Kekerasan dan Ketidaksetaraan Jender Hambat Penanggulangan HIV/AIDS
Upaya penanganan HIV/AIDS tidak terlepas dari upaya melawan kekerasan dan diskriminasi pada perempuan dengan HIV. Semua pihak diharapkan bisa bekerja sama untuk mengatasi hal tersebut.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan dan ketidakadilan jender dapat menghambat capaian target penanggulangan HIV/AIDS di masyarakat. Untuk itu, upaya perlindungan harus diperkuat dan didukung oleh akses pelaporan yang mudah dan terjangkau.
Penasihat Dukungan Masyarakat dari Program Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Mengatasi HIV-AIDS (UNAIDS) Elis Widen menyampaikan, ketidaksetaraan jender menjadi faktor penting yang harus diatasi. Akibat ketidaksetaraan, banyak orang dengan HIV, terutama perempuan dengan HIV, kesulitan mendapatkan pelayanan.
”Padahal, akses pada pelayanan kesehatan sangat penting dalam mendukung upaya pengendalian HIV/AIDS di masyarakat. PBB telah memandatkan agar pada 2030 kita bisa menghentikan penularan AIDS,” katanya dalam acara Peluncuran Sistem Data-Pelaporan Online Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dengan HIV oleh Ikatan Perempuan Positif Indonesia di Jakarta, Jumat (26/11/2021).
Elis mengatakan, salah satu strategi yang telah ditetapkan untuk bisa mengendalikan penularan HIV/AIDS adalah melalui target 95-95-95. Target tersebut berarti sebanyak 95 persen orang dengan HIV tahu statusnya, 95 persen dari yang tahu statusnya menjalani pengobatan, dan virus HIV dalam tubuh 95 persen orang yang berobat sudah tersupresi sehingga tidak bisa menularkan kepada orang lain. Target tersebut akan sulit dicapai jika akses pada layanan kesehatan terhambat.
Kepala Program Agensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perempuan (UN Women) Indonesia Dwi Yuliawati Faiz berpendapat, kesetaraan jender merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam penanggulangan HIV/AIDS. Kekerasan serta diskriminasi terhadap perempuan menjadi bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dapat menghalangi akses pada pengobatan.
Data Komnas Perempuan menunjukkan, angka kekerasan pada perempuan dengan HIV/AIDS meningkat signifikan dari 4 kasus pada 2019 menjadi 203 kasus pada 2020. Angka ini bahkan dinilai belum menunjukkan kondisi sebenarnya karena banyak kasus yang tidak terlaporkan.
”Mewujudkan ruang yang aman untuk perempuan bisa melaporkan kekerasan yang dialami sangat diperlukan. Sering kita jumpai orang dengan HIV yang pernah mengalami kekerasan di dalam hidupnya tidak berbuat apa pun karena tidak tahu ke mana harus menyampaikannya,” ujar Dwi.
Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Ayu Oktariani menuturkan, perempuan dengan HIV memiliki berbagai kerentanan, terutama terkait ketubuhan, norma masyarakat, dan relasi kuasa. Sering perempuan dengan HIV tidak memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk melahirkan secara normal dan menyusui bayinya. Selain itu, perempuan dengan HIV juga dianggap aib oleh masyarakat.
Akses pada pelayanan kesehatan sangat penting untuk mendukung upaya pengendalian HIV/AIDS di masyarakat. PBB telah memandatkan agar pada 2030 kita bisa menghentikan penularan AIDS. (Elis Widen)
Banyak pula perempuan HIV yang pada akhirnya memutuskan untuk tidak membuka status HIV kepada pasangannya karena takut ditinggalkan. Ketika status HIV-nya tidak diketahui pasangan, ia biasanya akan kesulitan datang ke fasilitas kesehatan untuk mengakses obat.
Menurut Ayu, kondisi tersebut yang kerap membuat perempuan sering mengalami kekerasan. Sementara akses untuk mendapat perlindungan serta melaporkan kekerasan yang dialami masih sulit didapatkan.
”Atas dasar itulah IPPI berupaya untuk bisa menjadi intermediasi bagi perempuan dengan HIV. Kami berupaya dengan menerima pengaduan, mendata kebutuhan korban, serta menghubungkan korban dengan layanan yang sesuai dengan kebutuhannya,” katanya.
Ia menuturkan, tantangan yang dihadapi saat ini dalam penanganan kekerasan pada perempuan dengan HIV adalah sulitnya menjalankan penerimaan pengaduan secara langsung akibat pandemi Covid-19. Selain itu, isu kekerasan berbasis jender pada perempuan juga belum sepenuhnya dipahami oleh petugas penjangkau atau pendamping sebaya serta tenaga kesehatan.
Ayu pun menyarankan agar penyelenggaraan layanan rujukan penanganan korban kekerasan bisa semakin baik. Layanan tersebut harus berkualitas dan mudah diakses serta bebas biaya. Pendampingan hukum yang adil dan berpihak kepada perempuan dengan HIV juga perlu ditekankan.
Tenaga medis juga sebaiknya rutin mengikuti pelatihan mengenai sensitivitas isu kekerasan pada perempuan. Mereka sebaiknya dibekali pula dengan kesadaran untuk bisa melakukan rujukan untuk membantu perempuan dengan HIV yang menjadi korban kekerasan.
Dalam penanganan perempuan dengan HIV, koordinasi dan kolaborasi lintas sektor amat dibutuhkan. Integrasi layanan HIV dan layanan penanganan kekerasan yang selama ini berjalan sendiri-sendiri diharapkan bisa diperkuat.
”IPPI juga berinovasi dengan membuka layanan penerimaan pengaduan kekerasan berbasis jender pada perempuan dengan HIV melalui Delila atau Dengar, Lindungi, dan Laporkan. Sistem pengaduan ini diharapkan bisa berkontribusi untuk mencegah, melindungi, dan mengadvokasi perempuan yang hidup dengan HIV,” tutur Ayu.