Minyak kelapa murni atau ”virgin coconut oil” tidak hanya memberikan manfaat kesehatan, tetapi juga ekonomi bagi masyarakat di Pulau Nias, Sumatera Utara, khususnya komunitas perempuan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·6 menit baca
Eliakim Telaumbanua (57) masih mengingat dengan jelas tatkala sisa umurnya diperkirakan hanya sekitar tiga bulan oleh dokter jantung pada akhir 2016 silam. Sejak tahun 1998, tokoh adat dari Hiliduho, Nias, Sumatera Utara, ini sudah divonis menderita komplikasi ginjal dan kondisi tersebut semakin memburuk pada awal 2016. Saat menjalani pemeriksaan, diketahui fungsi ginjalnya saat itu tinggal 70 persen.
Tak hanya ginjalnya yang sudah tidak berfungsi secara optimal, tetapi kerusakan organ dan penyakit lainnya juga turut menyertai. Sejumlah komplikasi yang diderita Eliakim di antaranya pembengkakan jantung, darah tinggi, maag kronis, penyakit gula, asam urat, hingga kolesterol. Bahkan, saat pemeriksaan lanjutan, jantung Eliakim sudah tersumbat 90 persen dan fungsi ginjalnya tinggal 47 persen.
”Saya mendengar dari ruang perawatan bahwa dokter memprediksi paling lama usia saya tinggal tiga bulan lagi. Mendengar itu saya pasrah. Kondisi saya sangat lemah dan diberi tujuh macam obat. Kondisi saya semakin memburuk saat Natal dan Tahun Baru 2017,” ujarnya ketika ditemui di rumahnya di Desa Mazingo Tanose'o, Hiliduho, Nias, Minggu (21/11/2021).
Saat perjuangan untuk kembali sehat kian sirna, Eliakim tiba-tiba dihubungi saudaranya di Batam dan menyarankan untuk berhenti mengonsumsi karbohidrat serta obat-obatan dari dokter sekaligus berpuasa semampunya. Sebagai gantinya, Eliakim diminta untuk meminum minyak kelapa murni (VCO) dan memperbanyak konsumsi daging serta kopi hitam tanpa gula.
Merasa sisa hidupnya tidak panjang lagi, Eliakim memutuskan untuk mencoba menjalankan saran saudaranya meski ia tahu hal tersebut sangat bertentangan dengan anjuran dokter maupun ilmu kesehatan. Ia pun mulai mencari VCO yang saat itu berharga Rp 200.000 per liter dan menjalani pola hidup tanpa karbohidrat. VCO tersebut diminum tiga kali sehari sebelum makan.
Selama tujuh hari pertama, berat badan Eliakim langsung turun dari 68 kilogram (kg) ke 63 kg. Kondisi ini juga diiringi dengan penurunan kadar gula, tetapi tidak sampai membuat tubuhnya lunglai. Pola hidup tersebut terus dijalani Eliakim selama hampir satu bulan hingga berat badannya mencapai 58 kg. Selama itu pula Eliakim merasakan kondisi tubuhnya semakin membaik karena ia sudah kuat berjalan jauh dan berlari-lari kecil beberapa menit.
Guna memastikan perkembangan penyakit dan kondisi tubuhnya, Eliakim kemudian terbang ke Jakarta untuk menjalani perawatan dan operasi. Namun, saat diperiksa, dokter melihat penyumbatan di jantung Eliakim berkurang menjadi 70 persen. Ia pun tetap menjalani operasi jantung dan pemasangan ring. Dokter kemudian memberi sejumlah obat dan meminta Eliakim kembali menjalani perawatan di Jakarta setelah tiga bulan pasca-operasi.
Sesampainya di Nias, Eliakim memutuskan untuk kembali meminum VCO, mengurangi karbohidrat, dan tidak mengonsumsi obat-obatan dari dokter. Bahkan, ia juga mengabaikan anjuran dokter untuk kembali menjalani perawatan di Jakarta setelah tiga bulan. Eliakim baru kembali ke Jakarta setelah 1 tahun 5 bulan pasca-operasi pemasangan ring.
Dokter menduga penyumbatan di jantung saya semakin parah. Namun, setelah diperiksa selama satu setengah bulan, dokter heran karena jantung saya sudah bersih dan tidak ada lagi penyumbatan.
”Setelah sampai di Jakarta, dokter memarahi saya karena baru kembali setelah lebih dari satu tahun. Dokter menduga penyumbatan di jantung saya semakin parah. Namun, setelah diperiksa selama satu setengah bulan, dokter heran karena jantung saya sudah bersih dan tidak ada lagi penyumbatan,” ucapnya.
Pengalaman lepas dari ajal tersebut membuat Eliakim sampai saat ini memutuskan untuk menjalankan pola hidup sehat dengan mengurangi karbohidrat dan senantiasa mengonsumsi VCO. Ia selalu menyediakan VCO di rumahnya untuk dikonsumsi sendiri maupun dibagikan ke tetangga. VCO juga kerap digunakannya untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan sebagai pertolongan pertama atau antibiotik.
Sejumlah hasil riset memang telah banyak yang menunjukkan manfaat dari VCO dalam menyembuhkan berbagai penyakit. Peneliti Jepang T Fushiki dan K Matsumoto melaporkan, dengan mengonsumsi VCO, badan tidak hanya mempunyai energi lebih besar, tetapi juga mempunyai daya tahan (endurance) lebih lama. Namun, VCO sebagai pengobatan belum banyak dianjurkan dokter karena menyangkut takaran dan dosis yang pas.
Produk lokal
Tempat tinggal yang jauh dari kota besar membuat Eliakim mengalami kesulitan dalam mencari VCO. Beruntung, setelah mendapat sejumlah informasi, saat ini Eliakim semakin mudah untuk membeli VCO karena masyarakat lokal di Pulau Nias mulai gencar memproduksinya dengan mutu dan pengemasan yang jauh lebih baik.
Salah satu VCO tersebut diproduksi dalam skala rumah tangga oleh ibu-ibu dari Desa Ononazara, Kecamatan Tugala Oyo, Nias Utara. Mereka telah membuat VCO sejak 2008 dengan cara tradisional meski saat itu baru digunakan untuk kebutuhan sendiri. Seluruh proses produksi mayoritas dilakukan oleh ibu-ibu mulai dari pengambilan kelapa di pohon, pengupasan, pemarutan, penjemuran, hingga pengemasan.
Ibu-ibu di Tugala Oyo mulai memperbaiki mutu VCO dan gencar melakukan pemasaran sejak Februari 2021 setelah mendapat bantuan dan pendampingan dari Asosiasi Perempuan Pelaku Usaha Kecil dan Mikro (Asppuk) serta lembaga swadaya masyarakat lokal Perkumpulan Sada Ahmo (Pesada). Sejak saat itu, mereka menerapkan standar atau tata cara pembuatan VCO yang baik agar produk yang dihasilkan tetap berkualitas dan higienis.
Hormianim Saragih (51), salah satu perempuan dampingan Asppuk/Pesada, menyampaikan, untuk menjamin kebersihan produk, ibu-ibu senantiasa menggunakan sarung tangan plastik, masker, dan penutup kepala dalam setiap proses pembuatan VCO. Seluruh wadah dan alat pembuatan seperti saringan, jeriken, wadah, dan mixer juga tidak dicampur dengan peralatan memasak sehari-hari di rumah.
VCO produksi Tugala Oyo juga diklaim memiliki mutu yang baik karena berasal dari kelapa hijau yang sudah mulai nampak warna atau bintik kecoklatan. Setelah kelapa dikupas kulitnya menggunakan alat lokal bernama sula, ibu-ibu segera memarut, memberi air hangat, memeras, menyaring, hingga melakukan proses penjemuran selama 10-12 jam.
”Untuk memperoleh satu liter VCO dibutuhkan sekitar 7 sampai 12 buah kelapa dengan kualitas yang bagus. Namun, kami masih menemui kendala pada proses pemasaran dan distribusi karena transportasi dan akses jalan di wilayah kami cukup susah,” katanya.
Manfaat ekonomi
Selama mengikuti produksi VCO, Hormianim merasakan adanya tambahan pendapatan yang cukup signifikan. Sebelum terlibat dalam produksi VCO, pendapatannya hanya sekitar Rp 2 juta per bulan dari profesinya sebagai seorang guru. Sementara setelah memproduksi VCO, Ia memperoleh tambahan pendapatan sekitar Rp 3 juta-Rp 5 juta per bulan.
Penguatan ekonomi ini juga menjadi salah satu tujuan pembinaan dari Asppuk/Pesada. Saat ini, Asppuk/Pesada telah membentuk dan membina dua Kelompok Perempuan Usaha Mikro (Kelpum) di Tugala Oyo, yakni Kelpum Mekar dan Famomaha dengan total anggota sebanyak 14 orang. Selain di Tugala Oyo, telah dibentuk juga koperasi simpan pinjam (credit union/CU) Faomakhoda di Pulau Hinako, Nias Barat.
Koordinator Pesada Wilayah Tapanuli Tengah-Nias Berliana Purba mengatakan, dengan adanya akses pada pendanaan usaha melalui Kelpum dan CU, komunitas perempuan dapat memetakan potensi bisnis lokal yang bisa dikembangkan bersama. Adanya penguatan ekonomi ini sekaligus menjadi solusi atas permasalahan sosial yang dihadapi masyarakat.
”Harapan kami, perempuan bisa menjadi lebih kuat secara ekonomi dengan produksi VCO yang bahannya terdapat di lingkungan sekitar mereka. Produksi VCO ini menjadi awal yang bagus untuk mengubah cara pandang khususnya perempuan bahwa sumber daya yang ada bisa diolah dan dimanfaatkan bukan sekedar dijual secara mentah,” tuturnya.
VCO yang dibuat oleh masyarakat di Pulau Nias juga merupakan salah satu produk yang dikampanyekan dalam Pangan Bijak Nusantara. Kampanye ini sekaligus menjadi bagian dari proyek Local Harvest yang diinisiasi untuk meningkatkan pemahaman dan permintaan konsumen terhadap produk pangan lokal, adil, sehat, dan lestari.