Ancaman Krisis Iklim Pascapandemi
Perubahan iklim dan kesehatan masyarakat saling berkelindan. Upaya memulihkan perekonomian sejalan dengan melandainya pandemi akan berpengaruh pada kondisi lingkungan dan kesehatan.

Warga Jalan Mendawai, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, mulai keluar rumah membawa barang beharga dan menyelamatkan keluarga masing-masing dari banjir yang pada Senin (15/11/2021) sudah mencapai 1 meter di beberapa ruas wiayah Mendawai.
Ketika kita masih berjuang keluar dari pandemi Covid-19, jangan lupa bahwa krisis iklim telah menghadang di depan pintu rumah kita. Pendekatan dalam memulihkan kondisi sosial ekonomi di tahun 2022 akan menentukan masa depan perubahan iklim dan kesehatan masyarakat.
Bayangan Covid-19 belum sepenuhnya sirna. Selama penyakit menular ini masih menjadi pandemi, artinya bahaya masih ada. Apalagi, sejumlah negara saat ini menghadapi gelombang penularan yang kembali meninggi.
Mengacu proyeksi Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME), pusat penelitian kesehatan global University of Washington pada awal November 2021, penurunan kasus, rawat inap, dan kematian karena Covid-19 di Indonesia setidaknya akan berlanjut dalam beberapa bulan mendatang, terutama karena masih tingginya persentase orang memakai masker (73 persen).
Namun, IHME mengingatkan, jika laju vaksinasi masih lamban, terutama untuk kelompok rentan, munculnya virus musiman, dan berkurangnya kekebalan dari infeksi dan vaksin, lonjakan kasus dapat kembali terjadi.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, gelombang ketiga di Indonesia ditentukan oleh bagaimana mobilitas dan perilaku warga menjelang libur pergantian tahun. ”Dan itu (kenaikan kasus) sepertinya tak akan terhindarkan,” katanya.
Jika laju vaksinasi masih lamban, terutama untuk kelompok rentan, munculnya virus musiman, dan berkurangnya kekebalan dari infeksi dan vaksin, lonjakan kasus dapat kembali terjadi.
Namun, kombinasi dari tingginya orang yang pernah terpapar sebelumnya dan cakupan vaksinasi kita, sekalipun ada kenaikan kasus, tingkat keparahan dan kematian diprediksi tak sebesar pada puncak gelombang kedua Covid-19 pada Juni hingga Agustus 2021.
Perhitungan matematis ini bisa saja berubah jika muncul varian baru SARS-CoV-2 yang lebih berbahaya. Namun, kita boleh berharap tahun 2022 menjadi fase pemulihan sosial-ekonomi yang terdampak pandemi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dalam CEO Networking 2021 mengatakan, memasuki triwulan IV-2021, berbagai indikator utama ekonomi telah membaik. Aktivitas manufaktur telah kembali ke level ekspansif dan terus meningkat ke level tertinggi sejak April 2011, yakni mencapai 57,2. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) juga membaik hingga ke level optimis sebesar 113,4.

Pemakaian masker yang menjadi kewajiban bagi pekerja selama berada di area Pabrik Nayati, Terboyo, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (17/9/2020). Kesehatan pekerja ini menjadi bagian penting dalam proses produksi sebuah pabrik.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis kinerja ekspor Indonesia meningkat signifikan pada Oktober 2021 yang mencapai 22,03 miliar dollar AS. Nilai ekspor ini naik 6,89 persen (mtm) jika dibandingkan ekspor September 2021 dan juga meningkat 53,35 persen (yoy) atau 14,36 miliar dollar AS dibandingkan Oktober 2020.
Peningkatan ekspor di Oktober 2021 tersebut didorong meningkatnya permintaan negara-negara tujuan ekspor Indonesia. Ini terlihat dari nilai serta volume ekspor beberapa komoditas andalan, seperti batubara, minyak kelapa sawit mentah (CPO), serta besi dan baja, yang kembali meninggi. Airlangga memastikan akan melanjutkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan menargetkan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,2 persen hingga 5,5 persen di tahun depan.
Airlangga juga optimistis, sektor batubara yang selama ini menjadi andalan terbesar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) masih bisa bertumbuh. Dia mengaku tidak risau dengan tekanan global terhadap batubara, yang dalam Konfrensi Tingkat Tinggi iklim atau COP 26 di Glasgow telah disepakati untuk diturunkan.
Baca juga : Ditunggu, Peta Jalan Pengakhiran Batubara Sebelum 2040
”Saat ini harga batubara justru lebih tinggi. Hingga beberapa tahun ke depan, saya kira kita masih akan menikmati ini, terutama ada peluang karena ada masalah antara China dan Australia terkait batubara,” katanya. Selain batubara, menurut dia, industri semen yang sebelumnya melesu, juga bakal kembali pulih di tahun 2022.
Masalahnya, batubara, semen, hingga sawit yang menjadi komoditas ekspor andalan kita masuk dalam daftar penyumbang emisi besar. Jika orientasi pembangunan masih business as usual, Indonesia akan kesulitan memenuhi komitmen penurunan emisi nasional, yang menurut laporan Climate Action Tracker (CAT) capaiannya masih highly insufficient. Padahal, komitmen kita masih dianggap belum progresif untuk berkontribusi menurunkan emisi hingga bisa menekan peningkatan suhu global tidak lebih dari 1,5 derajat pada 2100.

Petugas mencampur cangkang kemiri sebagai sampah biomassa ke batubara yang menjadi sumber energi bagi di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Ropa di Desa Keliwumbu, Kecamatan Mourole, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Kamis (7/10/2021). PLTU Ropa dengan kapasitas 2 x 7 megawatt (MW) ini melakukan metode co-firing dengan memanfaatkan biomassa sebesar 5 persen sebagai substitusi atau campuran batubara.
Menentukan masa depan
Laporan Lancet Countdown on Health and Climate Change tahun 2021, yang diterbitkan pada Kamis (21/10/2021), menekankan pada pemulihan ekonomi global dari pukulan pandemi Covid-19, dan bagaimana pendekatan dunia terhadap pemulihan ini akan berdampak besar pada pertempuran melawan perubahan iklim dan masalah kesehatan yang ditimbulkannya.
Menurut Anthony Costello, Direktur Eksekutif Lancet Countdown, ”pemulihan dari Covid-19 dapat menjadi pemulihan hijau yang menempatkan kita pada jalur untuk meningkatkan kesehatan manusia dan mengurangi ketimpangan, atau dapat berupa pemulihan bisnis seperti biasa yang membuat kita semua dalam bahaya”.
Laporan ini memberikan gambaran masa depan yang sangat suram sehubungan dengan konsekuensi jangka panjang perubahan iklim pada kesehatan masyarakat. Menggunakan 44 indikator dampak kesehatan yang terkait erat dengan krisis iklim, mereka menyimpulkan bahwa masalah kesehatan dan sosial yang disebabkan oleh perubahan iklim telah memburuk.
Baca juga : Krisis Iklim dan Kesehatan Kita
Pemanasan global telah menyebabkan proliferasi penyakit menular seperti demam berdarah dan malaria, selain ancaman yang ditimbulkan oleh angin kencang, banjir, hingga kekeringan yang meluas.
Selain itu, kerawanan pangan juga diprediksi akan semakin memburuk, yang telah mempengaruhi sekitar 2 miliar orang pada 2019. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2021 memperingatkan kenaikan suhu yang mengarah pada pengurangan potensi hasil panen pada tanaman utama dunia, seperti jagung, gandum, dan beras. Sementara itu, ancaman dari kebakaran lahan dan hutan secara global juga terus meningkat, dengan lebih dari 130 negara menghadapi lonjakan paparan polusi udara hingga ambang berbahaya.

Krisis polusi di India semakin kompleks, terutama saat musim dingin ketika pembakaran limbah tanaman di sekitar lahan pertanian. Ini adalah foto yang diambil pada 5 November 2021.
Mengenai kemampuan negara-negara untuk mengatasi krisis yang diuraikan di atas, laporan tersebut memiliki kesimpulan suram, yaitu bahwa sistem perawatan kesehatan tidak siap menghadapi guncangan kesehatan yang disebabkan oleh iklim saat ini dan di masa depan.
Sebagai salah satu negara emiter besar, posisi Indonesia sebenarnya sangat unik. Berada di daerah tropis dengan bentuk kepulauan, Indonesia termasuk negara yang sangat rentan terdampak perubahan iklim.
Bahkan, dampak itu sebenarnya telah hadir dalam berbagai bentuk, tetapi kerap kali belum dilihat dan disasari. Dampak yang nyata adalah meningkatnya bencana terkait cuaca, seperti angin kencang, banjir, banjir bandang, dan longsor, yang meningkat frekuensi maupun intensitasnya.
Mengacu prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), musim hujan di Indonesia tahun 2021/2022 bakal lebih basah, menyusul munculnya La Nina. Trimester pertama 2022 berpeluang menjadi puncak bencana terkait cuaca, yang jika gagal kita mitigasi bisa menelan banyak korban jiwa dan kerugian ekonomi.
Baca juga : Antisipasi Dampak Penguatan La Nina yang Datang Lebih Cepat
Di awal musim hujan di trimester terakhir tahun ini, kita sudah menyaksikan rentetan bencana di banyak daerah. Banjir di Sintang, Kalimantan Barat, sudah berlangsung hampir sebulan, dan bahkan kini meluas di sejumlah wilayah Kalimantan. Kombinasi krisis iklim dan kerusakan lingkungan menjadi bencana yang mematikan.
Masih di Kalimantan, laporan yang dipublikasikan di jurnal Lancet Planetary Health pekan lalu menyebutkan, deforestasi yang masif dan tren pemanasan global di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, telah meningkatkan suhu maksimum harian hampir 1 derajat celsius dalam 16 tahun. Laporan ini juga menyebutkan, kenaikan suhu telah meningkatkan risiko kesehatan dan kematian dini di populasi hingga 8 persen pada 2018.

Dampak pemanasan global terhadap kesehatan juga dilaporkan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, dalam jurnal iScience. Pengukuran suhu di 100 titik di 12 perkampungan menunjukkan, suhu sudah mendekati ambang batas untuk bertahan hidup, pada siang hari melebihi batas untuk bisa beraktivitas produktif, sedangkan malam hari untuk beristirahat nyaman.
Dua riset terbaru ini menggarisbawahi bahwa dampak krisis iklim telah menjadi ancaman serius bagi produktivitas dan juga keselamatan publik. Mereka yang terdampak terutama adalah rakyat kebanyakan, yang harus bekerja di luar ruangan di tengah tekanan panas, dan tidak mampu membeli penyejuk udara.
Belajar dari pandemi
Pandemi Covid-19 telah menjadi ”uji stres” bagi kita, dengan dampak yang luas di bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, pertanian, transportasi, dan berbagai sektor lainnya. Dari pandemi kita bisa belajar, negara-negara yang bisa keluar dari krisis lebih cepat dengan dampak minimal adalah yang merespons wabah lebih cepat dengan berdasar data sains.
Motivasi memerangi ancaman perubahan iklim seharusnya sama dengan upaya mencegah beban besar pada kesehatan kita akibat pandemi ini. Ini adalah soal kesadaran terhadap mitigasi.
Apalagi, langkah memitigasi perubahan iklim juga terkait upaya mencegah pandemi berikutnya. Misalnya, dengan mencegah deforestasi, yang menjadi penyumbang emisi karbon, kita dapat membantu membendung hilangnya keanekaragaman hayati dan memperlambat migrasi hewan yang dapat meningkatkan risiko penyebaran penyakit menular.
Baca juga : Pakta Iklim Glasgow Tak Cukup Kuat Menahan Laju Pemanasan Global
Epidemi ebola baru-baru ini di Afrika Barat jelas terjadi sebagian karena kelelawar yang membawa penyakit terpaksa pindah ke habitat baru karena hutannya ditebang untuk menanam kelapa sawit. Demikian halnya wabah Covid-19 dipicu migrasi virus kelelawar ke manusia yang dipicu perambahan dan penangkapan satwa liar.
Sementara itu, mengurangi polusi udara akibat pembakaran bahan bakar fosil juga menjaga kesehatan paru-paru, yang dapat melindungi kita dari infeksi saluran pernapasan, seperti yang diakibatkan virus korona baru saat ini.
Untuk memerangi perubahan iklim, kita juga perlu menurunkan emisi GRK secara drastis. Menghasilkan listrik dari sumber energi rendah karbon, seperti angin dan matahari, pun mengurangi polutan udara berbahaya yang selama ini menyebabkan lebih banyak serangan jantung dan stroke serta kematian dini.
Baik pandemi maupun perubahan iklim terjadi karena ulah kita sendiri dan solusi untuk mengatasinya memiliki benang merah. Ketika Covid-19 mereda, tahun 2022 harus menjadi momentum untuk menciptakan norma hidup baru yang lebih ramah lingkungan yang menjadi kunci keberlanjutan kehidupan.