Hulu Sarolangun, Misriadi, menyebut permintaan akan minyak kepayang sangat tinggi. Earth Oil dan the Body Shop, misalnya, telah melirik minyak itu untuk menjadi bahan baku kosmetik nabati mereka. Permintaannya minimal 3 ton per bulan.
Permintaan yang besar itu belum mampu disanggupi masyarakat. Saat ini, katanya, masyarakat masih berproses untuk memproduksi minyak lebih banyak lagi. Untuk meningkatkan volume produksi, mesin-mesin dan peralatan didatangkan bagi sejumlah kelompok tani hutan.
Lewat dukungan mesin, setiap kali produksi bisa langsung mengolah 500 kilogram biji kepayang untuk menghasilkan 50 kg minyak goreng. Tantangan berikutnya adalah memastikan pasokan buah stabil sepanjang tahun.
Selama ini, kepayang yang juga disebut keluwak atau pucung merupakan tanaman penting bagi konservasi di hulu-hulu daerah aliran sungai (DAS). Akarnya kuat menahan longsor. Tajuk pohonnya luas menaungi wilayah itu. Daunnya bermanfaat sebagai obat dan pengawet alami. Tanaman unggul sebagai menyerap karbon.
Keberadaan tanaman itu juga sesuai dengan karakter daerah tumbuhnya yang dikelilingi perbukitan berlereng curam. Air bersih mengalir deras dari kompleks sungai bawah tanah yang mengisi relung-relung karst setempat. Juga sungai-sungai di permukaan yang berair jernih. Seluruh keindahan itu merupakan berkah sekaligus ancaman bilamana dirusak.
Menurut Baharudin, tak semata menghasilkan minyak goreng, kepayang juga dipercaya sebagai penjaga kehidupan masyarakat. Karena itulah, adat setempat mengatur ketat pemanenan kepayang. Hanya buah yang jatuh dari pohon yang boleh diambil. Dilarang memetik buah dari pohonnya. Warga yang melanggar akan terkena denda adat.
Meski tradisi mengolah kepayang turun-temurun di wilayah Sarolangun, pemanfaatannya justru mulai terancam. Sebagian tanaman kepayang di bantaran sungai tergusur oleh tambang-tambang emas liar.
Padahal, kata Misriadi, pemanfaatan kepayang jauh lebih bernilai lestari. Hasil penjualan minyak kepayang pun mendatangkan pendapatan bagi negara lewat PNBP. Bandingkan dengan tambang emas liar yang hanya merusak lingkungan tanpa menyumbang sepeser pun pemasukan bagi negara. Lokasi tambang emas liar bahkan kerap menjadi sumber konflik sosial dan sarang narkoba.
Banjir bandang pun mulai terjadi setelah tambang masif mengeruk sungai. Di Desa Lubuk Bedorong, Limun, yang marak tambang liar setahun terakhir, banjir bandang untuk pertama kalinya melanda pertengahan tahun ini.
Baharudin menceritakan, untuk setiap pohon kepayang berpotensi panen 350 kg biji. Jika diolah akan menghasilkan 35 kg minyak. Saat ini, jumlah pohon kepayang di Desa Berkun sekitar 270 batang. Jika diolah bakal menghasilkan 9 ton minyak yang bernilai Rp 472 juta per tahun. Itu baru hasil dari satu desa.
Berdasarkan data KPHP, potensi minyak kepayang pada 20 desa di 2 kecamatan yang dibina, yakni Limun dan Batangasai, sangat tinggi. Jumlah pohonnya ada 3.159 batang yang telah berbuah.
Dalam setiap pohon rata-rata menghasilkan 350 kilogram biji. Jika diolah, potensi minyaknya mencapai 110 ton alias bernilai Rp 5,5 miliar per tahun. ”Inilah emas hijau yang layak dikembangkan,” kata Misriadi.
Inilah emas hijau yang layak dikembangkan. (Misriadi)
Hasil uji laboratorium Sucofindo menunjukkan, minyak kepayang olahan masyarakat setempat mengandung alfa linolenic acid (ALA), eicosapentaenoic acid (EPA), dan docosahexaonoic yang cukup tinggi mengandung omega 3. Kandungan tersebut bermanfaat sangat baik bagi kesehatan jantung, otak, mata, dan persendian. Juga memperkuat daya tahan tubuh dan menjaga dari risiko kanker.
Kandungan betakarotin dan analgesik alaminya juga cukup tinggi. Cocok dikembangkan menjadi produk sabun, pelembab, dan obat luka.
Manfaatnya sebagai antioksidan, mencegah kerusakan sel, mempercepat regenerasi kulit dan menetralkan radiasi bebas, di masa kini, sangat dibutuhkan dalam berbagai produk obat dan kecantikan. Jika dikelola serius, akan semakin mendongkrak nilai tambahnya.
Memang, dalam hasil uji lab masih terekam kandungan logam berat organik meskipun di bawah 0,002 mg/kg untuk arsenik (As) dan di bawah 0,001 mg/kg untuk merkuri (Hg).
Untuk dikonsumsi ataupun menjadi bahan kosmetik dan obat, kata Wiji Utami, dosen Kimia Universitas Islam Negeri Jambi, kandungan logam berat berada pada titik nol alias tidak terdeteksi. Untuk minyak kepayang, lanjutnya, bisa disiasati lewat penyaringan. Caranya dengan memanfaatkan penyaringan alami sperti memanfaatkan arang atau sabut kelapa.
Apalagi potensi tumbuhnya kepayang tidak hanya di Sarolangun, tetapi juga menyebar hingga seluruh Sumatera. Jika para pemangku kepentingan bersatu, hasil yang bisa didapat akan lebih optimal. Manfaat bagi ekonomi masyarakat akan tampak nyata.
Selama ini, kata Nasrul, Ketua Hutan Adat Batin Batuah, yang menjadi hulu bagi Sungai Batanghari, hutan-hutan di kawasan hulu terus menjadi incaran para pemodal tambang liar. Karena itulah, para pemangku adat mendesak dibentuknya hutan adat. Hutan Adat Batin Batuah dan Bukit Tamulun menjadi salah satu benteng menjaga alam yang tersisa.
Jika tanpa hutan adat, desakan dari luar tak sanggup ditahan. Alat berat telah merongrong masuk ke desa-desa di bawah kawasan itu. Menyisakan hutan-hutan kecil saja. Yang tersisa itulah terus didorong jangan sampai beralih fungsi.
Harapannya, emas hijau kepayang dapat menjadi jalan keluar.