Indonesia Tetap Perlu Menunjukkan Komitmen Kuat meski Hasil COP 26 Mengecewakan
Terlepas dari COP 26 yang mengecewakan, Indonesia harus tetap memiliki peta jalan yang jelas menuju penggunaan energi bersih dan melindungi hutan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah hasil Konferensi Para Pihak Ke-26 tentang Iklim di Glasgow, Skotlandia, yang berakhir mengecewakan, Indonesia tetap perlu menunjukkan komitmen kuat untuk menghentikan penggunaan batubara dan melindungi hutan dengan peta jalan yang jelas. Di sisi lain, Indonesia juga membutuhkan opsi dan pendanaan lain untuk mencapai target penurunan emisi karbonnya.
Ketua Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengemukakan, hasil Konferensi Para Pihak Ke-26 (COP 26) yang berakhir mengecewakan telah mengingkari fakta bahwa saat ini dampak krisis iklim telah terjadi, termasuk di Indonesia. Padahal, COP 26 seharusnya menghasilkan peta jalan yang lebih kuat dalam penurunan emisi karbon.
”Hanya dengan kembali ke jalur 1,5 derajat celsius ini yang bisa menghindarkan bumi dan kita semua dari bencana iklim permanen. Dampak iklim yang kita rasakan sekarang bisa menjadi permanen pada pertengahan atau menuju akhir abad ini,” ujar Leonard dalam konferensi pers secara daring, Senin (15/11/2021).
Menurut dia, hasil COP 26 dalam beberapa hal memang mengafirmasi setiap negara untuk mencapai jalur 1,5 derajat celsius. Namun, hasil COP 26 sangat lemah terkait target secara spesifik dalam menurunkan emisi. Bahkan, negara dengan penggunaan energi fosil terbesar seperti India juga masih melakukan kompromi hingga akhir perundingan yang menyebabkan sejumlah target penurunan emisi tidak terlalu kuat.
Hanya dengan kembali ke jalur 1,5 derajat celsius ini yang bisa menghindarkan bumi dan kita semua dari bencana iklim permanen. Dampak iklim yang kita rasakan sekarang bisa menjadi permanen pada pertengahan atau menuju akhir abad ini.
COP 26 seharusnya menghasilkan perubahan fundamental di sektor energi, seperti menghentikan penggunaan batubara dan beralih ke energi terbarukan serta menghentikan deforestasi. Namun, harapan ini selalu dibenturkan dengan pembangunan yang tengah berjalan khususnya di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Hasil kajian menunjukkan, seluruh negara di dunia harus menghentikan penggunaan energi batubara pada 2030 agar suhu bumi kembali ke jalur 1,5 derajat celsius. Sementara di Indonesia, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 justru masih menempatkan batubara sebagai sumber energi utama. Bahkan, Indonesia masih berencana membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara baru sebesar 13,9 Gigawatt.
”Pilihan ini sangat berisiko karena beberapa tahun ke depan, energi terbarukan akan lebih murah dan energi batubara lebih mahal. Oleh karena itu, kebijakan energi nasional seharusnya berubah secara fundamental dan pembiayaannya beralih ke energi terbarukan secara masif,” ujar Leonard.
Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace untuk Indonesia Kiki Taufik menambahkan, saat ini pemerintah perlu memiliki komitmen yang lebih kuat dalam melindungi hutan. Komitmen tersebut harus benar-benar diimplementasikan dengan menghentikan izin-izin perkebunan baru dan mengevaluasi izin yang telah ada sebelumnya.
”Kami juga mendesak pemerintah untuk memperkuat penegakan hukum. Setelah izin dievaluasi, maka perlu penegakan hukum yang kuat untuk memberikan efek jera bagi pelaku deforestasi. Upaya ini diharapkan dapat mempercepat nol defroestasi,” ujar Kiki.
Pendanaan iklim
Selain memperkuat komitmen menghentikan penggunaan batubara dan deforestasi, Indonesia juga membutuhkan opsi dan pendanaan lain untuk mencapai target penurunan emisi karbonnya. Leonard menilai bahwa semua pihak perlu mengkaji apakah kebijakan penandaan anggaran iklim (climate budget tagging) merupakan pendekatan yang paling tepat dan sebuah kemauan politik yang kuat untuk mengubah ekonomi Indonesia secara fundamental. Padahal, yang dibutuhkan Indonesia yaitu perubahan ekonomi secara struktural yang diterjemahkan dalam setiap sektor.
”Perubahan ekonomi ini tidak hanya untuk merespons krisis iklim, tetapi juga agar Indonesia tidak tertinggal dalam perubahan perekonomian global. Sebab, cepat atau lambat ekonomi global akan berubah menuju ekonomi hijau dan ekonomi yang rendah karbon,” katanya.
Leonard juga memandang bahwa kebijakan penandaan anggaran iklim cenderung menjadi langkah yang kecil dan tidak berefek signifikan dalam mengatasi krisis iklim. Sebaliknya, upaya yang dianggap dapat menjadi solusi yakni perubahan skema ekonomi secara masif dalam sektor energi seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
Upaya perubahan ekonomi di Indonesia yang dinilai paling berefek signifikan yaitu dengan menjalankan strategi pembangunan rendah karbon yang telah disusun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 2019. Dengan menerapkan strategi tersebut, Bappenas memperkirakan Indonesia bisa mereduksi emisi karbon hingga 43 persen pada 2030 sekaligus meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen.
Secara terpisah, peneliti di Institute for Energi Economics and Financial Analysis (IEEFA), Elrika Hamdi, mengatakan, pendanaan iklim secara global saat ini sudah ditujukan untuk mengakselerasi transisi energi. Bahkan, sejumlah filantropi dunia sudah mencanangkan anggaran hingga miliaran dollar AS untuk transisi energi terbarukan di beberapa negara.
”Secara global, seluruh dunia sudah menuju ke arah yang lebih berkelanjutan. Namun, karena terlalu banyak koalisi dan inisiatif, terkadang tidak banyak yang tahu sejauh mana pelaksanaan pembiayaan transisi energi ini dan dampaknya, termasuk untuk Indonesia,” ujarnya.