Penularan kusta di Indonesia masih terus terjadi. Jika tidak segera diobati dan luka yang ditimbulkan tidak ditangani, penderita berisiko mengalami kecacatan pada beberapa organ tubuh, termasuk mata.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Orang dengan kusta berisiko mengalami disabilitas atau kecacatan pada organ mata, tangan, kaki, dan kulit. Hal itu bisa dicegah lewat deteksi dini dan perawatan luka yang tepat pada pasien.
Dokter spesialis kulit dan kelamin dari Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya-Rumah Sakit Umum dr Saiful Anwar Malang, Dhelya Widasmara, menjelaskan, progresivitas disabilitas pada kusta dapat dicegah melalui perawatan luka secara intensif. Perawatan luka secara mandiri pun penting agar penanganan bisa lebih cepat.
”Inovasi telah dilakukan melalui Ramata Kit atau rawat mandiri kusta yang diharapkan bisa diadopsi oleh banyak pihak. Inovasi ini untuk memudahkan pasien merawat luka secara mandiri dengan baik,” ujarnya dalam webinar terkait ”Pelatihan Dini Disabilitas Kusta pada Mata, Tangan, Kaki, dan Kulit” yang diselenggarakan Katamataku UI, dan diikuti dari Jakarta, Jumat (19/11/2021).
Dalam perawatan mandiri luka kusta setidaknya ada lima alat yang diperlukan, yakni antiseptik, salep antibiotik, kassa, plester, pelembab, serta sikat penghalus kulit. Adapun langkah yang perlu dijalankan ialah menyiapkan larutan antiseptik yang dilarutkan air dan membersihkan luka dengan kapas yang sudah dibasahi dengan larutan tersebut.
Kemudian oleskan salep antibiotik pada area luka secara merata dan tutup luka menggunakan kassa yang direkatkan dengan plester. Setelah itu, gunakan sikat untuk menghaluskan bagian kulit yang kering atau pecah-pecah. Barulah oleskan pelembab pada seluruh bagian kulit tangan dan kaki untuk mencegah kulit kering dan pecah-pecah.
Dhelya menyampaikan, kusta dapat mengakibatkan kerusakan yang progresif dan permanen pada kulit, sistem saraf, anggota gerak, dan mata apabila tidak diobati atau pengobatannya tidak adekuat. Kondisi disabilitas yang dialami oleh orang dengan kusta tidak terbatas pada disfungsi organ tubuh, tetapi juga keterbatasan beraktivitas, mengalami stigma, diskriminasi, dan keterbatasan dalam partisipasi sosial.
Penanganan yang cepat dan tepat pun diperlukan untuk mengurangi risiko disabilitas pada orang dengan kusta. Faktor risiko dari kecacatan pada pasien kusta juga perlu diperhatikan dengan baik.
Faktor risiko tersebut meliputi jenis kelamin, tipe kusta, jumlah cabang saraf yang terdampak, alergi, serta durasi dan aktivitas penyakit. Pria memiliki risiko dua kali lebih besar mengalami kecacatan akibat kusta dibandingkan dengan perempuan. Itu disebabkan pria cenderung mengabaikan keluhan yang dialami serta enggan mengakses fasilitas kesehatan.
Selain itu, semakin ekstensif tipe kusta yang dialami, risiko kecacatan akan semakin tinggi. Kusta tipe LL 5, 12 kali lebih berisiko mengalami kecacatan dibandingkan dengan tipe tuberkuloid dan borderline. Pasien kusta dengan lebih dari tiga cabang saraf yang terdampak juga lebih berisiko mengalami kecacatan.
”Pasien yang lama tidak terobati serta lama terdiagnosis juga akan memiliki risiko disabilitas yang semakin besar,” kata Dhelya.
Masa inkubasi
Kusta atau disebut lepra merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Bakteri ini bereplikasi dengan lambat pada tubuh manusia dengan masa inkubasi sekitar lima tahun. Kusta biasanya akan berdampak pada kulit, saraf tepi, mukosa saluran napas atas, dan mata.
Penularannya bisa menyebar melalui droplet yang disalurkan dari hidung dan mulut. Penularan akan terjadi apabila ada kontak erat yang lama dengan penderita yang tidak terobati.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyampaikan, kusta merupakan masalah kesehatan di Indonesia yang masuk dalam salah satu penyakit prioritas nasional. Penanganan penyakit ini menghadapi kendala selama masa pandemi Covid-19, terutama karena keterbatasan mencari kasus baru dan akses pengobatan.
Pasien yang lama tidak terobati serta lama terdiagnosis juga akan memiliki risiko disabilitas yang semakin besar.
”Kusta sudah menjadi prioritas nasional, tetapi penanggulangannya masih menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Untuk mewujudkan implementasi penanganan kusta secara menyeluruh, butuh kerja sama antarmultisektor yang kuat,” ujarnya.