Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Undang Undang Cipta Kerja bisa menjadi momentum untuk mengoreksi kebijakan dan proyek strategis nasional yang merampas hak-hak masyarakat dan merusak lingkungan hidup.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Massa buruh dari berbagai elemen menggelar unjuk rasa saat menunggu hasil putusan sidang Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Cipta Kerja di Jakarta, Kamis (25/11/2021). Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan atas UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh. Namun, MK menyatakan proses pembentukan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja tidak sesuai dengan aturan pembentukan perundang-undangan.
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi telah memutuskan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat. Putusan ini seharusnya menjadi momentum untuk mengoreksi kebijakan dan proyek strategis nasional yang merampas hak-hak masyarakat dan merusak lingkungan hidup.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman membacakan putusan sidang uji formil Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang bisa diikuti secara daring, Kamis (25/11/2021).
”Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan,” kata Anwar.
MK juga menilai, dalam proses pembuatannya, UUCK tidak memegang asas keterbukaan kepada publik. Selain itu, draf UUCK dinilai tidak mudah diakses oleh publik.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Massa buruh dari berbagai elemen menggelar unjuk rasa saat menunggu hasil putusan sidang Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Cipta Kerja di Jakarta, Kamis (25/11/2021). Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh. Namun, MK menyatakan proses pembentukan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja tidak sesuai dengan aturan pembentukan perundang-undangan.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah, yang menjadi salah satu penggugat, mengatakan, keputusan ini menunjukkan pembentukan UUCK mengandung cacat formil. Sebab, pembentukan undang undang tersebut tidak cermat, bertentangan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, dan kurangnya partisipasi publik dalam pembahasan rancangan undang-undang.
Menurut Said, UUCK melakukan perubahan, khususnya terhadap UU Perkebunan, UU tentang Perlindungan Varietas Tanaman, UU tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan UU tentang Hortikultura. Hal itu dinilai mengancam berkembangnya pertanian, melemahkan keterampilan petani, dan menghambat berkembangnya organisasi-organisasi tani.
Salah satu hal yang disoal adalah penghapusan pasal-pasal dalam perundangan sebelumnya tentang kewajiban mengutamakan produksi pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Momentum untuk koreksi
Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Raynaldo Sembiring mengatakan, sejak awal UUCK bermasalah karena prosesnya tertutup. Hal itu mengakibatkan masyarakat tak bisa berpartisipasi dan memberi masukan dengan semestinya.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Buruh yang berunjuk rasa berusaha mendorong pagar Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat, yang dijaga polisi, Kamis (25/11/2021). Buruh menolak Undang-Undang Cipta Kerja dan menuntut kenaikan upah minimum kabupaten/kota di Jabar pada 2022 sebesar 10 persen.
”Namun, yang dipotret putusan MK ini lebih ke pembentukan UU yang inkonstitusional, belum ke materi. Perlu dikawal lebih lanjut, jangan asal kemudian membuat konsultasi publik lalu UUCK akan dijalankan dengan materi yang sama. Jadi, putusan ini masih menggantung,” tuturnya.
Raynaldo menambahkan, dari sisi politis, putusan MK ini seharusnya menjadi tamparan keras terhadap pemerintah dan dewan yang meminggirkan partisipasi publik. ”Sebagaimana kritik kami sejak awal, ada pasal-pasal di UUCK yang kami anggap bermasalah berat, misalnya partisipasi masyarakat itu dihalangi. Masyarakat dan NGO (organisasi nonpemerintah) tidak bisa berpartisipasi secara serius dalam Amdal,” ujarnya.
Perlu dikawal lebih lanjut, jangan asal kemudian membuat konsultasi publik lalu UUCK akan dijalankan dengan materi yang sama. Jadi, putusan ini masih menggantung.
Sementara Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia M Isnur mengatakan, putusan ini masih kompromis. ”Meskipun menyatakan bertentangan dengan UUD, MK memberikan putusan yang menggantung atau tidak berani lurus dan tegas dengan logika hukum dan UU MK,” kata Isnur.
Dengan adanya putusan ini, Isnur menambahkan, YLBHI dan 17 LBH di Indonesia meminta agar pemerintah tidak memberlakukan dulu UUCK dan menghentikan segala proses pembuatan serta penerapan semua aturan turunannya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Massa buruh dari berbagai elemen menggelar unjuk rasa saat menunggu hasil putusan sidang Mahkamah Konstitusi terkait UU Cipta Kerja di Jakarta, Kamis (25/11/2021). Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan atas UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh. Namun, MK menyatakan proses pembentukan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja tidak sesuai dengan aturan pembentukan perundang-undangan.
”Pemerintah telah kehilangan legitimasi dalam menerapkan UUCK. Maka dari itu, penting untuk menghentikan segera UU ini dan seluruh peraturan pemerintah turunannya demi mencegah timbulnya korban dari masyarakat dan lingkungan hidup,” tuturnya.
Selain itu, YLBHI meminta agar pemerintah menghentikan segera proyek-proyek strategis nasional yang telah merampas hak-hak masyarakat dan merusak lingkungan hidup. ”Pemerintah dan DPR harus menyadari bahwa ada kesalahan mendasar pembentukan perundangan dan tidak mengulangi,” ujarnya.
”Kekeliruan seperti ini juga dilakukan di UU KPK, UU Minerba, UU MK, dan banyak peraturan perundang-undangan lainnya, baik secara prosedur maupun isi,” kata Isnur.
Sementara itu, sebagaimana diberitakan Kompas.id, pemerintah menyatakan akan menghormati dan mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji formil UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Kendati akan memperbaiki aturan perundangan tersebut, peraturan-peraturan turunan yang sudah diterbitkan akan tetap berlaku.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangan pers secara virtual, Kamis siang, menyatakan, pemerintah akan mematuhi putusan MK terkait UU Cipta Kerja sebaik-baiknya.
Dalam putusan MK yang dibacakan pada Kamis ini, UU Cipta Kerja dinyatakan cacat formil. Karena itu, pemerintah dan DPR diperintahkan memperbaiki aturan perundangan ini dalam waktu 2 tahun sejak putusan dibacakan. Jika dalam waktu 2 tahun tidak dilakukan, UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.