Pemeriksaan masa kehamilan penting dilakukan untuk mendeteksi gangguan yang dialami sejak dini. Melalui deteksi dini, penanganan pun bisa lebih cepat dilakukan sehingga risiko kematian pada ibu dan bayi bisa dicegah.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kematian pada ibu melahirkan bisa dicegah melalui penanganan yang cepat dan tepat gangguan yang dialami. Pemerintah berupaya meningkatkan upaya deteksi dini gangguan pada ibu hamil melalui pemeriksaan ultrasonografi atau USGdi seluruh puskesmas.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono di Jakarta, Kamis (25/11/2021), mengatakan, upaya yang maksimal harus dilakukan untuk menekan angka kematian ibu hamil di Indonesia. Karena itu, strategi yang tepat perlu dijalankan, antara lain, dengan memperluas upaya penapisan layak hamil pada ibu dan pemantauan kesehatan secara berkala selama masa kehamilan.
”Dari identifikasi yang dilakukan, ternyata kematian terbesar (pada ibu hamil) terjadi justru di rumah sakit, yakni 74 persen. Artinya, rujukan ke rumah sakit untuk persalinan yang seharusnya sudah dilakukan sejak dini menjadi terlambat,” katanya.
Menurut Survei Penduduk Antarsensus 2015, angka kematian ibu di Indonesia mencapai 305 kasus per 100.000 kelahiran hidup, tertinggi kedua di antara negara-negara Asia Tenggara setelah Laos. Angka tersebut jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024 yang harus dicapai sebesar 183 kasus per 100.000 kelahiran hidup.
Dante mengatakan, pemerintah telah menyiapkan sejumlah strategi untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu di Indonesia. Strategi tersebut, antara lain, menambah fasilitas layanan pemeriksaan kehamilan dari yang sebelumnya hanya empat kali menjadi enam kali pertemuan.
Secara rinci, satu kali pemeriksaan pada trimester pertama, dua kali pemeriksaan pada trimester kedua, dan tiga kali pemeriksaan pada trimester ketiga. Dari enam pemeriksaan tersebut, dua kali pemeriksaan pada trimester pertama dan ketiga harus dilakukan dengan dokter kandungan.
Selain itu, layanan pemeriksaan kehamilan juga akan dilengkapi dengan pemeriksaan USG. Ini dilakukan untuk menapis faktor risiko dan risiko komplikasi dalam kehamilan serta menentukan lokasi pesalinan.
Dari identifikasi yang dilakukan ternyata kematian terbesar (pada ibu hamil) terjadi justru di rumah sakit, yakni 74 persen. Artinya, rujukan ke rumah sakit untuk proses persalinan yang seharusnya sudah dilakukan sejak dini menjadi terlambat.
Dante menuturkan, penggunaan USG pada layanan pemeriksaan kehamilan (antenatal care/ANC) ditargetkan bisa diperluas di seluruh puskesmas. Secara bertahap, pada 2021 akan ada 447 puskesmas yang akan dilengkapi alat USG. Sebanyak 320 dokter di 80 kabupaten/ kota pun telah dilatih untuk melayani kesehatan ibu dan anak, termasuk menggunakan USG dasar terbatas.
Selanjutnya, pada 2022, sebanyak 4.180 puskesmas lain akan mendapatkan USG dan diharapkan pada 2023 sebanyak 10.205 puskesmas sudah memiliki layanan pemeriksaan USG.
”USG yang diberikan adalah USG portable sehingga memudahkan tenaga kesehatan menggunakannya untuk menjangkau daerah perifer. Layanan ini juga akan ditanggung oleh BPJS Kesehatan,” ucap Dante.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kartini Rustandi menambahkan, pencanangan penggunaan USG untuk penapisan faktor risiko kehamilan dan gangguan pertumbuhan janin diharapkan bisa mencegah komplikasi pada kehamilan. Seluruh masyarakat pun akan diajak untuk lebih peduli pada kondisi ibu hamil, ibu bersalin, dan ibu nifas.
Komitmen untuk menekan angka kematian ibu juga telah dirumuskan melalui penerbitan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 tahun 2021 tentang Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan dan Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual. Layanan ini akan difokuskan pada calon pengantin dan pasangan usia subur.
Adapun layanan yang diberikan, meliputi komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai kesehatan reproduksi, pemeriksaan kesehatan dan penapisan layak hamil, serta layanan keluarga berencana. Masyarakat juga perlu diedukasi mengenai risiko tinggi pada kehamilan.
Sejumlah risiko yang harus diwaspadai pada kehamilan, antara lain, penyakit tidak menular seperti hipertensi dan diabetes melitus; masalah gizi seperti kurang energi kronis, anemia, dan obesitas; penyakit tidak menular seperti HIV/AIDS, tuberkulosis, dan hepatitis; serta 4 terlalu, yakni terlalu muda, terlalu tua, terlalu banyak, dan terlalu dekat pada kehamilan.
”Kita juga akan memperluas informasi mengenai pentingnya perencanaan kehamilan, deteksi dini risiko kehamilan dan persalinan, serta gangguan pertumbuhan janin. Cara ini diharapkan bisa memaksimalkan percepatan penurunan angka kematian ibu dan bayi di Indonesia,” ujarnya.
Melalui deteksi dini, penanganan pun bisa lebih cepat dilakukan sehingga risiko kematian pada ibu dan bayi bisa dicegah.