Pakta Iklim Glasgow masih menyalakan harapan, setidaknya ada kesadaran bersama untuk mencegah kenaikan suhu bumi tidak melebihi ambang yang membahayakan kehidupan. Namun, cara mewujudkannya menyisakan tanda tanya.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
DRAWING/ILHAM KHOIRI
Ahmad Arif, wartawan Kompas
Setelah dua minggu negosiasi, Konferensi Tingkat Tinggi Iklim atau COP 26 diakhiri dengan 197 negara yang berpartisipasi menyepakati Pakta Iklim Glasgow. Dokumen 11 halaman itu menyebutkan, emisi karbon dioksida harus turun 45 persen pada 2030 agar pemanasan global dapat dijaga 1,5 derajat celsius pada 2100 dibandingkan dengan pra-industri.
Pakta ini masih menyalakan harapan, setidaknya ada kesadaran bersama untuk mencegah kenaikan suhu bumi tidak melebihi ambang yang membahayakan kehidupan. Namun, bagaimana cara mewujudkannya tetap menyisakan tanda tany karena realitasnya menuju arah berkebalikan.
Jadi, apakah COP 26 gagal? Jika kita mengevaluasi ini berdasarkan tujuan awal KTT kali ini, jawabannya jelas gagal. Dua item besar yang diamanatkan Sekretaris Jenderal PBB António Guterres di awal perundingan tidak terwujud: memperbarui target penurunan emisi untuk tahun 2030 yang sejalan dengan membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat celsius pada akhir abad ini dan secepatnya mengakhiri batubara.
Sebagaimana analisis Climate Action Tracker, jika negara-negara masih mengacu pada target pengurangan emisi mereka seperti saat ini, suhu global akan naik 2,4 derajat celsius di atas tingkat pra-industri pada 2100. Itu pun dengan catatan semua negara memenuhi target pengurangan emisinya. Namun, jika mengikuti tren saat ini, suhu bakal bertambah 2,7 derajat celsius.
AP/ALASTAIR GRANT
Pengunjuk rasa berada di dalam lokasi penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Iklim atau COP 26 di Glasgow, Skotlandia, Jumat (5/11/2021). Pertemuan PBB tersebut dihadiri para pemimpin dari sejumlah negara di dunia untuk menyampaikan visi mereka menghadapi pemanasan global.
Sementara terkait pengakhiran batubara, para delegasi sebenarnya hampir menemui titik sepakat. Namun, menjelang menit terakhir, China dan India mengajukan keberatan. India kemudian meralat draf teks yang sebelumnya ”mengakhiri” batubara menjadi ”penurunan bertahap”. Alasannya klasik, mereka masih membutuhkan batubara untuk mengejar pertumbuhan.
”Kami sangat menyadari bahwa ambisi telah gagal memenuhi komitmen yang dibuat di Paris,” kata Presiden COP 26 Alok Sharma pada konferensi itu dalam pidato sesaat sebelum negosiasi selesai. ”Kita telah menjaga 1,5 derajat celsius tetap hidup. Tapi denyut nadinya lemah dan itu hanya akan bertahan jika kita menepati janji dan menerjemahkan komitmen menjadi tindakan cepat.”
Dengan suhu bumi saat ini yang sudah 1,2 derajat celsius lebih panas dibandingkan dengan tahun 1850-an, upaya menahan kenaikan tidak lebih dari 1,5 derajat celsius pada akhir abad ini memang hampir mustahil. Secara praktis, untuk mencegah pemanasan tidak lebih dari 1,5 derajat celsius berarti mengurangi emisi gas rumah kaca sekitar 7 persen setiap tahun: lebih besar dari penurunan pada 2020, pada puncak pandemi.
Bahkan, pandemi Covid-19 yang memaksa orang mengurung diri di rumah sehingga mobilitas berkurang hanya bisa menurunkan emisi 5,4 persen dan belakangan kembali meningkat pada tingkat sebelum pandemi.
Laporan Global Carbon Project (GCP) ke-16 yang dirilis pada Kamis (4/11/2021), emisi karbon tahun ini akan sebesar 36,4 giga ton setara karbon dioksida (GtCO2e) atau meningkat 4,9 persen dari tahun sebelumnya. Sementara pada 2019, emisi karbon global tercatat sebanyak 36,7 GtCO2e.
BPMI SETPRES/LAILY RACHEV
Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Para Pihak (COP) tentang Iklim, Senin (1/11/2021), di Glasgow, Skotlandia. Dalam forum yang juga dikenal sebagai COP 26 itu, Presiden memaparkan capaian Indonesia pada pengendalian penyebab perubahan iklim. Presiden juga menggugat kontribusi global untuk upaya Indonesia menjaga hutannya.
Fase bertahan hidup
Terlepas dari kekurangannya, COP 26 menghasilkan sejumlah hasil positif. Misalnya, pakta tersebut menekankan pentingnya melindungi hutan dan keanekaragaman hayati melalui kesepakatan 124 negara, termasuk Indonesia, untuk mengakhiri deforestasi pada 2030.
Pakta tersebut juga mendesak negara-negara kaya yang menjadi emiter utama untuk memenuhi janji mengirimkan dana 100 miliar dollar AS per tahun selama lima tahun ke negara-negara berkembang yang rentan terhadap dampak iklim. Namun, sekali lagi, realisasinya masih harus ditunggu setelah janji yang sama sebelumnya gagal dijalankan.
Selain itu, penting untuk ditagih bahwa tiap negara diwajibkan meninjau kembali dan memperkuat target penurunan emisi 2030. Untuk mendukung ini, disepakati untuk mengadakan pertemuan tingkat tinggi setiap tahun.
Namun, sekali lagi, hasil COP 26 belum mampu mengatasi akar masalah yang memicu pemanasan global: keserakahan dan egoisme. Setiap negara, dengan kompleksitas ekonomi politiknya, masih berpikir untuk saling menyalahkan, lempar tanggung jawab, dan berpikir bisa selamat sendiri.
Hasil COP 26 belum mampu mengatasi akar masalah yang memicu pemanasan global: keserakahan dan egoisme.
Maka, di tahun-tahun mendatang, kita sepertinya masih akan mengalami lebih banyak banjir, kekeringan, dan panas ekstrem yang memicu kematian. Di banyak wilayah dunia, termasuk di Indonesia, situasi ini bahkan sudah terjadi.
Kompas
Aktivis iklim, Greta Thunberg (tengah), berunjuk rasa bersama demonstran lainnya di depan Standard Chartered Bank di London, Inggris, 29 Oktober 2021. Mereka berunjuk rasa terkait krisis iklim menjelang Konferensi Tingkat Tinggi Iklim PBB (COP 26) yang diselenggarakan di Glasgow, Skotlandia.
Kombinasi antara degradasi lingkungan dan pemanasan global telah menjelma bencana besar. Misalnya, banjir di Sintang, Kalimantan Barat, yang sudah berlangsung lebih dari tiga pekan dan kini meluas di sejumlah wilayah lain di Kalimantan, menjadi sinyal kombinsi krisis iklim dan degradasi alam.
Di dekat rencana ibu kota baru, di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, suhu maksimum harian telah meningkat hampir 1 derajat celsius dalam 16 tahun. Laporan yang dipublikasikan di jurnal Lancet Planetary Health pada Kamis (11/11/2021) menemukan kenaikan suhu ini telah meningkatkan risiko kematian dini di populasi hingga 8 persen pada 2018.
Adapun suhu yang terukur di perkampungan informal Kota Makassar, Sulawesi Selatan, sudah mendekati ambang batas untuk bertahan hidup, pada siang hari melebihi batas untuk bisa beraktivitas produktif, sedangkan malam hari untuk beristirahat nyaman.
Riset yang dilaporkan di jurnal iScience pada Rabu (10/11/2021) ini menggarisbawahi bahwa dampak krisis iklim, terutama akan dialami oleh orang kebanyakan, yang harus bekerja keras di luar ruangan dan tidak mampu membeli penyejuk udara.
Setelah bertahun-tahun penyangkalan dan penundaan, memang sudah terlambat untuk berharap bakal ada perubahan radikal dalam penurunan emisi. Dan seperti dikatakan aktivis iklim, Greta Thunberg, setelah dua minggu ”blah, blah, blah”, maka sekarang bisa dikatakan kita telah memasuki fase pertarungan langsung untuk bertahan hidup....